Agama dan Kekerasan : Mengurai Fikih Toleransi
A Helmy Faishal Zaini ;
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS,
04 Desember 2015
Maraknya radikalisme
dan juga terorisme akhir-akhir ini, termasuk tragedi Paris beberapa waktu
lampau, membuat kita semakin waswas. Meminjam istilah jurnalis senior Bre
Redana (2015), ”kiamat” bisa terjadi kapan saja sebab rasa waswas masyarakat
hari ini sudah sedemikian akut. Bom bisa meledak kapan pun dan diledakkan
oleh siapa pun.
Sesungguhnya sejarah
radikalisme sudah sangat mengakar jauh pada masa sahabat-sahabat Nabi masih
hidup. Kita mengenalnya dengan sebutan kaum Khawarij. Istilah Khawarij muncul
dan berkembang pertama kali dalam sejarah Islam tepatnya pada abad pertama
Hijriah (sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi), yang sejatinya
dilatarbelakangi konflik politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan
Muawiyah bin Abi Sufyan.
Ihwal keberadaan kaum
Khawarij ini, Ikhwanul Kiram Masyhuri (2014) memberikan beberapa ciri utama.
Pertama, selalu berpegang teguh pada hukum Allah serta tidak mengakui adanya
pemerintah. Kedua, selalu memosisikan pihak yang berbeda dan berseberangan
dengannya sebagai kelompok liyan ataupun the others. Dua ciri ini jika kita
tarik dalam konteks kekinian memang masih sangat kental menyelimuti pola
beragama kaum ekstremis.
Keadaan yang demikian
itu, menurut saya, sungguh merupakan keadaan yang sangat mengerikan.
Pertanyaan otentiknya kemudian, sikap apa yang harus kita ambil dalam
menghadapi situasi yang demikian? Jawabannya, menurut hemat saya, terletak
pada pendidikan.
Urgensi fikih toleransi
Saya sepakat dengan
Malala Yosafzai (2015). Perempuan peraih Nobel Perdamaian 2014 itu dengan
sangat jernih pernah berujar, ”With
guns you can kill terrorist, with education you can kill terrorism.”
Melawan terorisme dengan cara mengangkat senjata bukanlah jalan terbaik.
Sebab, terorisme hanya bisa diatasi dengan pendidikan. Dengan pendidikan kita
bisa memerangi atau bahkan memberangus terorisme.
Lalu, pendidikan yang
bagaimana yang harus kita laksanakan? Tentu saja pendidikan yang mengajarkan
pentingnya semangat menghargai perbedaan serta menjunjung tinggi toleransi
atas nama penghargaan pada kebinekaan. Toleransi adalah kata kunci dalam
memerangi terorisme saat ini. Toleransi berarti bukan sekadar tersedianya
ruang dialog dalam diri seseorang untuk mencoba membicarakan
perbedaan-perbedaan. Lebih dari itu, toleransi adalah sikap respect terhadap hal-hal yang
berseberangan dengan diri kita.
Dalam Islam,
pendidikan toleransi itu sangat kental diajarkan dalam disiplin ilmu fikih.
Fikih yang merupakan kerangka pijakan ”perilaku” sehari-hari sesungguhnya
sangat tegas mengajarkan kepada umat Islam agar berperilaku toleran. Semangat
toleransi dan menghargai bukan saja diajarkan untuk menghormati sesama
manusia. Lebih dari itu, semangat toleransi juga ditempatkan sebagai framework untuk menghargai semua
makhluk di dunia, mulai dari binatang, benda mati, sampai tumbuh-tumbuhan.
Dalam sebuah diktum
fikih dikatakan bahwa terlarang untuk buang air kecil (kencing) di
lubang-lubang tanah sebab dikhawatirkan di sana, di lubang-lubang kecil di
tanah itu, sedang bersemayam binatang-binatang yang kita tidak bisa
melihatnya dengan kasatmata karena terlampau kecil. Hal ini adalah contoh kecil
sekaligus bukti sahih fikih selalu berusaha mengusung dimensi toleransi dan
penghargaan kepada siapa pun.
Ajaran fikih yang
toleran dan inklusif ini juga tecermin dari sikap Nabi Muhammad SAW pasca
peristiwa penaklukan kota Mekkah. Kala itu, Nabi tidak memperlakukan
orang-orang kafir Quraisy yang sudah berhasil ditaklukkan sebagai tawanan
perang. Justru sebaliknya, Nabi Muhammad berpidato, ”Hadza laisa yaumul malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah (Hari ini bukanlah hari pembantaian dan
pembalasan, tetapi hari ini adalah hari kasih sayang).”
Membayangkan adegan
itu, kita bisa menyaksikan betapa lapang dan matang mental dan psikologi Nabi
Muhammad SAW. Terhadap orang-orang yang selama ini memperlakukannya
semena-mena dan selalu memusuhinya, tatkala mereka berhasil ditaklukkan, Nabi
tak membalas dendam. Justru sebaliknya, ia mendeklarasikan yaumul marhamah
(hari kasih sayang) yang artinya kaum kafir Quraisy bisa bebas dan hidup
damai berdampingan dengan orang Islam.
Dalam konteks
keindonesiaan, sesungguhnya kita memiliki modal yang sangat berharga untuk
mencapai tatanan masyarakat yang maju. Meminjam analisis Mohammed Arkoun
(1990), masyarakat Indonesia memiliki peluang yang sangat besar. Sebab,
masyarakat Indonesia memiliki watak yang toleran dan terbuka. Dalam bahasa
Arkoun, pemeluk-pemeluk agama di Indonesia sangat menghargai dan menghormati
pemeluk agama lain.
Modal sosial
masyarakat Indonesia yang dalam pandangan Arkoun sangat toleran tersebut
harus benar-benar bisa kita manfaatkan demi membangun tatanan sosial yang
lebih berbudaya dan bermartabat. Pada konteks inilah peran ormas-ormas Islam,
seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sangat dibutuhkan. Hal itu
setidaknya dibuktikan dengan rilis Kompas beberapa waktu lampau yang
menyatakan bahwa 41 persen NU berperan mewujudkan iklim toleransi beragama di
Indonesia.
Islam Nusantara sebagai solusi
Narasi Islam Nusantara
yang dibangun NU sesungguhnya tak lain adalah upaya konkret dalam rangka
membangun, salah satunya, fikih yang toleran, terbuka, dan inklusif. Islam
Nusantara hadir sebagai bagian untuk mengompromikan ajaran agama dengan
kearifan lokal-kearifan lokal yang sudah mengakar jauh sebelum Islam datang
dan masuk ke Nusantara itu sendiri.
Corak berfikih ala
Islam Nusantara adalah corak berfikih yang tidak monolitik. Ia berwatak
pluralistik dan selalu membuka ruang dialog serta menghargai perbedaan. Itu
sebabnya, dalam memaknai jihad, misalnya, NU lebih berpedoman bahwa terma
jihad harus direlevansikan sekaligus dikontekstualisasikan dengan latar
sosial kemasyarakatan. Bagi NU, jihad bukanlah berperang mengangkat senjata
semata. Jihad kekinian adalah berperang melawan kebodohan dan kemiskinan.
Peran negara, dalam
hal ini pemerintah, dengan mengajak semua elemen masyarakat untuk melakukan
upaya-upaya deradikalisasi, baik melalui sarana pendidikan maupun pelbagai
kebijakan lain, juga penerapan penegakan hukum (law enforcement) terhadap gerakan-gerakan teroris, radikal, dan
separatis, adalah keniscayaan. Ala
kulli hal, yang kita butuhkan hari ini adalah edukasi soal bagaimana
berfikih yang inklusif dan toleran sebagai kerangka dan acuan dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari yang kian kemari kian kompleks dan
pluralistik. Wallahu a’lam bisshowab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar