Johannes Leimena, Kongres Pemuda II,
& Ide Cikal Bakal Puskesmas Petrik Matanasi : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 27 Oktober 2022
Pada 29 Maret
1977, Johannes Leimena wafat di Jakarta. Dia adalah pahlawan nasional
sekaligus menteri yang paling lama menjabat selama era Presiden Sukarno.
Leimena duduk dalam 18 kabinet berbeda dengan masa jabatan yang merentang
selama hampir 20 tahun.Sebelum jadi dokter, Leimena ikut terlibat aktif dalam
Kongres Pemuda II 1928. Leimena yang dikenal sebagai eksponen Jong Ambon ini
ikut dalam kepanitiaan kongres sebagai Pembantu IV. Selain di Jong Ambon,
Leimena juga aktif dalam Christelijke Studentenvereniging (CSV). Aktivisme
Leimena tentu tak berhenti di momen itu saja. Dia l ulus dari
Sekolah Pendidikan Dokter Hindia atau School tot Opleiding van Indische
Artsen (STOVIA) pada 1930. Setelah itu, dia melanjutkan ke Sekolah Tinggi
Kedokteran atau Geneeskundig Hooge School (GHS) pada 1939. Leimena pernah
menjadi dokter zending di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Menurut Hans Pols
dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019, hlm.
281), agama Kristen dan cita-cita akan keadilan sosial adalah dua bibit
motivasi yang menggerakkan Leimena. Presiden
Sukarno amat kagum pada karakter dan sangat percaya pada Leimena. Hal itu dia
terangkan secara gamblang dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia (2007) yang ditulis Cindy Adam. “Ambilah
misalnya Leimena...saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra
keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti
itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah
seorang yang paling jujur yang pernah kutemui,” aku Sukarno. Apa yang dikatakan
Sukarno bukanlah omongan seorang politisi. Leimena beberapa kali dipercaya
oleh Presiden Sukarno untuk menjadi menteri kesehatan. Selama menjadi
menteri, Leimena tertarik dengan bantuan dan saran ahli organisasi kesehatan
soal pelayanan kesehatan. Salah seorang
kolega Leimena adalah Abdoel Patah (1898-1959), seniornya di STOVIA yang
lulus pada 1921. Dokter kelahiran Majalaya, Jawa Barat itu kemudian
melanjutkan belajar ilmu kedokteran di Belanda pada 1930-an. Disertasinya
berjudul De Medische Zijde van de Bedevaart naar Mekka. “Abdoel Patah
beberapa kali mengikuti kapal haji dan tujuh tahun lamanya bekerja di
perwakilan Belanda di Jeddah,” tulis Harry Poeze dalam Di negeri penjajah:
orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950 (2008). Setelah Revolusi
Kemerdekaan, keduanya memikirkan bagaimana pengobatan modern ala kedokteran
Barat bisa dinikmati masyarakat luas hingga ke pelosok desa. Mereka, seperti
disebut Lucia Endang dan Linda Shield dalam Primary Health Care in Indonesia
(1990), kemudian merumuskan konsep kesehatan masyarakat yang disebut sebagai
Bandung Plan. Konsep yang
dipresentasikan Leimena pada 1952 ini meliputi pembangunan rumah sakit pusat
di kota, rumah sakit pembantu di kabupaten, poliklinik di kecamatan, dan pos
kesehatan di desa terpencil. Menurutnya, jika tidak teratasi di tingkat
kecamatan, warga yang sakit bisa dialihkan ke rumah sakit pembantu atau rumah
sakit kota. “Leimena
mengusulkan untuk mengintegrasikan pusat-pusat kesehatan masyarakat,
pendidikan kesehatan masyarakat, dan perawatan kuratif pada empat tingkat
tersebut,” imbuh Hans Pols. Gagasan mereka
membuat sistem kesehatan masyarakat menjadi komponen wajib dalam kurikulum
ilmu kedokteran di Indonesia. Para dokter yang telah lulus kuliah, diminta
bekerja di daerah terpencil selama tiga tahun agar terjadi penyebaran
perawatan medis yang lebih merata di Indonesia. “Sejarah
mencatat, pola pemikiran Leimena kemudian diteruskan pula pada zaman Orde
Baru," tulis Frans Hitipeuw dalam Dr. Johannes Leimena, Karya dan
pengabdiannya (1996). Puskesmas dalam Pelita Orde Baru Setelah tampuk
kekuasaan berganti, gagasan Leimena dan Abdoel Patah diangkat lagi oleh
Gerrit Augustinus Siwabessy (1914-1982), seorang dokter berdarah Ambon yang
menjadi Menteri Kesehatan di awal pemerintahan Orde Baru. Dia adalah kawan
dr. Ibnu Sutowo (1914-2001) mantan Direktur Pertamina, dan Roebiono Kertopati
(1914-1984) mantan kepala Sandi Negara, saat bersekolah di Nederlandsch
Indische Artsen School (NIAS) Surabaya. Tahun 1968,
Siwabessy mempresentasikan ide Leimena dan Abdoel Patah tentang pembangunan
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di setiap Kecamatan. Usulannya
diterima oleh presiden daripada Soeharto dan jadi bagian dari program
Pembangunan Lima Tahun (Pelita) Pemerintah Orde Baru. Menurut Erlita
dan kawan-kawan dalam Sang Upuleru: Peringatan 100 Tahun Prof. DR. GA
Siwabessy (2014, hlm. 184), terdapat 2.000 puskesmas pada Pelita II dan
setiap tahun jumlahnya bertambah. Sampai tahun 1992/1993, jumlah puskesmas
sudah mencapai 6.749 unit. Di tiap daerah
rasio antara jumlah puskesmas dan jumlah penduduk yang harus dilayani
berbeda-beda. Berdasarkan buku 30 Tahun Orde Baru Membangun (1995), di Jawa
dan Bali satu Puskesmas melayani 30.000 penduduk dan didukung oleh 2 sampai 3
puskesmas pembantu. Sementara di luar dua daerah itu yang penduduknya tidak
terlalu padat, rasionya adalah satu puskesmas diperuntukkan bagi 10.000
sampai 20.000 penduduk dengan didukung juga oleh 2 sampai 3 puskesmas
pembantu. Secara keseluruhan, satu puskesmas rata-rata melayani 27.000
penduduk. Berdasarkan
Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 1982, puskesmas perlu dibangun di
kecamatan yang berpenduduk lebih dari 30.000 jiwa. Inpres tersebut
menyebutkan bahwa puskesmas dibangun “untuk mempertinggi dan meningkatkan
pelayanan kesehatan terutama kepada penduduk desa dan penduduk kota yang
berpenghasilan rendah.” Selain itu, untuk melayani kebutuhan masyarakat
diadakan juga puskesmas keliling. Agar setiap
puskesmas dilayani dokter, maka di era Siwabessy pun diadakan program Dokter
Inpres. Para dokter muda didorong untuk menunaikan tugas wajib kerja sarjana
(WKS). Selain membangun puskesmas, Orde Baru pun membuat pelbagai program
kesehatan lain dan mengontrol tingkat pertumbuhan penduduk melalui Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Keluarga
Berencana (KB). Pelayanan
puskesmas di zaman Orde Baru bukan tanpa masalah. Menurut dokter Djanuar
Achmad seperti dikutip Hans Pols, para dokter yang bertugas di puskesmas
kebanyakan kurang antusias bekerja. Mereka sekadar menggugurkan kewajiban
dengan hanya tiga tahun pertama menjadi dokter puskesmas. Bagi mereka,
pekerjaan tersebut tidak ada artinya bagi perkembangan karier. Selain itu,
waktu para dokter pun habis untuk urusan administrasi sehingga banyak layanan
kesehatan dikerjakan oleh perawat yang kurang terlatih. Dalam sejarah
panjang pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dengan pelbagai kelebihan dan
kekurangannya, Siwabessy dianggap sebagai Pelopor Puskesmas dan Leimena
disebut Bapak Puskesmas Indonesia. ● |
Sumber : https://tirto.id/johannes-leimena-kongres-pemuda-ii-ide-cikal-bakal-puskesmas-ehyG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar