Politik
Identitas Keindonesiaan Restu Gunawan : Direktur
Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek |
KOMPAS, 29 Oktober 2022
Pada batasan, Bukit Barisan Memandang ke pantai, teluk permai Tampaklah air, air segala Itulah laut, Samudera Hindia Tampaklah ombak, gelombang pelbagai Memecah ke pasir lalu berderai Ia memekik, berandai-andai Wahai Andalas, pulau Sumatera, Harumkan nama, selatan utara! Barisan kalimat di atas adalah potongan puisi
Muhammad Yamin berjudul ”Tanah Air” yang terbit 1920 ketika usianya masih 17
tahun. Puisi terdiri tiga bait itu dimuat di majalah Jong
Sumatera. Sajak itu kemudian dilengkapi menjadi kumpulan puisi dalam buku
kecil yang diberi judul Tanah Air, dipersembahkan untuk menyongsong
peringatan lima tahun Jong Sumatranen Bond. Puisi dibuat dalam upaya mencintai tanah
kelahirannya, yaitu Sumatera, ketika Yamin harus menunaikan tugasnya sebagai
anak rantau yang harus meninggalkan kampung halamannya untuk menimba ilmu di
tanah Jawa. ”Tanah air” sebagai frasa yang diperkenalkan oleh Muh Yamin
hanyalah sekadar puisi yang indah. Sebuah genre baru dalam penulisan puisi
pada masa itu. Sementara itu, di negeri seberang, RM Noto Soeroto
dan kawan-kawan mendirikan organisasi Indische Vereeniging (1908). Atas upaya
beberapa tokoh, antara lain Iwa Koesoemasoemantri, Moh Hatta, dan Nazir
Pamoentjak, kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (1925). Untuk menyampaikan pesan kemerdekaan, mereka
menerbitkan majalah Indonesia Merdeka, (1924) dengan slogan yang cukup berani
dan radikal ”Indonesia Merdeka Sekarang”. Sejak saat itu, ’Indonesia’ yang
pada awalnya adalah nama kawasan dan kumpulan etnis telah berubah menjadi
cita-cita politik dan kebudayaan yang harus diperjuangkan. Dalam suasana itu pula, di dalam negeri, kaum muda
terus bergeliat dalam upaya menyatukan energi yang terserak di berbagai
organisasi kepemudaan yang mengusung tema-tema ideologi, agama, dan suku
tertentu. Hasrat itu terus menyatu dan puncaknya adalah ikrar Sumpah Pemuda,
28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda yang dihadiri golongan pemuda dari
berbagai suku, daerah, dan organisasi keagamaan adalah satu model
inklusivitas yang menyatukan golongan beragama dan nasionalis. Mereka datang
dengan hasrat satu, menyatukan ide dan gagasan untuk: bertanah air,
berbangsa, dan berbahasa satu Indonesia. Jadi, tanah air Indonesia telah
menjelma menjadi kekuatan politik yang harus diperjuangkan dan diraih. Periode 1920-1930 merupakan perdebatan ideologis
akademis tentang sebuah bangsa. Para pemikir menuangkan gagasannya dalam
perdebatan yang cukup dinamis. Misalnya, Soekarno melalui koran Pemandangan,
Moh Hatta lewat koran Daulat Ra’jat, Abdul Rivai lewat Bintang Hindia, Marco
Kartodikromo dan kawan-kawan lewat Medan Prijaji dan sebagainya. Mereka
memperdebatkan apakah nasionalis kultural, kedaerahan, atau agama yang
diperjuangkan. Atau, apakah bersedia bekerja sama atau nonkooperasi dengan
Belanda. Semua cerdik pandai yang jumlahnya tentu masih
sedikit terus bergumul dengan pemikiran dan gagasannya untuk merancang Indonesia
ke depan. Ternyata para pemuda sadar bahwa antara nasionalis kultural dan
nasionalis agama harus bersatu dalam meraih kemerdekaan. Corak inklusivitas
yang melintasi batas-batas agama, budaya, dan daerah telah menjadi kesadaran
penting. Inklusivitas dalam pemikiran dan tindakan telah menjadi modal sosial
dalam menyatukan berbagai kekuatan yang ada di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Cita-cita bersama untuk tanah air Indonesia telah
pula dapat menerabas batas konektivitas antargolongan dan daerah. Jaringan
konektivitas yang sangat terbatas, baik jaringan darat, laut, maupun
komunikasi, ternyata mampu disatukan dalam derap langkah perjuangan. Sumpah
Pemuda menjadi tonggak penting dalam upaya menyatukan berbagai gagasan dan
ide-ide baru dalam perjuangan melalui intelektualitas dan pemikiran kritis
pada masa itu. Dalam suasana penuh harapan itulah WR Supratman
menutup sidang dengan melantunkan sebuah lagu yang digubahnya dengan judul
”Indonesia”. Dengan format keroncong dan iringan biola buatan Nicolo Amati,
lagu dilantunkan tanpa teks. Ikrar Sumpah Pemuda dan lagu ”Indonesia” (baca:
Indonesia Raya) telah menjadi mantra baru dalam menyatukan seluruh elemen
bangsa untuk melawan penjajahan secara lebih terstruktur dan terencana, tidak
lagi bersifat kedaerahan yang ternyata mengalami kegagalan terus-menerus. Indonesia sebagai komitmen kebudayaan Proses bertanah air dan berbangsa satu Indonesia
terus bergulir dan puncaknya adalah kemerdekaan Indonesia. Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan Indonesia,
maka Indonesia sebagai komitmen politik sudah selesai. Terbukti, dengan
berbagai rongrongan, baik dari dalam maupun luar negeri, Indonesia masih
mampu berdiri kokoh hingga kini. Namun, hari ini tantangannya justru jauh
lebih kompleks. Sudah menjadi takdir, karena letaknya yang menjadi
lintasan berbagai budaya, agama, dan perdagangan, Indonesia memiliki ratusan
pulau, bahasa, dan budaya. Itu adalah tantangan dan peluang. Maka, Indonesia,
selain sebagai komitmen politik, juga mengandung makna sebuah komitmen
kebudayaan. Masih sering kita dengar adanya pembatasan ekspresi dari kelompok
yang berbeda, dengan mengatasnamakan perbedaan agama, kepercayaan, suku,
ataupun kebudayaan. Upaya membangun Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan
perlu terus dibicarakan dan diwacanakan. Arnold Toynbee dalam bukunya A Study of History
(1947) menyatakan, ada empat lapisan dalam membangun peradaban. Yang paling
luar adalah pilar sains teknologi, pilar estetika, pilar moral etik, dan
pilar spiritualitas. Dalam analisisnya, Toynbee mengatakan bahwa tiga pilar
terluar, sekuat apa pun, tanpa dilandasi spiritualitas yang bagus, bangsa itu
akan ambruk. Dalam perkembangan zaman sekarang ini, keempat pilar itu harus
berjalan bersama dan tidak saling meninggalkan. Sebagai bangsa yang besar dengan kebudayaan yang
cukup tinggi, agar mampu memengaruhi peradaban global, Indonesia harus
mengembangkan teknologi, sains dan estetika; tetapi itu harus berlandaskan
pada nilai-nilai agama yang kuat dan etika yang moral tinggi. Pembangunan yang hanya mengejar capaian tinggi di
bidang sains dan teknologi, tetapi tidak memperhitungkan ekosistem alam,
kebudayaan, dan infrastruktur pendukung lainnya, hanya akan menghasilkan
konflik dan kemiskinan pada masa mendatang. Untuk itulah, pembangunan yang inklusif
dan berkelanjutan dengan memperhitungkan kebudayaan masyarakatnya akan lebih
menjamin masa depan lebih baik. Politik identitas dan kesadaran berbangsa Pesta demokrasi tahun 2024 sebentar lagi akan kita
rayakan. Berbagai persiapan untuk merayakan telah pula disiapkan. Dalam
kontestasi, tidak jarang, untuk memobilisasi perolehan suara, politik
identitas digunakan. Isu perbedaan ras, etnis, agama dan kepercayaan
lazim diangkat serta digunakan untuk menggalang kekuatan. Sebagian elite
politik memakai politik identitas untuk menjatuhkan lawan politik. Praktik
penggunaan politik identitas sudah lama dilakukan dalam setiap perhelatan
pemilihan umum. Pada Pemilu 1955, politik identitas juga digunakan
untuk melakukan mobilisasi massa. Politik identitas digunakan dalam
komunikasi politik elite hingga mencapai alam bawah sadar para pendukungnya.
Propaganda dalam komunikasi politik sering kali menimbulkan segregasi yang
semakin tajam di dalam kehidupan masyarakat, bahkan dapat menjurus kepada
konflik sosial. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memecah kesatuan dan
persatuan bangsa. Dalam perkembangan politik saat ini, sering kali
masyarakat lupa bahwa tanah air Indonesia lahir atas kontrak politik untuk
menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada ke dalam kerangka Tanah Air yang
satu, yaitu Indonesia. Seperti yang disampaikan Buya Syafii Maarif, politik
identitas tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara apabila kita
kembali ingat kepada tujuan masa depan kita, yakni menjadi cita-cita para
pendiri bangsa untuk menyatukan Tanah Air dan bangsa dalam integrasi
nasional. Cita-cita yang didasarkan pada semangat Sumpah
Pemuda yang telah melebur rasa sentimen kesukuan, agama, ras, dan menjadi
Pancasila sebagai dasar dari setiap langkah dalam berperilaku dan bersikap
dalam kehidupan sehari-hari, dengan rasa penuh tanggung jawab. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/28/politik-identitas-keindonesiaan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar