Makna Kata Asli Eko Endarmoko : Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa
Indonesia |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
KOMPLEKS niaga di dekat
rumah saya—pengembang menamainya Marrakash Square—setiap hari, pagi dan sore,
menjadi gelanggang tempat warga perumahan sederhana di sekitarnya, termasuk
saya tentu saja, mencari keringat. Entah berjalan kaki, joging, entah
bersepeda di jalur jalan yang memutar. Sementara itu, alun-alun di tengah biasanya
diisi beberapa gerombol manusia. Ada anak-anak bermain bola, remaja berlatih
pencak silat atau baris-berbaris, atau ibu-ibu yang bersemangat senam aerobik
diiringi suara musik berisik. Hampir setiap pagi saya
jalan santai mengitar di sana sampai tiga-empat putaran. Aktivitas ini
memakan waktu kurang-lebih 15 menit, cukup membuat tubuh kuyup berkeringat. Sering, sembari berjalan
beriringan dengan beberapa kenalan sepantar di bawah sorot matahari pagi, ada
saja yang iseng bertanya kepada saya, “Bapak aslinya mana?” Karena sudah sering
mendapat pertanyaan serupa, jawaban saya nyaris klise. Selalu dimulai juga
dengan pertanyaan, “Asli itu maksudnya apa, ya?” Mudah diterka dari bahasa
tubuhnya, si penanya tampak kelimpungan. Belum hilang bingungnya, segera
saya susulkan beruntun pernyataan demi pernyataan. Saya katakan, ibu saya
dari Yogya, bapak saya dari Pemalang. Tapi saya, yang lahir di Tarempa, Riau
kepulauan, dan besar di Jakarta, tidak dapat berbahasa Jawa. Setelah menikah,
saya tinggal di wilayah Bekasi, sampai sekarang. “Nah,” saya tutup dengan
pertanyaan lagi, “saya asli mana kalau begitu?” Lawan bicara saya tertegun
sebentar, sebelum menjawab pendek, “O, artinya Bapak asli Jawa.” Sorot
matahari pagi seketika terasa lebih tajam menggigiti kulit. Dan saya mendadak
kehilangan selera melanjutkan percakapan. Begitulah. Makna kata asli
terkadang kabur, tidak tegas benar. Ini tentu tidak hanya kita lihat pada
kata yang kebetulan punya arti lebih dari satu ini. Sebenarnyalah ada banyak
kata tampak seperti sengaja mengelak dari usaha kita merumuskannya agar
menjadi lebih bening, terang-benderang. Terkadang kabur, sebab bisa terjadi,
justru pada saat artinya mulai agak jelas, menyembul dari sana pertanyaan
(-pertanyaan) baru. Apabila yang dimaksud asli
oleh teman jalan pagi saya tadi adalah daerah atau tempat asal, jelas saya
berasal tidak dari Jawa. Ia saya kira bukan tidak paham akan fakta sebening
itu, bahwa kedua orang tua sayalah yang asli Jawa, lahir di atau berasal dari
Jawa. Ia hanya sudah dikecoh, dikelirukan oleh kebingungannya sendiri.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah benar ibu dan/atau bapak saya asli
Jawa (baca: pribumi)? Bagaimana bila generasi kesekian moyang kami adalah
pendatang di bumi Nusantara, kakek buyut saya dari tanah Madagaskar dan nenek
canggah saya dari dataran Mongolia, misalnya? Asli di situ cenderung
menempel pada murni, tulen. Kita ingat ada madu asli di samping ada pula susu
murni atau lelaki tulen. Yang kita lihat di sini, asli menegaskan identitas
diri sendiri sambil menolak unsur luar dirinya. Tak ada campuran. Tapi pada
saat yang sama, ini paradoksal, peneraan semacam stempel asli pada sesuatu
malah kerap menerbitkan sangsi. Maka apabila asli yang
dimaksud adalah pribumi, bukan peranakan, ini pastilah lebih bermasalah. Sebelum pindah ke kediaman
sendiri di daerah dekat Marrakash Square, saya tinggal di rumah kontrakan di
perumahan yang letaknya bersebelahan. Pada hari-hari rusuh 1998, suatu siang
ketika kekacauan mulai menjalari daerah kami—deretan rumah toko dan kompleks
perumahan kami hanya berjarak tak sampai seratus meter—beberapa tetangga
meminjam sajadah kepada kami untuk disampirkan di pintu pagar depan rumah.
Sementara itu, dinding depan rumah ditulisi “ASLI/PRIBUMI” dengan cat
semprot. Kedua benda itu, sajadah dan grafiti, mereka perlakukan sebagai
semacam jimat dan larik doa. Seolah-olah dengan itu mereka luput dari amuk
massa yang bengis. Kerusuhan keji itu,
kemudian kita tahu, meledak di banyak daerah dengan derajat berbeda-beda.
Berlangsung sampai berhari-hari, aparat keamanan seperti lumpuh tak bergerak.
Skala eskalasinya yang seperti menuruti sebuah skenario sangat rapi telah
berhasil mendesak Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik
Indonesia. Ini bagian yang sangat
ganjil dari kisah itu. Kelompok penyerbu atau penyerang adalah mereka yang
dengan congkak berkeras mengaku asli/pribumi, sedangkan sasaran atau korban
mereka adalah golongan bukan asli, nonpribumi/peranakan. Lihatlah, asli tidak hanya
menerbitkan sangsi, tapi juga biadab, dalam penghadap-hadapannya dengan yang
bukan asli. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/167218/makna-kata-asli |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar