Menjunjung
Bahasa Kesetaraan Saifur Rohman : Pengajar Filsafat di Universitas Negeri
Jakarta |
KOMPAS, 27 Oktober 2022
Hingga menjelang akhir bulan Oktober 2022, lagu ”Ojo
Dibandingke” masih dinyanyikan di sekolah-sekolah di daerah. Sebelumnya, lagu ini dipopulerkan oleh Farel Prayogo
dalam peringatan HUT Ke-77 Indonesia di Istana Merdeka, 17 Agustus 2022.
Puncak perayaan kebangsaan Indonesia itu diisi dengan lagu berbahasa lokal
dengan tema cinta yang bertepuk sebelah tangan. Beberapa bulan sebelumnya seorang anggota Dewan
pernah mengusulkan pemecatan kepala Kejaksaan Tinggi karena berbicara dalam
bahasa lokal dalam rapat. Alasannya, rapat merupakan forum resmi sehingga
perlu menggunakan bahasa Indonesia. Kasus pertama mencerminkan adanya harmoni antara
keindonesiaan dan kedaerahan. Kasus kedua mencerminkan disharmoni. Ketika di
Indonesia terdapat 652 bahasa daerah dan 11 di antaranya terancam punah,
bagaimana praktik menjunjung tinggi bahasa persatuan? Kenapa politik kebahasaan yang diterapkan pemerintah
justru mematikan bahasa daerah? Apa solusi untuk tarik-menarik bahasa
Indonesia dan bahasa daerah? Harmoni dan disharmoni Penutur bahasa Indonesia 199 juta orang di antara
jumlah penduduk Indonesia yang 273,5 juta jiwa. Biasanya penutur bahasa daerah
juga penutur bahasa Indonesia, tetapi pada masa kini penuturan bahasa
Indonesia tak memiliki kefasihan yang sama dengan penuturan bahasa ibunya. Pendeknya, lebih mudah berbicara dalam bahasa
Indonesia daripada bahasa daerah. Problem harmoni dan disharmoni antara
lokalitas dan keindonesiaan ini perlu diidentifikasi sebab musababnya. Harmoni kedaerahan dan keindonesiaan dapat terjadi
melalui dua cara, yakni komunikasi estetis dan komunikasi massa. Pertama,
perihal komunikasi estetis, ketika Farel yang menyanyikan bahasa daerah,
pengguna bahasa Jawa saat ini 84,3 juta. Demikian pula Farel Prayogo bukanlah penyanyi
terkenal. Dia hanyalah penyanyi cilik dari Banyuwangi, Jawa Timur. Pencipta lagu Agus Purwanto mengaku menulis lagu itu
sebagai hiburan lokal yang disebut dengan genre koplo di Boyolali, Jawa
Tengah. Purwanto sendiri tak menyangka lagu koplo itu akan
jadi materi hiburan di Istana Merdeka, Jakarta. Biasanya lagu ini dinyanyikan
di lingkaran pergelaran dangdut pantai utara (pantura) atau disetel di bus
antarkota-antarprovinsi. Kosakata kedaerahan pun bermunculan dalam
keindonesiaan. Media estetis ini juga terjadi ketika Didi Kempot
memperkenalkan kata ambyar dalam lagunya. Sejak itu, kata ini mulai populer digunakan untuk
menyebut kumpulan fans dengan ”sobat ambyar”. Dalam iklan juga menggunakan
”ambyar angine” Tayangan acara televisi baru-baru ini juga
menggunakan istilah lokal untuk ”Pagi-pagi Ambyar”. Empat tahun lalu, kata
itu belum masuk lema bahasa Indonesia pada Kamus Besar yang ditulis oleh
Ahmad A Karimuda tahun 2008 (terbitan Gitamedia Press). Pada masa kini, kata ambyar telah dimasukkan ke
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan ditulis sebagai bahasa percakapan
sehari-hari, tetapi belum dianggap sebagai bahasa baku. Kedua, dalam praktik komunikasi massa, penyerapan
bahasa daerah menjadi bahasa Indonesia dimulai dari komunikasi publik. Ambil
contoh kata sangar. Pada awalnya adalah kosakata lokal. Buktinya dalam kamus
Purwadarminta (1986: 866), kata itu masih dicatat sebagai kata lokal. Dalam pergelaran sabung manusia di Abu Dhabi, Uni
Emirat Arab, 22 Oktober 2022 lalu, misalnya, para petarung disebut dengan
kata sangar untuk menyebut berbahaya. Kata sangar sekarang ini sudah masuk ke
dalam bahasa Indonesia. Orientasi yang tak pasti Harmonisasi kedaerahan dan keindonesiaan merupakan
kondisi ideal yang selaras dengan cita-cita kebangsaan. Dalam bahasa Hussein
Jayadiningrat, inlander yang menjadi doktor pertama pada masa kolonial,
pernah menulis dalam De Voertalkwestie. Katanya, ”Een der hoofdstrevingen van ons, bewust of
onbewust, is sinds jaar en dag gericht op verwerving van gelijkwaardigheid”. Artinya, salah satu cita-cita kami yang utama adalah
mencapai kesetaraan. Apabila direfleksikan pada masa kini, kondisi tak setara
atau disharmoni itu berasal dari tiga penyebab. Pertama, bahasa Indonesia jadi satu penyebab
kepunahan bahasa daerah. Penggunaan bahasa Indonesia mengakibatkan penggunaan
bahasa daerah berkurang. Data Kemendikbudristek 2022 menunjukkan, sebelas
bahasa daerah terancam punah. Bahasa itu hidup di Indonesia bagian timur,
seperti bahasa Tandia dan Mawes di Papua; Kaiely, Piru, Moksela, Palumata,
Hukumina, dan Hoti di Maluku. Kedua, terjadinya konflik identitas dalam
kelas-kelas sosial bahasa Indonesia semu. Dalam komunikasi antaranggota kelompok sosial sering
kali terjadi peralihan ke bahasa Indonesia gado-gado. Latar belakangnya perubahan kultural, urbanisasi,
asimilasi, serta kontak kultural lain di seluruh Indonesia. Contohnya, bahasa
Jaksel yang keinggris-inggrisan memberikan ruang baru dalam berkomunikasi
sebagai eksistensi identitas kelompok. Ketiga, sistem patron-klien dalam berbahasa. Para
tokoh publik menggunakan bahasa yang kurang tepat untuk menjaga kelas sosial
mereka. Pada saat yang sama, para tokoh adalah model yang ditiru dalam
praktik komunikasi sehari-hari di masyarakat. Fakta-fakta ini membawa pada kenyataan bahwa politik
bahasa Indonesia tak memiliki orientasi yang pasti dan terarah. Selama ini,
pemerintah melalui Badan Bahasa memberikan apresiasi terhadap para pengguna
bahasa Indonesia di media massa setiap tahun. Penghargaan ini tak membawa manfaat terhadap
cita-cita untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan. Hal tersebut karena tidak diimbangi dengan
penghargaan terhadap penggunaan bahasa daerah di tingkat nasional. Suka atau
tidak, program itu tidak mendukung kelestarian bahasa daerah yang makin
langka. Frasa ”Menjunjung tinggi bahasa persatuan” bukanlah
menjadikan bahasa Indonesia sebagai penjajah bagi penutur bahasa daerah. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/25/menjunjung-bahasa-kesetaraan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar