Pemuda dan Bangsa Pesimistis
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
KOMPAS,
30 November 2015
Selain mengesankan,
secara substansial saya menyetujui pandangan yang ditulis Dr Boediono tentang
"Manusia dan Bangsa" (Kompas, 13 November 2015) yang sekaligus
mengafirmasi kecendekiawanan dan visi kenegarawanan mantan wakil presiden
itu, melebihi spesialisasi ilmu yang melekat padanya.
Pada inti dan pada
akhirnya, proses apa pun yang berada dalam ruang kebudayaan, termasuk
pembangunan sebuah bangsa/negeri, adalah menghasilkan manusia yang mampu
mengeksplorasi dan mengaktualisasi hingga tingkat optimum potensi
keilahiannya sehingga ia memiliki keluhuran dan kemuliaan sebagaimana ia
harusnya ada (dan diciptakan).
Meskipun demikian,
sejarah modern (terlebih pascamodern) negara-negara dunia. Realitas global
mutakhir seperti menawarkan hanya satu kategori masalah, dalam jumlah tak
terhitung, hari ke hari, dan datang tiada henti: kritis atau emergensial.
Tidak ada pemimpin negara di atas muka bumi ini yang memiliki cukup waktu
untuk mengendapkan atau mengontemplasi semua masalah, untuk mendapatkan
substansi atau proyeksi futuristik, misalnya, sehingga membuat mereka tidak
memiliki pilihan kecuali: penyikapan atau tindakan yang pragmatis, sebagian
bahkan oportunistis. Seorang menteri yang dekat dengan Presiden Joko Widodo
mengekspresikan situasi tersebut sebagai "perang setiap hari" di
seputaran kamar-kamar kerja Istana Merdeka. Kamar-kamar di mana negosiasi dan
diplomasi pragmatis-dan oportunistis-terjadi antara pemerintah dan pihak
"lain".
Bagaimana dalam
situasi semacam itu, problem dasar yang diungkap Boediono dapat memperoleh
perhatian yang cukup memadai? Sementara pembangunan manusia, sebagaimana
pengembangan kebudayaan, sesungguhnya-kita, termasuk kalangan
pemerintah-menyadari adalah fundamen terpenting dalam semua proses
pembangunan. Apabila menuruti logika Boediono, sampai hari ini (bahkan sejak
masa Orde Lama), pembangunan lebih bersifat institutional heavy ketimbang human
heavy. Satu sifat atau karakter yang tidak hanya kerap terjebak dalam
proforma dan retorika, tetapi juga pemanfaatan ukuran statistikal yang sangat
materialistis, mengabaikan betapa di dalam "materi" sebuah bangsa
terdapat ruh atau jiwa yang tak mungkin kita biarkan terdegradasi sehingga
membuat pencapaian material (institusional) apa pun jadi hampa.
Itulah yang terjadi,
misalnya dalam penanganan asap dan kebakaran di kawasan gambut yang
merongrong bukan hanya ekonomi, kesehatan, politik, keamanan, tetapi bahkan
hingga kedaulatan negara. Pelbagai program kebijakan cepat yang dihasilkan,
lagi-lagi berbasis pendekatan kritis dan kedaruratan, melulu diambil dengan
pertimbangan yang 90 persen bersifat teknis, teknologis, dan administratif.
Padahal, seperti dinyatakan oleh PBB dan Kementerian LHK sendiri, 90 persen
penyebab kebakaran sebagai induk dari masalah adalah manusia. Akan tetapi,
mengapa justru persoalan manusia ini agak diabaikan, dengan tidak tampaknya
program kuat dalam mengubah cara berpikir, cara bertindak, hingga persoalan adat,
tradisi hingga budaya yang melekat pada manusia tersebut?
Sudah begitu lama,
terlalu lama, kita meninggalkan core
dari kerja pembangunan kita, dari proses pembudayaan kita sebagai bangsa,
yakni manusia.
Pertanyaan eksistensial
Sehebat atau
sesempurna apa pun regulasi dan institusi diciptakan dalam tata kehidupan
bernegara dan berbangsa, akan tetap sia-sia jika manusia pembuat dan
pelakunya tak cukup beradab/berbudaya sehingga dengan mudah memelintir,
memanipulasi dan mengkhianati keluhuran dari kehebatan itu. Trisila Soekarno,
tak akan pernah mencapai hasil paripurnanya (berdaulat dalam politik dan
berdikari dalam ekonomi) tanpa didului atau diiringi sukses dimensi
ketiganya, "kepribadian yang berkebudayaan". Seperti contoh
"pemberantasan korupsi" yang diperjuangkan institusi hebat, seperti
KPK, tak akan pernah mendapatkan hasil signifikan, bahkan hanya untuk
potongan kecil puncak piramida sosial yang ditempati kaum elite, jika
programnya lebih berat pada penindakan dan pencegahan pragmatis, bukan pada perubahan
sikap mental dan perilaku manusianya.
Maka bila, sekali lagi
bila, kita bersama mampu memafhumi dan sepakat dengan eksplanasi tentang
manusia di atas, setidaknya ada tiga prakondisi atau semacam
"rukun" yang wajib dikerjakan untuk memulai pembangunan kebudayaan
(manusia) secara sungguh-sungguh (hal-hal yang justru dalam hemat saya belum
atau selalu gagal kita lakukan selama ini). Pertama, dan ini problem paling
mendasar kita, mengomprehensi dan mengonstitusi kenyataan eksistensial dan
mutakhir dari diri kita sendiri, "manusia Indonesia". Komprehensi
di sini, saya maksudkan, lebih dari sebagai sebuah pemahaman yang (umumnya
akademis dan) cenderung bersifat spesifik, uni-dimensional, atau bahkan
sektarian, tetapi pada pengertian yang holistik (multidimensional) tentang
kenyataan kemanusiaan itu.
Menjadi kesulitan luar
biasa ketika siapa pun bertanya pada kita, "siapakah Anda?". Siapa,
atau apakah aku? Hampir tidak ada perangkat rasional yang kita anggap cukup
adekuat dan komprehensif untuk menciptakan jawaban. Pertanyaan eksistensial
ini tentu saja sangat mendasar. Namun, bagaimana ia bisa dijawab, saat
jangankan terma besar "Indonesia", bahkan identitas primordial yang
melekat dalam DNA kultural kita pun sudah tidak mampu kita mengenali. Apa itu
"Jawa", "Sunda", "Minang", "Flores"
dan sebagainya, sudah tidak kita pahami wadag maupun esensinya. Wong jowo
ilang jawane, demikian salah satu ekspresi lokal mengungkapkannya. Bagaimana
kemudian kita melakukan sesuatu pada manusia jika kita tidak mengenalinya?
Bagaimana sebuah
regulasi, institusi ditegakkan dan program-program dijalankan demi
kemaslahatan manusia, tetapi kita sungguh-sungguh tidak mengenali subyek dari
itu semua? Bagaimana seseorang memimpin, apa pun, jika ia tidak paham apa
atau siapa yang dipimpinnya? Benarkah dengan kebutaan komprehensi semacam
itu, negara ini melangsungkan hidupnya selama 70 tahun?
Kedua, dan ketiga tak
dapat saya sebutkan di sini karena kedua "rukun" itu hanya dapat
dilakukan ketika yang pertama dapat kita selesaikan dengan saksama. Dalam
arti lain, upaya membangun, mengubah atau melakukan "revolusi diri"
manusia tak akan mungkin terjadi, ketika pihak yang memiliki obligasi tak
mampu menuntaskan "rukun" pertama tadi.
Bangsa pesimistis
Saya mulai dengan
subyek apa yang disebut dengan "manusia/generasi muda Indonesia".
Bukan saja karena dalam berbagai uji coba saya di banyak kota dan lembaga
menemukan kenyataan mereka benar-benar blank bahkan frustrasi hanya untuk
mendapatkan cara menciptakan jawaban dari pertanyaan di atas. Tapi juga,
tentu, pada generasi inilah perubahan manusia kita arahkan sebagai target
utama, tanpa menafikan betapa pentingnya kalangan senior bahkan anak-anak
dijadikan sebagai target karena pada titik tertentu mereka juga mengambil
peran signifikan.
Generasi muda, mereka
yang secara sosiologis tergolong generasi Y dan Z, harus jujur kita akui,
jika tidak merupakan produk dari the lost generation, yang tak lain adalah
generasi X-seperti penulis sendiri-bisa dikatakan sebagai alien dalam
kehidupan umum kita bermasyarakat dan berbangsa yang notabene masih dipepati
oleh tradisionalisme bahkan ortodoksi yang dibumbui sedikit retorika
modernitas (baca: saintifis dan teknologis) yang sebenarnya masih terasa
asing bagi peri kehidupan kita yang ambigu dan paradoksal ini. Mereka menjadi
alien, ketika kita mengalami kesukaran besar memahami mereka di saat kita
masih melihat mereka dengan ukuran-ukuran dan visi atau kosmologi tradisional
kita. Pada saat kita sendiri termangu dan tak berdaya, menyaksikan diri kita
sendiri menjadi kurban dari (semua produk) zaman, yang perlahan atau cepat
mengubah diri kita tanpa kita mampu berbuat apa-apa, terlebih melakukan hal
sebaliknya.
Semua produk peradaban
atau zaman, dengan budaya yang menguntit atau mengiringinya, datang pada kita
bukan untuk kita kuasai, tetapi justru menguasai kita. Sadar atau tidak kita
hidup, atau merasa hidup, dengan tingkat ketergantungan tinggi pada semua itu
(jadi pegawai/buruh/eksekutif, busana, gaya hidup, alat angkut, media massa,
hingga gawai-gawai elektronis yang menenggelamkan bahkan seluruh kesadaran
kita).
Di titik inilah saya
menganggap bangsa kita berada pada état atau kondisi yang pesimistis, bahkan
dalam beberapa ukuran: apatis. Sebuah kondisi di mana seseorang sudah tak
mampu berbuat apa-apa lagi untuk menentukan dirinya sendiri, kecuali ia
ditentukan oleh hal lain. Hal itu disebabkan kenyataan ia tak merasa
berkapasitas lagi mengomprehensi apa yang ada (dan terjadi) dalam dirinya.
Sebuah adab (dan
budaya) yang karena begitu kompleks, bahkan kaotis sehingga kita gelap tidak
mengenalinya, merasa asing bahkan tercekam atau cemas terhadapnya. Lalu
kalah, akhirnya menyerah. Dalam situasi umum itulah, generasi muda kita
berjuang menemukan dan menentukan dirinya. Menggauli zaman secara dekat, mencoba
menguasai semua perangkat dan produknya, berusaha menciptakan sesuatu yang
mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan dirinya. Di sinilah poinnya: kita
tak tahu dan paham apa yang terjadi dalam generasi itu, ketika kita masih
menggunakan standar usang dalam dunia pendidikan, keilmuan, tradisi, negara
bahkan agama kita.
Bahwa generasi muda
sudah meninggalkan kita jauh. Tidak lagi, antara lain, menggunakan semua
acuan konservatif yang masih menjadi kapstok mental-intelektual kita.
Menganggap diri mereka yatim piatu dan mencari orangtua kultural baru mereka
lalu membuat kita putus asa karena kita gagal dan jatuh sebagai pecundang
lengkap dengan baju kebesaran dan kecongkakan kita sebagai pejabat negara,
orangtua kaya, ustaz lihai, atau tetua adat yang tetap rajin berilusi masih
mengenali dan menguasai mereka. Bagaimana kemudian kita hendak mengubah
mereka, bahkan untuk mendekatinya pun kita tak punya kendaraan untuk
menjangkaunya? Apa guna pendidikan dan semua institusi negara yang dibuat
untuk mereka? Apa guna mereka menghabiskan uang rakyat (bahkan ratusan
triliun) untuk sesuatu yang nyata sia-sia.
Pembangunan manusia,
sejatinya-sekali lagi-inti dari semua kerja dan tujuan kita berbangsa, di
semua sektornya. Tak hanya pada sektor yang-menurut kita-berkait langsung,
tetapi juga sektor perdagangan, industri, pedesaan, pertanian, hingga urusan
dalam dan luar negeri, bahkan pertahanan hingga intelijen. Bahkan, mungkin
dia tak butuh institusi tersendiri, terlebih jika aparatusnya terlalu congkak
dan invalid dalam memahami subyek pekerjaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar