Gagal Ginjal Gagal
Negara Melindungi Anak Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
KASUS gagal ginjal akut
yang menimpa lebih dari 200 anak di 22 provinsi menunjukkan kegagalan negara
dalam melindungi keselamatan warganya. Peristiwa pahit itu seharusnya bisa
diantisipasi lebih cepat jika Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) tak lalai menjalankan tugasnya. Pemerintah harus memastikan
korban tak berjatuhan lagi. Salah satunya dengan menghukum perusahaan farmasi
yang gagal memastikan keamanan produknya. Hingga Jumat sore, 21
Oktober lalu, setidaknya 241 anak dilaporkan mengalami gagal ginjal akut.
Sebanyak 133 orang di antaranya meninggal. Mereka diduga mengkonsumsi obat
sirop yang tercemar etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena glikol
butil eter. Peristiwa serupa terjadi pada awal September lalu di Gambia,
Afrika, yang menewaskan setidaknya 70 anak. Jumlah korban sangat mungkin
bisa ditekan seandainya Kementerian Kesehatan lebih sigap bergerak. Sejak
Agustus lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menemukan tren kenaikan
angka kasus gagal ginjal pada anak. Total 36 anak mengalami gagal ginjal akut
pada Agustus lalu, meroket dibanding pada Juli yang hanya 5 kasus. Sebulan
kemudian, sepanjang September, jumlahnya melambung jadi 78 kasus. Anomali ini seharusnya
memicu alarm di jajaran pengambil kebijakan. Laporan IDAI bisa jadi bahan
awal untuk Kementerian Kesehatan turun ke lapangan dan menelusuri sebaran
serta penyebab lonjakan jumlah kasus. Keterlambatan sehari saja bisa
berakibat fatal. Banyak nyawa bisa diselamatkan jika pemerintah segera
mengingatkan khalayak ramai akan potensi bahaya dalam obat sirop yang
dikonsumsi anak. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin harus mengaudit sistem
deteksi dini di lembaganya dan tanpa ampun mencopot anggota timnya yang
terbukti lamban menindaklanjuti laporan awal. BPOM pun gagal mengawasi
keamanan obat yang beredar bebas dan berharga murah itu. Baru pada Kamis, 20
Oktober lalu, BPOM melarang peredaran lima obat sirop produksi tiga
perusahaan farmasi, yaitu PT Konimex, PT Yarindo Farmatama, dan PT Universal
Pharmaceutical Industries. Itu pun setelah publik mendesak pemerintah
mengambil tindakan nyata. Seharusnya, begitu
terdengar kasus gagal ginjal akut pada anak di Gambia, BPOM sigap bertindak
proaktif dengan memeriksa langsung semua obat dengan kandungan serupa di
Indonesia. Hanya memastikan obat sirop asal India tak beredar di Indonesia
jelas tak cukup. Apalagi sekadar meminta perusahaan farmasi melaporkan hasil
pengujian mandiri atas kandungan etilena dan dietilena glikol pada produk
mereka sendiri. Dalam kondisi gawat darurat, keterlambatan antisipasi BPOM
patut dipertanyakan. Kasus kematian ratusan
anak akibat produk obat yang tidak aman ini jelas merupakan skandal besar
yang menuntut keseriusan semua pihak. Penegak hukum harus mulai menelusuri
motif perusahaan farmasi menggunakan etilena glikol, dietilena glikol, dan
etilena glikol butil eter dalam obat sirop melebihi ambang batas yang
diperbolehkan. Asal-muasal zat berbahaya itu juga perlu ditelusuri sampai ke
hulu. Untuk memperoleh keadilan,
keluarga para korban gagal ginjal akut berhak mengajukan gugatan kelompok
atau class action terhadap pemerintah dan perusahaan farmasi yang bertanggung
jawab. Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuka jalan bagi korban untuk
menuntut ganti rugi dari mereka yang terbukti lalai apalagi sengaja
mengabaikan keselamatan umum. Hukuman setimpal untuk semua pihak yang
menimbulkan kerugian publik dibutuhkan agar peristiwa mengenaskan seperti ini
tak pernah terjadi lagi. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167249/gagal-ginjal-gagal-negara-melindungi-anak |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar