Menjaga
Bahasa Indonesia Manneke Budiman : Dosen
Universitas Indonesia |
KOMPAS, 28 Oktober 2022
Ketika Bahasa Indonesia dideklarasikan sebagai
‘bahasa nasional’ pada 28 Oktober 1928, motif utama- nya bukan kultural,
yakni untuk mempromosikan atau meresmikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
bersama kelompok -kelompok bangsa yang mendiami Hindia Belanda. Motifnya
sangat politis, yaitu untuk menampar penguasa kolonial yang tidak menghendaki
apapun yang berbau nasional dan berpotensi menjadi ancaman bagi mereka. Tidak terlalu penting bagi para deklarator bahwa
bahasa ‘baru’ itu belum punya sistem gramatika baku atau bahwa kosakatanya
merupakan gado-gado berbagai bahasa kepulauan serta dunia. Cukuplah bahwa aksi tersebut sudah mampu membuat
Belanda berang sebab memang niatnya adalah subversif, yakni untuk mengusik
rust en orde kolonial kala itu. Perlu diingat bahwa hanya dua tahun sebelumnya, pada
1926, penguasa kolonial dihadapkan pada pemberontakan komunis yang tak lagi
mengakui keabsahan kekuasaannya di Hindia. Meskipun pemberontakan itu
berhasil ditumpas, Belanda menjadi lebih sensitif terhadap gerakan-gerakan
perlawanan, baik yang sifatnya bersenjata maupun intelektual. Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu Akibat jangka panjang dari Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928 jauh lebih dirasakan oleh Indonesia pascakolonial daripada oleh penguasa
kolonial, yang riwayatnya berakhir secara de facto dengan kekalahannya atas
Jepang. Bahasa Indonesia, bagi banyak orang Indonesia, pada
dasarnya adalah merupakan bahasa kedua yang proses pembelajarannya secara
sistematik baru terjadi di sekolah, bukan di rumah yang pada umumnya masih
menggunakan bahasa ibu sebagai sarana komunikasi antaranggota keluarga. Gramatikanya yang tidak kunjung baku, kompleksitas
sistem afiksasinya, formasi peristilahannya yang tak kunjung selesai, antara
lain, menjadikan proses pemerolehan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua,
sangat menantang. Saya pribadi merasakan, sewaktu di sekolah dasar dan
menengah, sulitnya menguasai Bahasa Indonesia secara mantap, dan saya
berkesimpulan bahwa bahasa-bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, atau bahkan
Bahasa Jerman dan Jepang, masih lebih mudah dipelajari. Nilai-nilai yang saya peroleh untuk mata pelajaran
bahasa-bahasa tersebut rata-rata masih lebih baik daripada nilai Bahasa
Indonesia saya. Di rumah, orangtua saya berkomunikasi dalam Bahasa Belanda,
yang dicampur aduk dengan bahasa China-Peranakan khas Pantura saat berbicara
dengan anak-anak mereka. Ketika terjadi lebih banyak perkawinan lintas-suku,
dan di rumah sebagian keluarga tidak lagi berkomunikasi dengan bahasa ibu,
proses pemerolehan Bahasa Indonesia mulai lebih bergeser menjadi pemerolehan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, tetapi yang mungkin masih hadir secara
berbarengan dengan bahasa-bahasa daerah asal kedua orangtua. "Tsunami" kosakata asing Masalahnya, ketika situasinya sudah mulai mencair
seperti ini, dunia menjadi kian global, dan arus masuk berbagai bahasa asing
melalui media elektronik seperti radio dan televisi juga sulit dicegah. Jadi, sejak usia muda, anak-anak Indonesia telah
mengalami ekspose cukup intens pada multilingualitas, di mana Bahasa
Indonesia hanyalah salah satunya. Dengan asumsi bahwa, pada saat ini, sudah lebih
banyak orang menguasai Bahasa Indonesia, situasinya boleh jadi jauh lebih
kompleks daripada yang mungkin kita asumsikan. Variasi derajat penguasaan Bahasa Indonesia bisa
sangat beragam, dari yang sangat dominan kelisanannya sampai ke yang “baik
dan benar”. Demikian pula derajat konsistensi pemakaiannya dalam
komunikasi sehari-hari, dari yang sepenuhnya ‘Indonesia’ sampai ke yang
bercampur-baur dengan bahasa daerah dan bahasa asing dalam fenomena alih-kode
dan campur-kode. Kerja menanamkan penguasaan dan penggunaan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar pada tataran pendidikan dasar dan menengah
sampai pendidikan tinggi sungguh tidak mudah. Akan tetapi, jangan-jangan ini
bukan persoalan khas Bahasa Indonesia saja, melainkan juga dihadapi oleh
bahasa-bahasa dunia lain, termasuk Bahasa Inggris, yang telah menjadi bahasa
internasional. Para penjaga Bahasa Inggris yang militan merasa
cemas bercampur gusar melihat munculnya versi-versi lokal Bahasa Inggris,
khususnya di negara-negara Persemakmuran, yang mereka nilai sebagai ancaman
serius bagi keberlangsungan Bahasa Inggris versi resmi. Di mata mereka, persoalannya bukan hidup atau
matinya Bahasa Inggris melainkan mempertahankan kemurniannya yang, menurut
mereka, tengah terancam oleh keberagaman. Akan tetapi, nyatanya tidak ada
kekuasaan cukup besar dari pihak manapun yang sanggup menghentikan atau
menghalangi berlanjutnya proses ‘lokalisasi’ Bahasa Inggris itu. “Tsunami’ kosakata asing, serta praktik alih-kode
dan campur-kode dalam suatu bahasa ini, tidak heran bila mudah dipahami
sebagai semacam ‘pandemi’ yang, jika dibiarkan, akan bisa menyebabkan
kematian suatu bahasa. Namun, saya agak skeptis dengan kekhawatiran semacam
ini. Sebuah bahasa hanya mati ketika tidak lagi digunakan
di dalam situasi komunikasi lisan, seperti halnya yang terjadi pada Bahasa
Latin atau Bahasa Sanskrit, misalnya. Matinya bahasa-bahasa kuno itu juga
tidak disebabkan oleh banjir bandang pengaruh bahasa-bahasa lain yang
menginfeksinya, melainkan lebih karena faktor-faktor politis pada eranya. Bahasa Latin meredup bersamaan dengan jatuhnya kekuasaan
imperial Romawi, sementara Bahasa Sanskrit tersingkir dengan datangnya
kolonialisme Inggris di India. Bahasa Inggris menjadi lingua franca dunia memang
karena imperialisme, tetapi terus berkembang sebagai bahasa internasional
sesudah usainya dekolonisasi karena kemampuannya menyerap banyak unsur dari
berbagai bahasa. Bahasa Inggris yang ‘baik dan benar’ jangan-jangan kini
hanya dipakai oleh siaran berita BBC dan keluarga kerajaan saja. Dalam kenyataannya, Bahasa Inggris dituturkan dengan
aneka ragam logat dan juga dalam banyak ‘versi’, yang memperlihatkan telah
terjadinya perkawinan antara unsur-unsur global dan lokal. Pekerjaan rumah kita Untuk Bahasa Indonesia, situasinya di dunia pada
saat ini justru membesarkan hati. Bahasa Indonesia masuk dalam daftar sepuluh
besar bahasa dunia dengan jumlah penutur terbanyak, dan di Asia, Bahasa
Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Bahasa Mandarin dan Bahasa
Inggris. Selain itu, Indonesia berada pada peringkat kedua
negara dengan jumlah bahasa terbanyak di dunia sesudah Papua Niugini. Ke
depan, bahasa-bahasa lokal ini, serta berbagai bahasa asing, akan terus
memperkaya Bahasa Indonesia, dan hal ini tidak perlu disikapi sebagai
pencemaran ataupun perusakan Bahasa Indonesia. Berbagai serapan dan pinjaman, serta fenomena
alih-kode dan campur-kode, akan terus mewarnai Bahasa Indonesia, yang jumlah
penuturnya juga akan meningkat seiring bertambahnya populasi Indonesia.
Namun, jelas bahwa perkembangan ini tidak akan berujung pada kepunahan atau
kematian Bahasa Indonesia. Vicky Prasetyo, dalam wawancara dengan sebuah
stasiun televisi terkait kehebohan yang ia ciptakan karena caranya berbahasa
yang unik, dengan percaya diri menyatakan bahwa hal itu ia lakukan untuk
merayakan kemerdekaan, termasuk di dalamnya kemerdekaan berbahasa, yang
selama masa penjajahan sangat dikekang. Dalam hal ini, penjagaan berlebihan terhadap Bahasa
Indonesia bisa diibaratkan sebagai reproduksi praktik kolonial dalam
berbahasa. Maka, Bahasa Indonesia perlu dibiarkan merdeka
bertumbuh dari segi penuturnya dan berkembang dari segi kebahasaannya. Bahasa
bukan barang statik ataupun stagnan melainkan aspek integral kebudayaan yang
akan terus hidup selama komunitas yang menghidupinya tetap ada. Alih-alih memeras otak bagaimana menjaga Bahasa
Indonesia, lebih baik mencurahkan energi pada bagaimana cara mengajarkan
Bahasa Indonesia dengan tepat di sekolah-sekolah agar penuturnya mampu
menggunakannya dengan efektif di berbagai situasi. Ini pekerjaan rumah besar kita semua yang sampai
kini belum kunjung tuntas dan beres. Kapankah akan tuntas dan beres? Saat
nilai pelajaran Bahasa Indonesia anak-anak kita di sekolah tidak lebih rendah
daripada nilai pelajaran bahasa asing (atau bahasa daerah), walaupun mungkin
Bahasa Indonesia akan tetap menjadi bahasa kedua bagi sebagian orang
Indonesia. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/menjaga-bahasa-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar