Senin, 14 Desember 2015

Kenapa Belajar Pendidikan ke Finlandia?

Kenapa Belajar Pendidikan ke Finlandia?

Khairil Azhar  ;  Peneliti pada Indonesian Institute for Society Empowerment
(INSEP) Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 14 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SALAH satu jawaban yang paling mudah tentu saja dengan menggunakan data statistik tentang bagaimana pendidikan di Finlandia menjadi fenomena terutama sejak dekade 2000-an. Dalam rangkaian penilaian pendidikan dalam skala internasional yang diselenggarakan PISA, program yang digagas dan difasilitasi OECD, Finlandia, terus-menerus membuktikan diri telah berhasil membangun pendidikan dengan standar yang tinggi, yakni untuk bidang keaksaraan, matematika, dan sains untuk tingkat pendidikan menengah.

Finlandia memiliki sistem pendidikan yang berbeda dengan sistem dan pengelolaan pendidikan di beberapa negara maju, atau supaya apple to apple diperbandingkan, di negara-negara yang mengikuti program asesmen PISA. Secara garis besar, pendidikan di Finlandia bisa dinyatakan memiliki basis atau bukti keterselenggaraan pendidikan yang sistemis dan kukuh.

Untuk membuktikan hal ini, kita bisa menggunakan parameter penilaian kebijakan, stukturasi kependidikan, dan basis masyarakat tempat pendidikan diselenggarakan.

Beberapa ciri utama

Pertama ialah dengan melihat kebijakan pendidikan, yaitu reformasi pendidikan sudah berlangsung di Finlandia selama lebih dari 40 tahun. Keberhasilan pendidikan di Finlandia landia bukanlah sesuatu yang tanpa desain. Pengalaman pahit dan panjang Finlandia sebagai negeri yang menjadi koloni Swedia dalam kurun ratusan tahun, disusul cengkeraman kekuasaan ekspansif Rusia, serta perang sipil yang pahit yang penuh darah dan air mata membuat negeri ini belajar banyak.

Di saat bersamaan, ketika revolusi industri mengubah wajah Eropa sejak ditemukannya mesin uap pada abad ke-16, meskipun lebih belakangan daripada negara-negara Eropa kontinental seperti Jerman atau negara pulau lainnya, seperti Inggris, Finlandia dengan sendirinya juga menghadapi (atau beruntung) menjadi bagian dari revolusi tersebut.

Kebijakan pendidikan di Finlandia secara sadar didasarkan pada demokrasi. Negara secara jelas dan tegas menjamin hak-hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka. Sampai taraf yang signifikan, Finlandia menganut asas ‘pendidikan untuk pendidikan’, yaitu pendidikan tidaklah mesti diganggu atau bahkan dirusak pengaruh indoktrinasi atau kepentingan-kepentingan yang nonkependidikan.

Finlandia percaya bahwa pendidikan hanya bisa maju ketika kebebasan berpikir dan berekspresi mendapat tempat dan tidak serta-merta karena tuntutan politis atau pragmatis dikorbankan. Kebijakan pendidikan gratis di semua tingkat juga tidak kemudian membuat pendidikan Finlandia menjadi berkualitas rendah.

Kata kunci pertama dalam konteks ini adalah ekualitas, yaitu pendidikan mengharam kan pembedaan struktural laki-laki dan perempuan, stratifikasi kelas ekonomi, serta berbagai bentuk diferensiasi sosial lainnya. Sejak di awal abad ke-20, jauh sebelum banyak negara maju mampu melakukannya, Finlandia telah memberikan hak suara bagi kaum perempuan dalam pemilihan umum, hak untuk menjadi pejabat publik, serta berbagai bentuk kesetaraan lain dalam relasi gender. Secara bebas, pernyataan yang paling sering dikutip bisa diindonesiakan ialah bagaimana kita akan bergerak maju jika kaum perempuan, yang merupakan setengah atau lebih dari penduduk kita, tidak mampu atau dihalagi untuk mencapai dan merealisasikan kemampuan terbaik mereka, yang berarti akan mengurangi setengah dari kemampuan Finlandia untuk bergerak maju.

Yang tidak kalah pentingnya ialah konsep ekuitas, yaitu setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, terlepas dari mampu atau tidak-mampu secara ekonomi, jauh atau dekat dari fasilitas pendidikan, di perdesaan atau di perkotaan.

Konsep pendidikan gratis serta fasilitasi pendidikan harus menjangkau masyarakat di mana pun mereka berada untuk semua tingkat, kemudian menjadi pilihan sadar yang memungkinkan tidak saja mobilitas vertikal, tetapi juga kesempatan untuk mennyelenggarakan kehidupan yang layak. Alhasil, tingkat literasi di Finlandia mencapai 100% dan pengangguran relatif tidak menjadi masalah yang berarti.

Kedua, sebagai implementasi dan tentu saja untuk memastikan keberlangsungan pendidikan yang diidealkan, Finlandia membangun struktur kependidikan yang sistemis dan dinamis. Jauh dari sekadar soal kukuh, rapi, atau aspek appearance lainnya, struktur pendidikan dibuat sedemikian rupa supaya bisa memperbarui dirinya sendiri sesuai dengan dinamika sosial, ekonomi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Tampere, sebagai contoh, kita bisa menikmati lingkungan sekolah dengan bangunan-bangunan klasik Finlandia dari beberapa dekade sebelumnya, ruang-ruang, serta alat-alat pembelajaran yang berumur puluhan tahun, dan perabotan yang sudah menjadi barang antik.
Namun, semua itu dibungkus teknologi modern yang memungkinkan pembelajaran lintas waktu yang dengan sendirinya menanamkan historisitas dan kebanggaan kultural.

Di school of education, fakultas keguruan dan pendidikan, meskipun dari segi fasilitas dilengkapi dengan teknologi yang juga ultramoderen, para mahasiswa tidaklah belajar seperti bayangan atau apa yang cenderung dilakukan di Indonesia.

Mahasiswa calon guru--yang di Finlandia biasanya hanya bisa diraih lulusan top ten sekolah menengah--betul-betul belajar menjadi guru dalam rentang waktu yang tak singkat dan berpayah-payah. Bayangkan, jika ingin menjadi guru Anda harus belajar menjahit, merajut, bertukang, membuat rangkaian listrik, dan tentu saja teknologi informasi. Secara kasatmata bisa dilihat bahwa calon guru harus membangun pengetahuan dan kemampuan mereka tidak saja dari segi konten dan pedagogis, tetapi juga lebih jauh dalam hal mendesain, membuat, dan mengelola software dan hardware yang dalam persepsi umum di Indonesia bisa dibeli, dibuatkan, dan dikelola orang yang berbeda.

Ketiga, pendidikan di Finlandia tidak akan mungkin berjalan dengan baik jika hanya terbatas pada kebijakan dan struktur yang sistemis. Selain bertumpu pada demokrasi, yang diwujudkan dalam sistem politik dan ekonomi, sistem sosial yang propendidikan hanya dimungkinkan ketika terdapat nilai-nilai dan pranata sosial yang mendukung.

Terlepas dari diskusi apakah sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pendidikan bergantung pada nilai-nilai yang dianut masyarakat, seperti etika Protestan di negara-negara dengan mayoritas penduduk Lutheran, kemajuan pendidikan Finlandia dengan jelas bisa dilihat sampai tingkat yang signifi kan yang dimungkinkan aspek-aspek yang sudah menjadi kultur.

Selain realitas bahwa profesi guru diminati melebihi profesi lain meskipun secara ekonomi belum tentu memberikan penghasilan yang lebih tinggi, penghargaan sosial serta bagaimana profesi ini dijalankan di lembaga-lembaga pendidikan merupakan realitas yang tak terbantahkan.

Yang lebih menarik ialah ketika kita lebih mudah berasosiasi bahwa itu semua dimungkinkan sebagai wujud dari adanya kesadaran individual atau sistem prosedural yang memaksa, pada kenyataannya, terdapat sistem yang memungkinkan terjadinya reproduksi kesadaran individual dan sosial yang konsekuensinya melahirkan keinginan dan upaya perbaikan terus-menerus.

Terakhir, jika kemudian ditanyakan, “Kenapa mesti belajar ke Finlandia?”, jawabannya tidaklah semata-mata karena melihat pencapaian Finlandia dalam ranking PISA, meskipun itu merupakan salah satu indikator, tetapi lebih jauh bahwa pendidikan di sana menjadi fenomenal karena terdapat rangkaian kebijakan, struktur kependidikan yang sistemis, dan betapa terdapat sistem sosial yang supportive.

Ketiga aspek itu tidak hanya memungkinkan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan untuk menjalankan fungsi-fungsinya, tetapi juga lebih jauh selalu memberikan ruang bagi dinamika pembaruan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar