Kamis, 01 Februari 2018

Darurat Perlindungan Anak

Darurat Perlindungan Anak
Bagong Suyanto  ;  Guru Besar dan Dosen Masalah Sosial Anak
di FISIP Universitas Airlangga Surabaya
                                                     JAWA POS, 27 Januari 2018



                                                           
JATI DIRI Jawa Pos 22 Januari 2018 mengungkap keprihatinan yang mendalam terhadap makin maraknya kasus kekerasan terhadap anak. Mengutip data Komisi Nasional Perlindungan Anak, sepanjang 2017 paling tidak terjadi 2.737 kasus kekerasan. Sebanyak 52 persen di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.

Dari 1.424 kasus kekerasan seksual itu, sebanyak 36 persen adalah korban pencabulan, 9 persen korban pemerkosaan, 1 persen korban inses, dan sisanya –ini yang paling banyak– anak-anak korban sodomi. Tercatat 54 persen atau 771 kasus kekerasan seksual adalah kasus anak korban sodomi para pedofil.

Januari 2018, misalnya, dilaporkan 41 anak telah menjadi korban ulah bejat Wawan Sutiyono, 45, alias Babeh (Jawa Pos 7 Januari 2018). Dengan iming-iming diberi aji-aji semar mesem yang konon bisa membuat anak gadis kepincut, sejumlah anak laki-laki ditipu Babeh. Mereka disodomi dengan alasan cara itu harus dilakukan untuk memastikan aji-aji tersebut benar-benar bertuah. Artikel ini khusus membahas kasus anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual sodomi. Penderitaan Korban Penderitaan yang dialami anak-anak korban pedofilia bukan hanya luka fisik seperti kerusakan anus. Pun bukan cuma rasa ketakutan, gelisah, dan perasaan berdosa yang mendalam. Dalam banyak kasus, anak-anak yang mengalami penganiayaan dan jadi korban sodomi sering menunjukkan perilaku menyimpang. Misalnya penarikan diri, ketakutan, atau mungkin juga tingkah laku agresif serta emosi yang labil.

Mereka juga sering menunjukkan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, fobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stres pascatrauma, dan juga terlibat dalam penggunaan zat adiktif. Secara garis besar, ada beberapa dampak tindak kekerasan seksual yang dialami anakanak korban pedofilia.

Pertama, mengalami gangguan dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Robert D. Levitan (1998) dari hasil studinya menyimpulkan adanya hubungan antara pengalaman yang traumatis pada usia dini dan timbulnya kelompok yang mengalami gejala depresi dan maniak pada masa dewasa. Anak yang mengalami sexual abuse sering kali mengalami gejala kejiwaan.

Kedua, bukti-bukti sosiomedis telah banyak memperlihatkan bahwa anak-anak yang menjadi korban sexual abuse sering kali menunjukkan keluhan-keluhan somatis tanpa adanya dasar penyebab organik. Mereka kesulitan bersosialisasi di sekolah atau dalam mengadakan hubungan dengan teman, gelisah, kehilangan kepercayaan diri, tidak percaya kepada orang dewasa, fobia, cemas, dan perasaan terluka yang sifatnya permanen. Dilaporkan juga, mereka kurang dapat mengontrol impuls-impulsnya dan sering menyakiti diri sendiri. Pada para remaja bahkan sering tumbuh tingkah laku bunuh diri.

Ketiga, kemungkinan tumbuh dengan kepribadian dan perilaku yang menyimpang. Goldston (1979) menyatakan bahwa individu yang mengalami physical abuse dan sexual abuse dalam jangka waktu yang lama bisa menjadi seorang dewasa yang melakukan hubungan seksual utamanya dengan cara sado-masochistic. Seorang anak yang ketika kecil menjadi korban sodomi, misalnya, bukan tidak mungkin ketika besar justru menjadi pelaku sodomi. Itu semacam proses meneruskan mata rantai tindak kekerasan yang diwarisi tanpa mereka sadari. Sexual abuse sering juga merupakan faktor predisposisi bagi perkembangan gangguan dissociative identity (gangguan kepribadian ganda) pada anak-anak yang menjadi korban.

Korban Stigma

Tindak kekerasan pada anak, termasuk pedofilia, niscaya akan rawan melahirkan berbagai masalah baru yang merugikan masa depan anak. Sebagai korban, anak biasanya akan bersikap pasrah atau pada ekstrem lainnya akan berusaha melawan keadaan. Sehing- ga, dalam proses tumbuh kembangnya, mereka berpotensi menjadi orang yang bermasalah dan benci pada lingkungan sosialnya.

Anak-anak korban pedoflia sering kali menyembunyikan aib yang dialami karena keluarganya khawatir jika publik sampai tahu justru akan menjadi ancaman baru. Yakni melahirkan stigma yang merugikan masa depan anak. Cap atau label sebagai korban sexual abuse bagi masyarakat dinilai menjadi bentuk hukuman tahap kedua yang justru lebih berat dampaknya karena akan menghantui sisa kehidupan anak.

Keengganan dan kekhawatiran masyarakat akan masa depan anak-anaknya itulah yang membuat kasus tindak kekerasan seksual tidak banyak terekspos keluar. Padahal, kekhawatiran itu justru membuat anak-anak mereka disalahkan atau dikucilkan dari lingkungan sosial. Bahkan, pada titik tertentu bukan tidak mungkin anak yang menjadi korban memilih bunuh diri untuk mengakhiri rasa malu dan penderitaan batin yang mendera.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar