”War”
Samuel Mulia ; Penulis Kolom”Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
06 Desember 2015
Berkecukupan tidak
berarti berbahagia, kebahagiaan sesungguhnya adalah hidup dalam ketenangan.
Demikian pesan yang dikirimkan seorang teman yang setia nyaris setiap pagi
bertahun lamanya mengirimkan pesan-pesan mulia yang memberi kekuatan.
Perjuangan
Beberapa minggu
sebelum itu, saya membaca kalimat yang ditulis seorang teman di media sosial
miliknya. ”Make love not war”.
Seperti biasa, setelah membaca pesan-pesan itu saya manggut-manggut tanda
setuju. Tetapi, karena kebiasaan sifat yang telat mikir, maka ketika tak
sengaja saya membaca kembali pesan-pesan itu, mulailah otak ini berpikir
keras.
Otak yang tak bisa
berhenti berpikir itu mengawali dengan sebuah pertanyaan. ”Bukannya
peperangan, pertikaian, permusuhan awalnya terjadi gara-gara cinta ya, Bro?
Jadi semakin elo make love semakin make war.” Pertanyaan yang begini ini
suka menghasilkan sakit kepala.
Tiga tahun lalu saya
pernah jatuh cinta. Dan hubungan kami lebih dari sekadar sahabat. Sekali
waktu saya memperkenalkannya kepada salah seorang teman dekat. Singkat
cerita, saya merasa sejak perkenalan itu terjadi, ia juga menaruh perasaan
yang sama seperti saya.
Bahkan, ia menunjukkan
perasaan itu di sebuah media sosial kalimat yang saya yakin Anda ketahui
sebagai sebuah kalimat orang yang sedang mencoba untuk menunjukkan hati yang
kasmaran, berupa perhatian.
Nah, karena saya
merasakan gelagatnya itu, saya mulai melakukan strategi ”perang’ untuk tidak
membiarkan orang yang saya cintai direbut orang lain. Apalagi beberapa orang
menasihati saya, kalau kamu benar jatuh cinta, maka perjuangkan itu. Maka di
masa tiga tahun lalu itu, saya maju ke medan laga untuk memperjuangkan
sesuatu yang saya anggap pantas untuk diperjuangkan.
Pertama, perang ringan
terjadi dengan manusia yang saya cintai itu, kemudian disusul dengan memusuhi
teman yang sekali waktu itu sungguh dekat dengan saya. Permusuhan itu bahkan
berlanjut sampai hari ini dan mengajari saya untuk tidak memercayai orang
bahkan teman yang dekat sekalipun. Peperangan itu juga telah mengajarkan agar
saya berhati-hati memperkenalkan pasangan hidup kepada orang lain.
Menghalau musuh
Saya mengerti bahwa
cinta itu datangnya tak bisa diketahui, dan kita tidak pernah mengetahui
kepada siapa kita akan jatuh cinta. Kalau berbicara dari kacamata teman dekat
saya itu, pernyataan itu sungguh benar adanya, bahkan ia tak bisa disalahkan.
Karena ia sendiri mungkin tak menduga bakal jatuh cinta dengan orang yang saya
cintai.
Tetapi, manusia itu
suka lupa kalau cinta itu bisa membutakan. Buta itu mampu membuat seseorang
tega memancing peperangan dan menjadi tidak peduli. Terus mengapa saya ini
perlu sampai berperang dan tak mengalah saja?
Meski saya cemburu,
saya maju ke medan laga bukan untuk menunjukkan kecemburuan, tetapi sebuah
aksi untuk memperjuangkan apa yang pantas saya perjuangkan, serta membela dan
melindungi orang yang saya cintai dan diri saya sendiri. Saya ini jomblo
selama berabad-abad, jadi saya harus melindungi diri agar tidak jomblo lagi.
Karena orang kalau
jomblo kelamaan seperti saya, cara pandangnya berbeda. Sekali mendapatkan
kesempatan jatuh cinta, maka perjuangan untuk mempertahankannya akan kencang
seperti tsunami, karena takut kalau sampai jomblo lagi dan berlangsung
berabad-abad.
Kebahagiaan
sesungguhnya adalah hidup dalam ketenangan. Kalimat itu juga menggelitik otak
saya semakin bawel. Saya sangat setuju pada akhirnya ketenangan itu yang
dicari. Dalam kasus saya, kecemburuan dan permusuhan terjadi karena
ketenanganlah yang saya cari. Karena kalau saya tidak tenang, saya tidak bisa
tidur, tidak bisa makan, menjalani hidup dengan gelisah, dan akhirnya tidak
menghasilkan kebahagiaan.
Ketenangan tidak
dihasilkan dengan diam tenang. Dalam kasus saya, saya hadapi permasalahannya,
terjadi friksi dengan orang yang saya cintai, dan saya memutuskan untuk
menjauhi teman dekat saya itu sebagai sebuah usaha untuk tidak dekat lagi
pada sumber petaka. Karena kalau saya membiarkan persahabatan itu terjadi,
saya hanya melakukan aksi bunuh diri. Sebuah aksi untuk membiarkan diri saya
untuk tidak tenang dan tidak berbahagia.
Setelah semua
’peperangan’ itu saya lakukan, saya menjadi tenang, saya menemukan ketenangan
dan saya berbahagia. Pertikaian itu pun dilakukan ibu saya, sampai ia beradu
mulut dengan seorang penjaga toko kain karena mengatai anak laki-lakinya
seperti perempuan.
Peperangan kecil itu
saya yakini juga karena cinta, sebuah bentuk pembelaan dan sebuah bentuk
mencari ketenangan. Karena saya yakin kalau ia tak mengonfrontir penjaga toko
itu, ia pasti pulang dengan rasa kesal. Nah, peperangan itu kadang mesti
dilakukan agar kekesalan itu tidak berlarut dan diam bercokol.
Entah dari mana
datangnya, tiba-tiba hati saya bertanya. Apakah perang, pertikaian, twitwar,
atau apa pun bentuk permusuhan yang saya lihat dan baca belakangan ini juga
didasari karena cinta, serta untuk mendapati ketenangan dengan berusaha
menjauhkan sumber petaka yang membuat mereka tak bisa tenang?
Nah, kalau saya yang
giliran bertanya dan bingung seperti ini dan tak bisa mendapat jawaban, otak
saya diam sejuta bahasa. Hilang seperti ditelan bumi dan meninggalkan saya
dalam kekesalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar