Pembusukan Etika Politik
Masdar Hilmy ;
Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan
Ampel Surabaya
|
KOMPAS,
05 Desember 2015
Dugaan pencatutan nama
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh seorang petinggi
politik kita dalam kasus kontrak karya Freeport dapat menggerus kualitas
politik-demokrasi dari dalam. Penggerusan semacam ini, dalam banyak hal,
memberikan ancaman lebih besar ketimbang penggerusan dari luar oleh
musuh-musuh eksternal demokrasi. Penggerusan tersebut mencerminkan defisit
etika politik yang berpijak pada tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Francis Fukuyama dalam
Political Order and Political Decay
(2014) mengatribusikan sikap institusi dan atau individu yang berantitesis
terhadap kualitas politik-demokrasi modern sebagai "pembusukan
politik". Salah satu sumber pembusukan tersebut berasal dari
ketidakmampuan sebuah institusi dan atau individu-individu di dalamnya untuk
merespons dan beradaptasi dengan tuntutan baru berdasarkan pada paradigma,
pola pikir atau prinsip-prinsip etika politik yang baru pula.
Cengkeraman elite
Dalam hal terjadinya
pembusukan dari dalam, institusi kenegaraan modern yang seharusnya bersifat
impersonal akan rawan jatuh dalam cengkeraman elite dalam sebuah proses yang
oleh Fukuyama disebut sebagai "reptarimonialisasi". Demokrasi
modern secara teoretik seharusnya mampu mengatasi persoalan cengkeraman elite
melalui penerapan prinsip pemerintahan yang akuntabel, baik, dan bersih.
Demokrasi semestinya melakukan distribusi public good kepada seluruh warga
negara melalui perangkat kelembagaan yang ada.
Sekalipun demokrasi
memiliki mekanisme pengawasan terhadap perilaku elite, ia sering kali gagal
menjalankan peran pengawasan sebagaimana dikehendaki. Hal ini karena para
elite biasanya memiliki akses terhadap sumber daya (ekonomi-politik) dan
informasi yang mereka gunakan untuk melindungi kepentingan diri mereka
sendiri. Publik tentu tidak akan marah terhadap perilaku elite yang dengan
seenaknya melakukan penyalahgunaan wewenang jika mereka tidak tahu. Tetapi,
publik akan menumpahkan kekesalan mereka melalui mekanisme politik-demokrasi
yang ada ketika mereka mengetahui ulah "tak senonoh" elite politik
kita.
Tindakan mencatut nama
Presiden dan Wakil Presiden oleh siapa pun, barangkali dapat ditoleransi
sepanjang ada rasionalitas publik yang kuat, adekuat, serta darurat. Namun,
jika pencatutan nama keduanya dilakukan atas motif-motif yang berlawanan
dengan public good, tindakan
tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Grant dan Keohane
(2005) dalam artikel mereka, "Accountability
and Abuses of Power in World Politics" menegaskan bahwa
penyalahgunaan wewenang terjadi ketika "public
officials act against the interests of the public". Yakni, ketika
elite politik bertindak secara berlawanan dengan kepentingan publik.
Namun demikian, betapa
pun seorang elite politik memiliki rasionalitas publik yang kuat untuk
mencatut nama-nama elite politik tertentu, bukan berarti hal demikian dapat
diterima dalam praktik politik modern. Elite politik yang telah
menyalahgunakan wewenang dapat dipastikan mengalami defisit etika dalam
berpolitik. Etika politik dalam konteks ini merujuk pada prinsip-prinsip
moral yang menjadi tiang penyangga tegaknya nilai-nilai dan praktik politik
yang berpijak pada tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Oleh karena itu,
terminologi politik modern harus mengakomodasi kosakata baru terkait dengan
praktik politik yang dianggap tabu: pantang menyalahgunakan wewenang demi
alasan apa pun, termasuk mencatut nama-nama tertentu dan atau berbohong untuk
motif dan tujuan yang apublik. Beruntunglah kita memiliki mekanisme demokrasi
yang mampu melakukan koreksi, komplain, dan checks and balances terhadap praktik-praktik politik yang tak
terpuji. Ke depan, untuk mengakhiri kegaduhan publik, Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) DPR harus bertindak cepat dengan menghukum ulah sebagian elitenya
yang tidak etis.
"Tripod" etika politik
Guna mencegah
pembusukan etika politik, Fukuyama menyarankan diperkuatnya sistem politik modern
yang diilustrasikan sebagai "tripod" yang tiap-tiap elemennya
saling menopang; negara modern, penegakan hukum, dan akuntabilitas demokratik
(h. 550). Sebagai sebuah segitiga sama kaki, tripod tersebut harus berdiri
secara seimbang agar dapat memastikan terjaminnya etika politik yang sehat,
terbuka, dan berkeadilan. Agar "tripod" tersebut berdiri secara
seimbang, rasionalitas publik harus menjadi referensi utama bagi tindakan
elite politik.
Negara modern
dibutuhkan untuk mengakumulasikan dan mendistribusikan kekuasaan, di lain
pihak penegakan hukum dan akuntabilitas publik diperlukan untuk membatasi dan
menyalurkan kekuasaan itu sendiri. Sebagai sebuah institusi, Indonesia
barangkali telah memiliki persyaratan sebagai negara modern, terutama seiring
dengan semakin lengkapnya perangkat kenegaraan yang ada. Namun demikian, kita
harus jujur mengakui bahwa Indonesia masih mengalami persoalan serius di dua
aspek lainnya; penegakan hukum dan akuntabilitas publik.
Jika
"tripod" berdiri secara tidak berimbang, maka sebuah negara dapat
terjatuh pada kediktatoran atau bahkan negara gagal. Masih menurut Fukuyama,
pemerintahan patrimonial atau neopatrimonial yang dianut oleh banyak negara
berkembang menjadi penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan. Melepaskan diri
dari jeratan politik-demokrasi patrimonial atau neopatrimonial menuju negara
demokrasi modern jauh lebih sulit ketimbang transisi politik dari rezim
otoritarianisme ke rezim demokrasi.
Fukuyama bahkan secara
khusus menyoroti kondisi politik Indonesia-bersama Brasil, Meksiko, dan
India-sebagai negara yang kompetitif secara demokrasi, tetapi mengalami
problem korupsi akut dan penyumbatan distribusi service delivery secara adil dan merata (h. 551). Dalam konteks
ini, pembangunan infrastruktur kereta api di luar Jawa oleh pemerintahan
Jokowi dapat dimaknai sebagai upaya mengurai persoalan terakhir di atas.
Sayangnya, kerja keras pemerintah seakan "dinodai" oleh ulah tidak
etis elite lainnya untuk tujuan-tujuan yang belum diketahui manfaatnya bagi
publik.
Oleh karena itu,
perilaku elite yang mengabaikan etika politik harus menjadi catatan bersama
agar tidak menular kepada elite lainnya. Arbitrase etika politik yang
berpijak pada prinsip tata pemerintahan yang akuntabel, baik, dan bersih,
harus segera ditegakkan agar penggerusan dari dalam tidak terulang lagi.
Penegakan etika politik akan menjadi pintu masuk bagi terurainya berbagai
bentuk penyimpangan politik yang dapat berujung pada pembusukan etika politik
di negeri ini. Sebab jika ulah tidak etis para elite dibiarkan, jangan harap
keadilan dan kesejahteraan distributif dapat benar-benar membumi di negeri
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar