Refleksi Keindonesiaan pada Keseharian
Generasi Zaman Now Daria Rani Gumulya : Kontributor
Tirto.id |
TIRTO.ID, 28 Oktober 2022
Gaya hidup
modern yang dipengaruhi budaya barat - kini merambah ke Korea; gemar
menyantap roti lapis atau pasta, rutin menonton serial Korea sebagai
penghilang stres karena beban pekerjaan, mengenakan cropped top terkini,
sampai menggunakan bahasa Indonesia “gado-gado” yang bercampur bahasa
Inggris, menjadi profil generasi zaman now. Menemukan keindonesiaan dalam
profil keseharian mereka menjadi cukup sulit. Namun,
fenomena ini tidak bisa menjadi rumusan bahwa akhirnya generasi zaman now
tidak peduli akan keindonesian mereka. Generasi Y dan juga generasi Z, memiliki
cara sendiri dalam merefleksikan keindonesiaannya dalam kesehariannya. “Kata tidak
peduli bisa menyesatkan. Kepedulian mereka memang bukan yang nasionalistik,
yang harus dihadirkan dengan kehadiran upacara bendera atau mengenal nama
pahlawan. Tapi bahwa mereka itu adalah Indonesia, mereka sangat peduli.
Namun, pada saat yang sama, generasi sekarang juga nyaman untuk tidak hanya
menjadi Indonesia,” ungkap Guru Besar Ilmu Susastra dan Kajian Budaya di
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Profesor Manneke
Budiman. Menurut
Manneke, generasi sekarang sebenarnya tidak "anti" menjadi seorang
Indonesia. Tapi generasi mereka juga tidak menutup kemungkinan untuk memiliki
paspor negara lain, berdomisili, bekerja, mencari nafkah di negara lain.
Tidak harus di Indonesia. Karena
menurutnya, yang global bukan berarti menggantikan. Hanya secara bersamaan,
generasi zaman now bisa menjadi Indonesia dan juga masyarakat global.
Indonesia pada akhirnya tidak selalu seperti yang kita pelajari dari buku
sejarah atau kebiasaan generasi nasionalis sebelumnya. “Bila generasi
tua mengukur keindonesiaan anak muda sekarang dengan standar generasi
sebelumnya, hasilnya adalah ketidakpedulian. Tetapi, kalau kita betul-betul
mengamati, mereka sangat peduli. Walau bentuk kepeduliannya tidak dengan
ekspresi-ekpresi nasionalisme. Kepeduliannya itu, saya Indonesia, tidak harus
selalu mereka pamer-pamerkan di manapun mereka pergi,” lanjut Manneke. Menurut
Manneke, Indonesia di masa depan adalah Indonesia yang melebur, yang
identitasnya tidak selalu dibawa. Namun ketika diperlukan, generasi mendatang
akan dengan tegas, pede, happy menyatakan ya, saya Indonesia. Generasi
sekarang bisa juga bisa sangat kritis dengan Indonesia. Tapi kekritisan itu
bukan kebencian. Manneke menyebutkan, ada generasi eksil yang sangat kritis,
tapi kekritisannya dimotivasi oleh kebencian dan sakit hati masa lampau. Tapi
itu tidak terjadi pada anak muda sekarang yang kritis. Dan bagi Manneke
kekritisan itu adalah bentuk kepedulian mereka. Kalaupun pada
akhirnya ada generasi sekarang yang hanya menganggap negara hanya berfungsi
sebagai tenpat pemenuhan administrasi seperti KTP, pelaporan pajak dan
sebagainya, semua itu disebabkan karena pendidikan tentang negara yang salah.
Karena selama ini tidak mengajarkan negara dan bangsa itu sebagai diri mereka
sendiri. “Seharusnya
sejak kecil diajarkan bahwa negara dan bangsa itu saya. Sehingga mereka dapat
mengeksplorasi nation state dengan pengalaman subyektif mereka, bukan dari
normatif yang diajarkan di sekolah. Misalnya, betapa susahnya mencari uang,
betapa macetnya dari kantor ke rumah, betapa senangnya momen mudik dan
bertemu keluarga, makan dengan teman-teman - itu Indonesia.” Kesalahan
terbesarnya menurut Manneke dalam mengajarkan negara bangsa adalah bahwa
negara menjadi entitas yang sangat powerful - kepada siapa kita bergantung.
“Sehingga saat ada pengalaman buruk, generasi sekarang menjadi tidak punya
imaji akan negara yang positif." "Tapi di
sisi lain, mereka juga bisa melihat Indonesia di kakek, di asisten rumah
tangga, di tetangga, bukan Indonesia dari sisi kantor kelurahan atau polisi
korup.” Generasi
sekarang yang tinggal di luar negeri lama, mungkin malas berbahasa Indonesia,
tapi menurut Manneke, ada yang mengikat mereka tentang Indonesia seperti
teman kecil atau keluarga. Hal inilah yang membuat mereka tidak bisa
melepaskan diri dari Indonesia. Tidak seperti KTP atau paspor yang bisa
mereka ganti kapan pun mereka mau. Cerita Generasi Zaman Now Jonathan Noga
Soeitoe (26) adalah seorang anak muda Indonesia yang bekerja sebagai
Assistant Research Analyst di London Stock Exchange Group (LSEG) di Malaysia.
Jonathan bercerita, setelah lulus kuliah S1, ia pernah 6 bulan bekerja di
Jakarta dan naik bus tiap hari dari rumahnya di Bekasi. “Di bis saya bertemu
orang yang sama setiap hari, lama-lama kami bisa ngobrol dan menjadi teman.” Menurutnya,
hal itu sangat berbeda dengan karakter orang Malaysia yang sibuk dengan
kegiatan masing-masing saat berada di trasportasi umum. “Ya, kehidupan seperti
inilah Indonesia. Meski stres akan pekerjaan, namun sapaan dari orang-orang
ini yang memberikan semangat.” Pengalaman
tinggal jauh dari Indonesia sejak tahun 2013 saat kuliah dan kemudian bekerja
di Malaysia membuat ia rindu suasana khas Indonesia. “Makanan Indonesia
memang beberapa ada di sini. Namun suasana street food dan kebiasaan orang
bisa nongkrong berjam-jam dengan nyaman itu yang tidak ada di sini,” ungkap
pria lulusan S2 Communication & Media Studies ini. Pengalaman
yang hampir sama tentang keindonesiaan dirasakan oleh Julian Kandi (28). Pria
yang berprofesi sebagai Tim Kreator Manajemen Tiktok ini, lahir di Tangerang,
ibunya berasal dari Banjarmasin, dan ayahnya dari Betawi. “Dari kecil saya
sudah terbiasa dengan adat dan kebiasaan yang berbeda, kemudian saya kuliah
di Malang, Jawa Timur.” Setahun
pertama, ia masih belum bisa berbahasa Jawa, dan teman-temannya di Malang
saat itu mau mengalihbahasakan obrolan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Awalnya, ia cukup senang dengan itu. Namun dii tahun kedua, ia kemudian
merasa perlu belajar bahasa Jawa karena ia tinggal di sana dan perlu berbaur
dengan masyarakat sekitar. Selama 4 tahun
kuliah di Malang, hal yang membuatnya cukup kagum adalah budaya menghormati
orang yang lebih tua. Ia bercerita pernah menanyakan alamat pada seorang
satpam dengan posisi masih di atas motor dan motor belum dimatikan. “Ternyata
menurut orang Jawa hal itu tidak sopan dan tidak menghormati orang lain.
Seharusnya, kita perlu mematikan motor, turun dan baru bertanya. Menurut
saya, budaya seperti ini patut dilestarikan, tidak hanya di Jawa saja, tapi
di semua tempat saya rasa,” ungkap pria penggemar sushi ini. Pengalaman
terhubung dengan Indonesia juga dirasakan Agnes Gracia Quita (28). Perempuan
yang berprofesi sebegai dosen dan peneliti Universitas Atmajaya Yogyakarta
ini kini tengah melanjutkan pendidikan di Taiwan. Menurutnya, ia merasa
terhubung dengan Indonesia justru dari hal-hal sederhana ketika mencari
kuliner di sana dan merindukan bumbu masakan Indonesia yang kaya rempah.
Begitu pula ketika ia merasa nyaman dengan toilet Indonesia yang menyediakan
air pembasuh, sementara di Taiwan, ia jarang menemukan toilet seperti di
Indonesia. “Saat
berbicara mengenai standar norma sosial, bangsa Indonesia lebih adaptif, bisa
menerima dan menghormati kultur lain, sekaligus secara bersamaan konservatif
terhadap diri sendiri, ini sungguh unik. Nilai kekeluargaan juga tidak lepas
dari budaya Indonesia, sehingga orang asing memberi label kita bangsa yang
ramah dan ceriwis ini cukup bagus. Nilai ini patut dilekatkan di tiap
generasi,” ungkapnya. Sisca Andiny
(26), seorang desainer grafis di Jakarta, punya cerita lain. Ia merasa
terhubung dengan Indonesia justru saat ia menonton konser musik dan fashion
show. “Saat mendengarkan lagu Indonesia Raya di pembukaaan konser musik atau
fashion show, saya merasakan tubuh saya merinding mendengar ketika semua
penonton berdiri bersama-sama menyanyikan lagu tersebut,” jelas perempuan
penyuka film Korea dan Thailand ini. Saat akhirnya
ada pengulangan hari besar nasional tiap tahunnya, tidak salah bila kemudian
ada wacana perayaan. Namun sulit untuk mengharapkan dampak nasionalisme
seperti zaman revolusi dulu pada generasi zaman now. “Karena ke
depannya, yang penting adalah menciptakan peluang dan sarana seluas mungkin
sehingga setiap individu bisa mengalami keindonesianya sendiri tanpa
didikte,” tutup Manneke. ● |
Sumber : https://tirto.id/refleksi-keindonesiaan-pada-keseharian-generasi-zaman-now-gxN7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar