Bahaya Monopoli
Swasembada Gula Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
RENCANA pemerintah
mengejar swasembada gula bagai memutar lagu lama yang tak pernah ada
habisnya. Setiap kali pemerintah Joko Widodo gagal mewujudkan ambisi
tersebut, para menteri di kabinet mematok target baru untuk mencapai
swasembada di tahun yang berbeda. Target yang bolak-balik berubah itu
menunjukkan tak mangkusnya berbagai strategi pemerintah mengurus komoditas
gula. Ambisi mengejar
kemandirian pasokan bahan pangan strategis tersebut kini bergulir lewat
rancangan peraturan presiden tentang percepatan swasembada gula. Melalui
ketentuan ini, pemerintah mematok target swasembada gula konsumsi pada 2025
dan gula rafinasi pada 2030. Sepintas tak ada yang keliru dengan tujuan mulia
ini. Namun salah satu pasal dalam rancangan peraturan tersebut justru
memberikan kuota impor kepada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Alih-alih memberantas
mafia gula dan melindungi petani, pemberian monopoli impor ini membuka
peluang bagi segelintir orang mengeruk keuntungan. Pembatasan impor melalui
sistem kuota akan makin menyuburkan praktik oligopoli dan menjadi ladang
korupsi. Skema ini jelas makin menjauhkan cita-cita kita memperbaiki tata
niaga gula. Wajar bila muncul syak
wasangka: fasilitas ini diberikan kepada PTPN III karena perusahaan negara
sulit bersaing dengan perusahaan swasta. Terbatasnya pasokan bahan baku dari
perkebunan tebu membuat pabrik-pabrik gula badan usaha milik negara tidak
bisa beroperasi optimal. Pemberian kuota impor gula kristal putih dan gula
kristal mentah ditengarai sebagai jalan agar pabrik gula di bawah PTPN bisa
beroperasi sesuai dengan kapasitas terpasang. Apalagi Kementerian BUMN
baru saja membentuk Sugar Co, holding pabrik gula perusahaan negara. Setelah
konsolidasi selesai, Sugar Co akan melepas 35 pabrik kepada investor.
Perbaikan kinerja menjadi syarat agar pabrik-pabrik pelat merah ini dilirik
pemodal asing ataupun lokal. Pembentukan holding BUMN
gula ini sebenarnya pertanda bahwa pemerintah kehabisan cara untuk mewujudkan
ambisi swasembada. Revitalisasi mesin dan pabrik gula selalu menemui jalan
buntu. Padahal revitalisasi menjadi dalih pemerintah untuk mengucurkan
penyertaan modal negara. Program revitalisasi ini
sudah menghabiskan triliunan rupiah sejak pemerintahan Jokowi periode
pertama. Hasilnya, pabrik gula milik negara tak kunjung sehat dan gagal
menjalankan misi pemerintah mencapai swasembada gula. Bukan hanya mesin
pabrik yang uzur, model bisnis yang tidak transparan dan cenderung melayani
kroni membuat kinerja pabrik gula milik negara jalan di tempat. Persoalan di hulu tak
kalah ruwet. Produktivitas lahan tebu rakyat ataupun PTPN kian merosot. Seretnya
pasokan tebu membuat produksi dalam negeri tak pernah mampu memenuhi
kebutuhan gula nasional, baik untuk konsumsi maupun industri, yang tahun ini
diperkirakan mencapai 6,48 juta ton. Dengan kondisi ini,
Indonesia tidak mungkin menghindar dari impor gula. Tapi keran impor mesti
dibuka seluas-luasnya bagi semua pelaku usaha melalui mekanisme pasar. Hanya
dengan kompetisi terbuka kita bisa menciptakan swasembada gula yang efisien
dan berkelanjutan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167237/bahaya-monopoli-swasembada-gula |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar