Darurat
Perlindungan Anak
Bagong Suyanto ; Guru Besar dan Dosen
Masalah Sosial Anak
di FISIP Universitas
Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 27 Januari 2018
JATI DIRI Jawa Pos 22 Januari 2018
mengungkap keprihatinan yang mendalam terhadap makin maraknya kasus kekerasan
terhadap anak. Mengutip data Komisi Nasional Perlindungan Anak, sepanjang
2017 paling tidak terjadi 2.737 kasus kekerasan. Sebanyak 52 persen di
antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Dari 1.424 kasus kekerasan seksual itu,
sebanyak 36 persen adalah korban pencabulan, 9 persen korban pemerkosaan, 1
persen korban inses, dan sisanya –ini yang paling banyak– anak-anak korban
sodomi. Tercatat 54 persen atau 771 kasus kekerasan seksual adalah kasus anak
korban sodomi para pedofil.
Januari 2018, misalnya, dilaporkan 41 anak
telah menjadi korban ulah bejat Wawan Sutiyono, 45, alias Babeh (Jawa Pos 7
Januari 2018). Dengan iming-iming diberi aji-aji semar mesem yang konon bisa
membuat anak gadis kepincut, sejumlah anak laki-laki ditipu Babeh. Mereka
disodomi dengan alasan cara itu harus dilakukan untuk memastikan aji-aji
tersebut benar-benar bertuah. Artikel ini khusus membahas kasus anak-anak
yang menjadi korban tindak kekerasan seksual sodomi. Penderitaan Korban
Penderitaan yang dialami anak-anak korban pedofilia bukan hanya luka fisik
seperti kerusakan anus. Pun bukan cuma rasa ketakutan, gelisah, dan perasaan
berdosa yang mendalam. Dalam banyak kasus, anak-anak yang mengalami
penganiayaan dan jadi korban sodomi sering menunjukkan perilaku menyimpang.
Misalnya penarikan diri, ketakutan, atau mungkin juga tingkah laku agresif
serta emosi yang labil.
Mereka juga sering menunjukkan gejala
depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, fobia,
kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stres
pascatrauma, dan juga terlibat dalam penggunaan zat adiktif. Secara garis
besar, ada beberapa dampak tindak kekerasan seksual yang dialami anakanak
korban pedofilia.
Pertama, mengalami gangguan dalam
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Robert D. Levitan (1998) dari hasil studinya menyimpulkan adanya hubungan
antara pengalaman yang traumatis pada usia dini dan timbulnya kelompok yang
mengalami gejala depresi dan maniak pada masa dewasa. Anak yang mengalami
sexual abuse sering kali mengalami gejala kejiwaan.
Kedua, bukti-bukti sosiomedis telah banyak
memperlihatkan bahwa anak-anak yang menjadi korban sexual abuse sering kali
menunjukkan keluhan-keluhan somatis tanpa adanya dasar penyebab organik.
Mereka kesulitan bersosialisasi di sekolah atau dalam mengadakan hubungan
dengan teman, gelisah, kehilangan kepercayaan diri, tidak percaya kepada
orang dewasa, fobia, cemas, dan perasaan terluka yang sifatnya permanen.
Dilaporkan juga, mereka kurang dapat mengontrol impuls-impulsnya dan sering
menyakiti diri sendiri. Pada para remaja bahkan sering tumbuh tingkah laku
bunuh diri.
Ketiga, kemungkinan tumbuh dengan
kepribadian dan perilaku yang menyimpang. Goldston (1979) menyatakan bahwa
individu yang mengalami physical abuse dan sexual abuse dalam jangka waktu
yang lama bisa menjadi seorang dewasa yang melakukan hubungan seksual
utamanya dengan cara sado-masochistic. Seorang anak yang ketika kecil menjadi
korban sodomi, misalnya, bukan tidak mungkin ketika besar justru menjadi
pelaku sodomi. Itu semacam proses meneruskan mata rantai tindak kekerasan
yang diwarisi tanpa mereka sadari. Sexual abuse sering juga merupakan faktor predisposisi
bagi perkembangan gangguan dissociative identity (gangguan kepribadian ganda)
pada anak-anak yang menjadi korban.
Korban
Stigma
Tindak kekerasan pada anak, termasuk
pedofilia, niscaya akan rawan melahirkan berbagai masalah baru yang merugikan
masa depan anak. Sebagai korban, anak biasanya akan bersikap pasrah atau pada
ekstrem lainnya akan berusaha melawan keadaan. Sehing- ga, dalam proses
tumbuh kembangnya, mereka berpotensi menjadi orang yang bermasalah dan benci
pada lingkungan sosialnya.
Anak-anak korban pedoflia sering kali
menyembunyikan aib yang dialami karena keluarganya khawatir jika publik
sampai tahu justru akan menjadi ancaman baru. Yakni melahirkan stigma yang
merugikan masa depan anak. Cap atau label sebagai korban sexual abuse bagi
masyarakat dinilai menjadi bentuk hukuman tahap kedua yang justru lebih berat
dampaknya karena akan menghantui sisa kehidupan anak.
Keengganan dan kekhawatiran masyarakat akan
masa depan anak-anaknya itulah yang membuat kasus tindak kekerasan seksual
tidak banyak terekspos keluar. Padahal, kekhawatiran itu justru membuat
anak-anak mereka disalahkan atau dikucilkan dari lingkungan sosial. Bahkan,
pada titik tertentu bukan tidak mungkin anak yang menjadi korban memilih
bunuh diri untuk mengakhiri rasa malu dan penderitaan batin yang mendera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar