Agama dan Aktivitas Ekonomi
Ali Rama ;
Dosen Fakultas Ekonomidan Bisnis UIN
Syarif Hidayatullah;
Pengurus Pusat Ikatan Ahli
Ekonomi Islam (IAEI)
|
KOMPAS,
05 Desember 2015
Studi tentang agama
dan aktivitas ekonomi, menurut Iannaccone (1998), setidaknya mencakup tiga
hal. Pertama, studi yang menafsirkan perilaku keberagamaan berdasarkan
perspektif ekonomi; menggunakan teori dan teknik ekonomi untuk menjelaskan
pola perilaku keberagamaan di antara individu, kelompok, dan budaya. Kedua, studi
dampak agama terhadap ekonomi. Ketiga, penggunaan perspektif teologi untuk
mendorong atau mengkritisi kebijakan ekonomi.
Di dunia Barat, kajian
hubungan antara agama dengan ekonomi dikaji dalam ”economic of religion”.
Kajian ini memandang agama sebagai sebuah ”variabel” yang memiliki hubungan
kausalitas dengan berbagai variabel, di antaranya variabel ekonomi. Agama
dapat diteliti dan diukur melalui ”perilaku keberagamaan”. Pola penelitian
pun, menurut Rehman dan Askari (2010), memiliki dua pola, yaitu agama
ditempatkan sebagai variabel dependen (yang dipengaruhi) dan sebagai variabel
independen (yang memengaruhi).
Indeks keislaman ekonomi
Sebagai sebuah faktor
yang memengaruhi dalam konteks ekonomi syariah, misalnya, Beik (2009)
menemukan bahwa zakat secara empiris dapat mengurangi kemiskinan. Begitu pula
dengan Rama (2013), yang menemukan bahwa institusi ekonomi Islam, seperti
perbankan syariah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks
paradigma ini, Rehman dan Askari (2010) mengembangkan sebuah model economic Islamic index yang berusaha
mengukur bagaimana pencapaian tujuan-tujuan Islam dalam bidang ekonomi pada
negara-negara Muslim dan non-Muslim di dunia. Penelitian ini merupakan bagian
dari penelitian sebelumnya dengan judul ”How
Islamic are Islamic Countries”?
Hasil penelitian
tersebut yang dianggap kontroversi adalah ditemukan bahwa negara Selandia
Baru menempati peringkat pertama sebagai negara yang paling ”Islami”.
Sementara pada bidang ekonomi, Irlandia memiliki peringkat indeks tertinggi
dalam pencapaian tujuan dari sistem ekonomi Islam. Hanya Malaysia sebagai
negara penduduk Muslim mayoritas yang berada pada posisi ke-33, sementara
lainnya lebih rendah lagi. Indonesia berada pada urutan ke-104 dari 208
negara di dunia yang diteliti.
Model indeks keislaman
ekonomi sebenarnya merupakan model indeks yang diturunkan dari tiga tujuan
utama yang ingin dicapai oleh sistem ekonomi Islam. Pertama, tercapainya
keadilan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Kedua,
kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja. Ketiga, implementasi sistem
keuangan syariah. Ketiga tujuan utama ini selanjutnya diturunkan menjadi
beberapa prinsip ekonomi Islam. Beberapa indikator ekonomi yang terukur dan
relevan selanjutnya dijadikan representasi dari prinisip-prinsip tersebut.
Dengan mengadaptasi
model indeks tersebut, penulis melakukan pengukuran kinerja indeks keislaman
provinsi-provinsi di Indonesia dengan menggunakan basis data tahun 2014 untuk
semua indikator-indikator ekonomi yang digunakan sebagai proksi dari
prinsip-prinsip ekonomi Islam. Penelitian menemukan bahwa Provinsi Kalimantan
Selatan (58 poin) menempati posisi teratas pada indeks keislaman ekonomi.
Urutan selanjutnya Kalimantan Tengah (54 poin), Kalimantan Timur (53 poin),
dan Jambi (53 poin). Sebaliknya, Provinsi Papua (32 poin) dan Maluku (35
poin) memiliki kinerja indeks yang paling rendah. DKI Jakarta sendiri sebagai
ibu kota negara dan pusat perekonomian Indonesia hanya memiliki skor indeks
51 poin.
Kalimantan Selatan
memiliki kinerja yang baik pada aspek stabilitas ekonomi (inflasi,
pengangguran, dan tingkat kriminalitas) serta distribusi pendapatan dan
kekayaan (rasio gini). Kinerja yang baik juga terlihat pada aspek
pengembangan pendidikan dan pengurangan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan
dasar. Rasio aset bank syariah juga relatif tinggi di provinsi ini. Namun,
sebaliknya, kinerja indeks yang rendah terlihat pada aspek tabungan dan
investasi, serta infrastruktur dan layanan sosial.
Provinsi Papua yang
menempati peringkat terendah memiliki kinerja ekonomi yang buruk pada aspek
pendidikan, infrastruktur, dan pelayanan sosial, serta kesejahteraan ekonomi.
Persoalan serius yang juga dihadapi oleh Papua adalah pada dimensi keadilan
ekonomi dan distribusi pendapatan, terutama pada aspek distribusi kekayaan
dan pendapatan yang ditunjukkan dengan nilai gini rasio yang sangat tinggi.
Sementara Maluku memiliki persoalan pada tingkat tabungan dan investasi dan
tingkat perdagangan. Namun, bedanya, Maluku relatif lebih baik pada aspek
pendidikan, kemiskinan, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan
ekonomi dibandingkan Papua.
Berkinerja rendah
Secara umum penelitian
ini menemukan bahwa dari 33 provinsi yang diteliti dalam penelitian ini hanya
terdapat 11 provinsi yang memiliki kinerja indeks di atas 50 poin. Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata wilayah/provinsi di Indonesia memiliki kinerja
indeks pada pencapaian tujuan sistem ekonomi Islam yang relatif rendah. Ini
menunjukkan bahwa faktor jumlah mayoritas populasi Muslim di hampir seluruh
provinsi di Indonesia tidak menjadi faktor penting dalam mendorong pencapaian
tujuan ekonomi.
Kinerja berdasarkan
wilayah, Kepulauan Sumatera dan Kalimantan secara rata-rata memiliki kinerja
indeks keislaman ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah
lainnya. Hal tersebut berbeda dengan wilayah Jawa, Sulawesi serta Maluku, dan
Papua yang justru indeks kinerja ekonominya (indeks keislaman ekonomi)
relatif rendah, yaitu rata-rata nilai komposit indeksnya di bawah 50 poin.
Wilayah Papua dan Maluku, misalnya, memiliki kinerja ekonomi yang buruk
hampir di semua aspek (elemen) indeks, yang selanjutnya menjadi faktor
penyebab rendahnya komposit indeks.
Selanjutnya, dari tiga
dimensi yang dikembangkan, rata-rata wilayah di Indonesia memiliki kinerja
yang rendah pada dimensi kesejahteraan ekonomi dan penciptaan lapangan
pekerjaan (hanya empat provinsi yang memiliki skor indeks di atas 50 poin).
Kinerja rendah lainnya terlihat pada implementasi sistem keuangan syariah
yang diindikasikan oleh jumlah aset bank syariah di masing-masing provinsi
yang relatif rendah. Hal ini tecermin secara nasional yang jumlah pangsa
pasar bank syariah tidak lebih dari 5 persen dari total aset perbankan
nasional.
Di atas dari semua
temuan tersebut, penelitian ini menyadari bahwa indikator-indikator yang
dijadikan proksi dalam penelitian ini belum sepenuhnya merepresentasikan dari
”keislaman” yang dimaksud, tetapi setidaknya ini langkah awal untuk mengukur
kinerja ekonomi berdasarkan pendekatan keagamaan. Sebagaimana dikatakan
Rehman dan Askari (2010), mengukur keislaman atau tingkat keislaman bukanlah
sesuatu yang mudah, mengingat tingkat keislaman tak selalu berhubungan dengan
sesuatu yang tampak (tangible) dan
dapat ukur (measurable). Kalaupun
tampak dan terukur, belum tentu data yang tersedia dapat merepresentasikan
”keislaman” yang dimaksud, sehingga perlu membuat pengukuran dan metode
tersendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar