Fitnah,
Gosip, dan Hoax
Budi Darma ; Sastrawan, tinggal di
Surabaya
|
JAWA
POS, 30 Januari 2018
TUJUAN fitnah adalah merusak reputasi
seseorang atau lembaga, tanpa dibumbui rasa humor. Cara kerja fitnah adalah
tembak langsung korbannya, seseorang atau lembaga, dengan cara
menjelek-jelekkan reputasi korbannya, tanpa melalui kelakaran atau guyonan.
Peluru untuk menembak langsung bisa benar, bisa rekayasa, bisa pula
dramatisasi dari kebenaran.
Meskipun tidak sama, fitnah dapat
dianalogikan dengan sarkasme. Sementara sarkasme berbeda dengan ironi.
Melalui sarkasme, seseorang yang bermaksud menjatuhkan reputasi korbannya
bisa langsung berkata: ’’Dia goblok’’. Sebaliknya, dalam ironi ada
bumbubumbunya yang dalam bahasa Jawa justru terasa ’’nylekit’’. Seseorang
berkata: ’’Wah, dia itu pandai sekali, lho,’’ padahal, maksudnya ’’Dia
goblok, lho’’. Ini lebih nylekit daripada sarkasme.
Fitnah dilakukan oleh pengecut, yaitu orang
yang tidak berani berhadapan langsung dengan korban atau calon korbannya.
Ungkapan ’’Lempar batu sembunyi tangan’’ sangat tepat apabila diterapkan pada
orang-orang yang suka membuat fitnah.
Kecuali ada fitnah, ada pula gosip,
sementara gosip bisa membesar menjadi fitnah. Gosip dilakukan oleh
orang-orang yang ’’kurang kerjaan’’ dan punya bakat jahil. Dalam gosip,
kekurangan seseorang didramatisasi sedemikian rupa, juga dengan tujuan untuk
merusak reputasi korban.
Gosip disebarkan dalam komunitas kecil,
misalnya ’’perkumpulan’’ ibu-ibu rumah tangga yang terlalu banyak waktu
luangnya dan tidak mampu memanfaatkan waktu luang untuk hal-hal positif.
Tapi, kemudian bisa meluas ke komunitas-komunitas lain. Makin sengsara
korbannya akibat kejahatan tukang gosip, makin bahagialah tukang-tukang gosip
itu.
Gosip bisa dipakai untuk sarana gurauan,
sarana olok-olok, bisa juga sarana dengan tujuan utama untuk menghancurkan
reputasi korbannya. Apabila sudah keluar dari komunitas kecil dan merambah ke
komunitaskomunitas lain, gosip akan kehilangan rasa humornya dan bisa berubah
menjadi fitnah.
Fitnah dan gosip pada umumnya sekadar
berwujud ujaran, tidak sampai pada bentuk tulisan atau teks. Dalam medsos,
fitnah dan gosip memang dijadikan teks, tidak lain karena adanya kemajuan
literasi. Meskipun, dalam hal ini, literasi negatif. Karena sudah
ditransformasikan ke dalam teks, fitnah dan gosip bisa menjadi berita dan
inilah hakikat hoax.
Kawasan hoax adalah kawasan berita, bukan
kawasan kasakkusuk, bukan kawasan gosip. Karena itu, sebetulnya, yang benar
adalah ’’berita hoax’’ atau ’’berita palsu’’, bukan ’’hoax’’ tanpa tambahan
apa-apa. Karena perkembangan bahasa menuntut kepraktisan, ’’hoax’’ maknanya
tidak lain adalah ’’berita hoax’’.
Tujuan hoax sama dengan fitnah, tapi
mungkin diungkapkan dengan bumbu guyonan, dengan tujuan merusak. Agar tujuan
merusak itu tidak terasa kasar, bumbubumbu gurauan pun perlu ditam- bahkan.
Hoax pada hakikatnya tidak sama dengan sarkasme, tapi mirip ironi: seni
main-main tapi benar-benar ’’nylekit’’.
Fitnah awalnya beredar di komunitas,
demikian pula gosip, dan, sebetulnya, demikian pula hoax. Bedanya adalah,
pertama, tingkat ketokohan korban. Makin hebat tokohnya, makin besar
kemungkinan fitnah dan gosip menjadi berita hoax. Kedua adalah dampaknya.
Makin besar dampaknya, makin besar pula peluang fitnah dan gosip menjadi
berita hoax pula.
Apakah pencipta berita hoax itu jahat,
jahil, atau tidak, tidak tahu. Tapi, kemungkinan besar bagian otak kirinya
bekerja lebih aktif dibanding dengan bagian otak sebelah kanannya. Manusia
mempunyai sisi yang dinamakan ’’ludens’’. Yaitu, suka main-main tapi akhirnya
bisa menjadi sungguhan. Itulah kemungkinan besar watak para pencipta hoax.
Dalam medsos, fitnah dan gosip memang
dijadikan teks, tidak lain karena adanya kemajuan literasi. Meskipun, dalam
hal ini, literasi negatif.’’ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar