Populisme
Trump Diuji
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan
Internasional
|
KORAN
SINDO, 31 Januari 2018
SETAHUN berlalu sejak Donald Trump dilantik
sebagai presiden Amerika Serikat dan semalam Trump memberikan pidato
kenegaraan di hadapan anggota Kongres (House of Representatives dan Senate).
Dalam tradisi AS, pidato tahunan seorang presiden di hadapan Kongres adalah
momen di mana arah kebijakan negara dan target legislasi diungkap.
Sesuai Konstitusi AS, kesempatan itu
biasanya digunakan untuk mendorong anggota Kongres dalam mengambil langkah
yang perlu dan cepat demi mendukung agenda pemerintah. Presiden akan
didampingi wakil presiden, ketua House of Representative, dan disaksikan oleh
segenap anggota Kongres, para hakim Mahkamah Agung, para kepala staf
pemerintahan, dan wakil anggota kabinet.
Yang menarik adalah nama atau sebutan
pidato tahunan itu, yakni “state of the union” – yang dalam arti harfiah
dapat diartikan “status kesatuan negara”. Karena nama pidato tersebut,
sejumlah anggota Kongres sudah mengumumkan diri tidak akan hadir di acara
tersebut. Antara lain: Earl Blumenauer (Partai Demokrat dari Oregon), Pramila
Jayapal (Partai Demokrat dari Washington), John Lewis (Partai Demokrat dari
Georgia), Jan Schakowsky (Partai Demokrat dari Illinois), Maxine Waters
(Partai Demokrat dari California), dan Frederica Wilson (Partai Demokrat dari
Florida).
Alasan ketidakhadiran mereka adalah seputar
sikap Presiden yang dipandang memperburuk suasana terpecah-belah dalam
masyarakat, mengucapkan komentar-komentar yang tidak pantas, bahkan dianggap
mempertajam perbedaan antarkelompok, memelihara sikap rasisme dan ngawur
(erratic) dalam mengambil keputusan. Namun yang anti pada Partai Demokrat
juga nyinyir pada sikap para anggota Kongres di atas; mereka menuding para
wakil rakyat tersebut abai pada kebutuhan masyarakat dan sekadar anti-Trump
tanpa memberi solusi.
Saya tidak hendak membahas tindak-tanduk
Presiden Trump karena ini bagian dari strateginya menggalang dukungan
politik. Ia tidak tertarik dengan ide kompromi karena ia memang bergantung
pada para pemilih fanatiknya di garis politik paling kanan.
Cara-caranya mendulang dukungan tidaklah
berbeda dengan cara-cara populisme pada umumnya. Namun ujian bagi Trump kali
ini, khususnya dalam berhadapan dengan Kongres, berpotensi mempersulit jalan
bagi dirinya sendiri dalam memenuhi janji-janji kampanyenya.
Karena deadline tulisan ini adalah persis
sebelum pidato dimulai, saya hanya dapat membayangkan bahwa Trump cenderung
menegaskan kembali prinsip-prinsip yang diyakininya sebagai solusi dari suatu
masalah besar yang dianggapnya sedang merundung AS, yakni: AS yang tidak
sehebat dulu, AS yang kebanjiran imigran, yang mandek dalam hal pembangunan
infrastruktur, yang membiayai program-program internasional tanpa menerima
imbalan yang setimpal, dan seterusnya.
Menurut info yang beredar, Trump akan
mendorong lagi agenda kebijakan imigrasi, reformasi pajak dan perdagangan,
serta agenda pengembangan infrastruktur di AS. Dan karena desain acara
tersebut adalah bahwa setelah Presiden berpidato akan dilanjutkan dengan
komentar dari satu orang wakil rakyat dari Partai yang berbeda, maka Joe
Kennedy dari Partai Demokrat yang ditunjuk untuk tugas tersebut pastilah akan
merespons dengan kritis.
Joe Kennedy, anggota House yang masih muda
dari Negara Bagian Massachusetts yang sudah menjabat tiga periode
ditunggu-tunggu responsnya karena ia pernah mengkritik taktik partai
Republikan dan cara Presiden Trump menghadapi demonstrasi di Charlottesville.
Joe yang masih kerabat mantan Presiden John F Kennedy ini diharapkan memberi
angin segar.
Tak lain dan tak bukan karena 2018 ini
adalah tahun pemilu juga di AS. Pada 6 November 2018 akan diselenggarakan
pemilu sela (mid-term election) di mana separuh kursi dari anggota Senat (33
kursi) dan seluruh kursi House of Representatives (435 kursi) harus diisi
ulang. Dalam pemilu-pemilu sela yang sebelumnya, biasanya partai presiden
diuji basis politiknya dan hampir selalu kehilangan kursi.
Dalam situasi di mana posisi presiden
adalah mengedepankan program-program yang secara jelas-jelas berseberangan dengan
posisi partai lain, bahkan menolak kompromi atau memberi konsensi dalam
kebijakan di isu lain maka bila ternyata komposisi Kongres berubah, dapat
dibayangkan urusan politik dalam negeri di AS akan semakin pelik, riuh,
bahkan berpotensi macet (terus).
Partai Demokrat yang dikritik dalam pemilu
lalu karena dianggap gagal melakukan regenerasi pemimpin, kali ini harus bisa
menyodorkan calon-calon yang menjanjikan, yang membangun optimisme. Joe
Kennedy berarti termasuk salah satu jago mereka.
Sementara Partai Republikan, jika tidak mau
kehilangan banyak suara, juga perlu “berjarak” dengan kebijakan Presiden. Hal
ini khususnya diperlukan karena sampai saat ini Trump terindikasi kehilangan
popularitas, bahkan di antara para pendukung fanatiknya, terutama dari
kalangan perempuan. Dalam survei-survei yang beredar, makin tinggi posisi
orang-orang yang “strongly disapprove” (sangat menolak) kinerja Trump.
Situasi government shutdown alias
penghentian layanan publik pada 20–22 Januari 2018 menunjukkan bahwa posisi
para anggota legislatif saat ini adalah untuk berseberangan dengan
rencana-rencana pemerintah.
Memang isu yang paling heboh adalah terkait
dilanjutkan atau tidaknya program Deferred Action for Childhood Arrivals,
yakni program yang mengatur izin bagi individu yang masuk ke AS sebagai anak
di bawah umur, apakah akan dianggap ilegal untuk tinggal di AS atau layak
menerima penangguhan dalam jangka waktu dua tahun sehingga terhindar dari
deportasi dan bisa bekerja di AS. Namun, sebenarnya itu hanya refleksi dari
betapa tajamnya perbedaan pendapat antara Presiden dan Kongres.
Obama juga pernah mengalami government
shutdown karena program Obamacare-nya ditentang oleh Faksi Republikan yang
digerakkan oleh Ted Cruz yang juga pimpinan dari Tea Party, organisasi garis
kanan konservatif yang menolak intervensi negara dalam pelayanan publik.
Tetapi waktu itu memang partai Demokrat menjadi minoritas di Kongres. Trump
kali ini justru mengalami government shutdown kala Kongres dikuasai
Republikan, baik di Senate maupun House of Representatives.
Dalam kondisi seperti ini, AS dapat
terkunci dalam situasi kurang kondusif di dalam negeri. Kalau tidak
hati-hati, Trump akan mengalami kondisi lame-duck terlalu dini, alias tidak
punya pengaruh, tidak bisa berbuat apa-apa yang berarti meskipun masa jabatan
masih di tangan.
Dalam periode keduanya memimpin AS, Obama
pascapemilu sela 2014 sempat mengalami kondisi ini di mana segala usulan
legislasi yang diajukannya macet. Urusan luar negeri pun tidak bisa banyak
bergerak.
Urusan menggolkan Obamacare menjadi agenda
besar Presiden Obama saat itu. Urusan luar negeri yang cukup bisa dianggap
suatu terobosan adalah penanganan Iran dan Kuba di mana AS melakukan hal yang
tidak biasa dalam bentuk mencabut embargo ekonomi dan membuka jalur
diplomasi. Namun untuk hubungan dengan negara-negara lain, justru tidak ada
pencapaian berarti.
Di Asia yang dikembangkan adalah Trans
Pacific Partnership (yang ditolak oleh Trump) dan rangkaian dialog serta
kerja sama di bidang politik, keamanan, maritim, dan pendidikan. Dengan
Indonesia ditandatangani Kemitraan Strategis yang Komprehensif antara
Presiden Obama dan Presiden Joko Widodo, meningkatkan status kelengkapan
kerangka kerja sama ke level yang lebih tinggi daripada yang sebelumnya
disepakati Presiden Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi hanya
sebatas itu saja; realisasi dari kerangka kebijakan tersebut juga relatif
terbatas karena waktu implementasi yang efektif justru baru setelah Obama
turun jabatan.
Artinya bila dalam pidato state of the
union tersebut Presiden Trump memberikan sinyal-sinyal untuk terus tidak
berkompromi sama sekali dengan Partai Demokrat dalam menggolkan janji
kampanyenya, Partai Demokrat pun akan sama kerasnya merespons sesuai jalur
kebijakan partainya saja. Bisa jadi kita menyaksikan lebih jarangnya ada
dialog soal isi kebijakan itu sendiri dan lebih banyak urusan saling sinis
saja.
Partai Republikan pun kemungkinan akan
sulit berjarak dengan Presiden Trump, salah satunya karena partai itu belum
punya tokoh alternatif. Konflik politik yang berkembang akibat tudingan
konspirasi Presiden Trump dengan Rusia juga menciptakan kecenderungan partai
untuk defensif semata agar “selamat” ketika menghadapi gempuran FBI,
Kementerian Kehakiman dan tentunya Partai Demokrat.
Urusan luar negeri AS berarti patut
diantisipasi betul-betul akan terpusat pada hal-hal yang langsung berkaitan
dengan janji kampanye Trump, seperti: menghadapi negara-negara “pengirim”
imigran yang notabene adalah negara-negara tetangga AS, China dalam konteks
perang dagang, insentif dan hukuman bagi investor di AS, saling ancam dengan
Korea Utara, memotong program bantuan luar negeri dan mempertahankan posisi
Trump dalam Israel-Palestina.
Itu pun kalau dibayangkan kerumitan ketika
harus mengirim pasukan atau mengeluarkan dana, maka sulit dibayangkan Trump
akan bisa lebih dari retorika. Bahkan untuk isu pemotongan bantuan luar
negeri, menteri luar negeri AS sudah mengindikasikan bahwa yang penting ada
sinergi lebih baik antara Kementerian Luar Negeri AS dan USAID; artinya ide
Trump untuk menyatukan Kementerian Luar Negeri AS dengan USAID telah
diabaikan oleh anggota kabinetnya sendiri. Inilah ujian bagi pilihan langkah
Trump. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar