Membenahi
Kontrol Sosial Birokrasi William Chang : Guru
Besar Etika Sosial Universitas Widya Dharma, Pontianak |
KOMPAS, 27 Oktober 2022
Kala kembali
ke Belanda, seorang dosen senior yang pernah menakhodai Unika St Thomas,
Medan, didekati dan ditanyai oleh seorang polantas setempat tentang perbedaan
berlalu lintas di Indonesia dan di Belanda. Spontan dia bertutur, ”Kalau
seorang pengendara di Belanda tidak mematuhi peraturan lalu lintas, maka akan
terjadi banyak kecelakaan. Sedangkan di banyak kawasan di Indonesia, kalau
pengendara benar-benar mengikuti peraturan lalu lintas, maka biasanya banyak
korban berjatuhan.” Pembiaran sosial ”Nyatir” spontan iuris canonici itu sebenarnya
menyoroti adanya gejala pembiaran sosial terhadap pelanggaran norma lalu lintas
di Tanah Air. Sampai hari ini tetap berkeliaran pengendara mobil atau motor
tanpa SIM dan helm yang lengkap, dengan knalpot racing yang membisingkan
khalayak ramai. Sejak awal tahun hingga Agustus 2022 tercatat
sebanyak 452 korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Selain itu, 972
korban luka berat dan 6.704 luka ringan. Kerugian material lebih kurang Rp
13,4 miliar. Kecelakaan lalu lintas, kata Korlantas Polri Irjen
Firman Shantyabudi, masih menjadi masalah utama berlalu lintas. Kesadaran akan
keselamatan berlalu lintas masih rendah, padahal kesadaran ini mencerminkan
kemajuan suatu bangsa (Tribunnews.com, 3/10/2022). De facto, kekacauan dan pelanggaran lalu lintas
tidak hanya terjadi di jalan-jalan raya, tetapi sudah merambat ke dalam lalu
lintas birokrasi jaringan instansi pemerintah pada tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, kota, provinsi, hingga pusat. Tidak sedikit kepala departemen
pemerintah belum sadar (bdk Mead 1925) dan menutup mata terhadap kasus
penyimpangan regulasi dan hukum dalam zona pelayanannya. Modus operandi
seorang advokat untuk berbisnis ”vonis” dengan tiga hakim PTUN (April 2015),
misalnya, sudah ”diadopsi” oleh hakim yang dianggap ”agung”, Sudrajat Dimyati
(22/9/2022). Cepat atau lambat sikap ”kompromistik” dan ”tawar-menawar”
dalam penanganan kasus pelanggaran hukum akan membentuk watak dan budaya
banditisme yang merongrong supremasi hukum. Kultur kriminal bermasker
premanisme ini kian mengkristal. Pengabaian kontrol sosial menimbulkan tindak
kriminal dalam semua bidang pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan
masyarakat sipil, seperti misuse of power, birokrasi rumit, administrasi
berbelit-belit, harga tanda tangan yang sangat mahal. Bukankah keadaan lalu lintas di jalan raya
sebenarnya menjadi cermin otentik dari mindset, keseriusan penegakan
keadilan, hukum, keamanan masyarakat, suhu politik, ekonomi, sosial, dan
budaya sebuah bangsa? Proses pembenahan hukum yang sedang digalakkan Menko
Polhukam perlu memprioritaskan kontrol sosial karena penegakan hukum adalah
bagian integral kontrol sosial yang fundamental. Kontrol sosial menggembleng perilaku Tatanan sosial dalam negara menyatu dengan kontrol
sosial yang menjadi kunci penting pembersihan sebuah negara dari cengkeraman
banditisme dan anarkisme di luar tatanan normatif. Mengapa? Sebagai aspek
normatif, kontrol sosial menjadi reaksi terorganisasi dalam menyikapi
jaringan penyimpangan perilaku yang mengganggu, merusak, dan merugikan
kehidupan sosial. Selama ini kontrol sosial telah mengurai benang
kusut pelanggaran norma (aturan), termasuk norma-norma informal tentang
peraturan sosial dalam hal-hal kecil dan terlebih-lebih norma-norma formal
dalam masyarakat berwawasan luas (bdk Black, 1976; Cohen, 1985). Selain melandasi dan membenahi tatanan sosial dalam
masyarakat modern, seharusnya sistem kontrol sosial dirawat dan diterapkan
oleh institusi kenegaraan (Ross, 1926; Deflem, 2019). Kontrol sosial perlu
tertanam dalam instansi-instansi utama negara sehingga manusia semakin sadar
untuk mematuhi sistem kontrol ketika menunaikan tugas-tugasnya (Innez, 2003). Sekalipun CCTV ikut menjaga ketertiban dalam sebuah
negara, tugas utama kontrol sosial instansi pemerintah sama sekali tidak
tergantikan oleh sarana digital yang setiap saat dapat dirusak atau dicopot
oleh mereka yang berniat jahat. Budaya baru kontrol sosial sangat
mengandalkan kemajuan teknologi mutakhir. Hanya, kontrol sosial dalam sebuah
tatanan sosial pada hakikatnya berusaha mengubah dan menggembleng perilaku
seseorang demi kesejahteraan umum. Dinamika tatanan sosial tak tersangkalkan. Pola,
gaya, dan isi hidup sebuah masyarakat dapat berubah dan bergeser sesuai
dengan perkembangan zaman. Suatu tatanan sosial akan berubah seiring dengan
dinamika sosial, perpaduan nilai, sikap, instansi, dan lingkungan anggota
masyarakat. Gejala yang sama juga berlaku bagi kontrol sosial yang dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Sekalipun terbatas dan tidak bisa menjamin perbaikan
sosial dengan sempurna, mekanisme kontrol sosial masih sangat diperlukan oleh
negara kita sebagai organisasi massal yang memperjuangkan keadilan (sosial)
bagi seluruh rakyat Indonesia. Perilaku berorganisasi internal seyogianya
dievaluasi berkala supaya rangkaian penyimpangan dan penyelewengan dalam
sebuah instansi negara tidak membudaya. Roh reformasi tetap diperlukan walaupun tidak semua
pihak senang dengan kontrol sosial yang meneropong, membatasi, dan bahkan
menghalangi mereka untuk melakukan keinginan pribadi atau kelompok. Mereka
yang dipercaya untuk melakukan kontrol sosial pun perlu memiliki mental baja
dalam menghadapi situasi dan kondisi internal sebuah lembaga dan
reaksi-reaksi yang bakal muncul dari pihak-pihak yang kenyamanannya terusik. Pembenahan budaya kontrol sosial Walaupun tidak dengan sendirinya akan menjamin
pembenahan dan perbaikan instansi pemerintahan, peran kontrol sosial tetap
penting dalam mengubah dan menggembleng mindset aparatur pemerintah yang
sudah terkolusi dan bobrok turun-temurun. Kebiasaan bermain mata dan salam
tempel antara rakyat dan aparatur pemerintah seharusnya terkontrol dan
dihentikan oleh dunia hukum, namun ternyata dunia hukum kita malah
menghalalkan cara-cara yang demikian untuk membisniskan vonis seorang hakim. Pembudayaan kontrol sosial adalah langkah penting
pembenahan semua instansi pemerintahan. Morrill dan Arsiniega (2019)
mengingatkan bahwa proses pembudayaan ini perlu memprioritaskan harkat,
martabat, dan pemberdayaan pribadi manusia karena prioritas ini akan sangat
memengaruhi perilaku sebuah organisasi, termasuk pemerintahan. Dalam konteks ini kontrol sosial tidak hanya
terbatas pada tindakan manusia, namun juga memperhatikan kontrol relasional
dan budaya yang akan mendongkrak kinerja organisasi. Nilai-nilai dasar
kemanusiaan dalam Pancasila dapat diusung sehingga setiap anggota organisasi
dapat menunaikan tugas dan tanggung jawab dengan tuntunan hati nurani yang
baik, jernih, dan terukur. Efek samping yang merendahkan martabat manusia dapat
ditangani dengan baik lewat sistem kontrol sosial yang mengutamakan keluhuran
kemanusiaan. Dampak negatif bakal muncul kalau kontrol sosial melalaikan
dimensi keluhuran harkat dan martabat manusia. Sistem kontrol birokrasi pemerintah adalah mutlak
dalam proses reformasi holistik di Tanah Air. Mengapa? Sejumlah sistem
birokrasi pemerintah dalam kantor dan di jalan-jalan raya tampaknya masih
menunjukkan kecenderungan koruptif. Hingga kini validitas data penduduk di Tanah Air
masih diragukan dan dipertanyakan. Bagaimanakah logika administratif yang
memungkinkan seorang WNI mengantongi lebih dari satu kartu penduduk? Harus diakui, pengurusan administrasi birokratis
masih abu-abu. Sekaranglah momentum kebangkitan untuk membenahi kontrol
sosial terhadap ”kandang besi” birokrasi pemerintahan yang meliputi sistem
pelayanan umum, personel, manajemen, dan mekanisme internal. Pembudayaan sistem kontrol sosial memengaruhi
seluruh program reformasi manajemen birokrasi, terutama dalam bidang hukum
(polisi, jaksa, hakim, dan advokat), keuangan, departemen ”buncit”, mekanisme
rekrut pegawai (termasuk TNI/ Polri), sistem ”perwakilan rakyat” yang acap
kali ”stroke”, dan instansi-instansi yang terendus nonproduktif dan koruptif.
Pembenahan budaya kontrol sosial yang koordinatif dan sinergik akan
memperbaiki sistem manajerial birokrasi pemerintah yang bobrok tanpa
akuntabilitas publik. Sistem kontrol sosial bermasa depan biasanya akan
menyuburkan kesetaraan harkat dan martabat manusia dengan tidak menekan dan
mengancam rakyat kecil yang berurusan dengan kaum birokrat. Dalam upaya
pembenahan budaya sistem kontrol ini, departemen atau instansi pemerintah
yang masih menutup diri secara online sudah waktunya segera membuka akses
transparan seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat untuk mengemukakan
pendapat, keluhan, dan kritik konstruktif yang benar demi perbaikan mutu
administrasi pelayanan publik. Tentu, follow up dari masukan ini menjadi bagian
integral pembenahan budaya kontrol sosial dalam bidang birokrasi. Soalnya,
departemen atau instansi pemerintah tidak bisa lagi hanya menjadi kantong
penampung masukan, tetapi lebih berupa badan yang bergerak untuk melakukan
tindakan nyata berupa pembaruan dan perbaikan seluruh sistem.● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/membenahi-kontrol-sosial-birokrasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar