Menempa
Daya Muda Yudi Latif : Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 27 Oktober 2022
Indonesia
tanpa komitmen memberdayakan kaum muda ibarat pohon melupakan akarnya. Menulis
dalam majalah pengobar kemajuan, Bintang Hindia (volume 14/1905: 159), Abdul
Rivai mendefinisikan ”kaum muda” sebagai ”semua orang Hindia [muda atau tua]
yang tak lagi berkeinginan untuk mengikuti aturan kuno, namun sebaliknya
bersemangat untuk mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmu”. Munculnya
istilah ”kaum muda” merefleksikan usaha intelektual kaum inteligensia baru
untuk menemukan batas imajiner antara diri mereka dan aristokrasi tua dengan
cara mengonstruksi penanda beda bagi kedua kelompok itu. Anggota bangsawan
”tua” disebut ”bangsawan usul”, anggota bangsawan ”muda” disebut ”bangsawan
pikiran”. Pada
terbitan pertama majalah sama 1902, Rivai mengingatkan, demi kemajuan, ”Tak
perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai ’bangsawan usul’ karena
kemunculannya memang telah ditakdirkan... Saat ini, pencapaian dan
pengetahuan lah yang akan menentukan posisi seseorang. Inilah situasi yang
melahirkan munculnya ’bangsawan pikiran’.” Kedua jenis bangsawan lantas
dipertautkan dengan komunitas masing-masing. Pengikut
”bangsawan usul” diasosiasikan dengan komunitas ”kaum tua” atau ”kaum kuno”,
sedangkan penganjur ”pikiran” diasosiasikan dengan komunitas ”kaum muda”.
Dalam perkembangannya, istilah kaum muda digunakan secara luas dalam liputan
media dan wacana pendukung bangsawan pikiran. Sebuah usaha merepresentasikan
identitas kolektif dari mereka yang memiliki kesamaan tekad untuk memperbarui
masyarakat Hindia melalui jalur keilmuan-kemajuan. Sejak
itu, istilah kaum muda atau pemuda selalu dirapatkan dengan kualitas
pengetahuan/keterpelajaran, seperti tecermin dalam kemunculan entitas
”pemuda-pelajar”. Istilah Belanda jong, yang kerap dipakai untuk menamai
satuan organisasi pemuda-pelajar dekade awal abad ke-20, tak merujuk pada
sembarang pemuda, tetapi memiliki konotasi khusus pada ”yang muda-yang terpelajar-yang
berilmu”. Jenis pemuda inilah yang kemudian melahirkan ”Sumpah Pemuda” 28
Oktober 1928 sebagai tonggak penciptaan kebangsaan Indonesia. Peringatan
Sumpah Pemuda jadi momen pengingat bahwa pada awal pertumbuhan gagasan
ke-Indonesia-an, kaum mudalah yang menjadi inisiator, pemimpin, sekaligus
pelaksana politik kebangsaan. Adapun politik dalam kesadaran pemuda
terpelajar ini adalah politik akal-budi untuk mengupayakan resolusi atas
problem kolektif (kaum terjajah) melalui pengikatan solidaritas kekitaan dan
pemenuhan kebajikan publik. Dengan
cetakan dasar keindonesiaan seperti itu, usaha apa pun untuk memancangkan
kembali marwah bangsa ini harus mempertimbangkan fitrah perjuangan emansipasi
berbasis daya muda dan daya pengetahuan. Kesadaran akan pentingnya usaha
merevitalisasi daya muda dan daya pengetahuan itu menemukan kembali
relevansinya dalam usaha kita menghadapi tantangan masa kini. Berdiri
di awal dekade kedua abad ke-21, di tengah dunia yang baru beringsut dari
cengkeraman pandemi Covid-19, seperti dejavu yang menyerupai latar peristiwa
Sumpah Pemuda. Berakhirnya Perang Dunia I, suasana kehidupan di Hindia
Belanda memasuki masa krisis dan katastrofe akut. Ditandai oleh ambruknya
kehidupan ekonomi, krisis industrial dan krisis pangan, akibat disrupsi
perang, bersamaan dengan cengkeraman pandemi influenza (1918-1920) yang
memakan korban kematian sekitar 4,6 juta jiwa. Krisis
ekonomi membuat pemerintahan kolonial mengetatkan ikat pinggang dengan
menguatkan tindakan represif. Ini membangkitkan semangat perlawanan dari
minoritas kreatif kaum muda untuk menyatukan berbagai gugus perjuangan
ethno-nationalism ke dalam suatu blok historis bersama, dengan menciptakan
komunitas imajiner (civic-nationalism) baru bernama Indonesia. Sumpah Pemuda
menjadi monumen kesadaran kebangsaan baru yang membuka jalan bagi kemerdekaan
Indonesia. Apabila
kaum muda terpelajar pada masa kolonial mampu merespons tantangan zamannya,
sanggupkah kaum muda masa kini merespons tantangan zaman baru? Untuk itu,
kita perlu memiliki bayangan ke mana pendulum sejarah kehidupan dunia
bergerak pascapandemi. Salah
satu skenario yang bisa kita rujuk adalah pandangan Peter Zeihan dalam buku
The End of the World is just the Beginning (2022). Menurut dia, perkembangan
globalisasi beberapa dekade terakhir sebenarnya dipicu kepentingan AS untuk
melumpuhkan Uni Soviet selama Perang Dingin lewat aliansi strategis dengan
banyak negara lintas benua. Untuk
itu, AS menawarkan bantuan keamanan, investasi, infrastruktur teknologi,
finansial, dan pasar global. Rantai pasok berskala global dimungkinkan karena
proteksi angkatan laut AS. Dollar AS menopang pasar finansial dan
internasionalisasi energi. Kompleks-kompleks industri inovatif tumbuh untuk
memuaskan konsumen AS. Kebijakan keamanan AS menekan negara-negara
bersengketa melucuti senjata. Miliaran orang memperoleh makanan dan
pendidikan berkat sistem perdagangan global yang dipimpin AS. Berkat semua
itu, globalisasi merebak dengan membuat segala hal jadi lebih cepat, lebih
baik, lebih murah. Dengan
berakhirnya Perang Dingin, AS kehilangan kepentingannya untuk mempertahankan
itu. Kecuali jika AS terlibat perang langsung dengan negara adidaya baru,
pendulum sejarah akan berbalik arah menuju deglobalisasi. Tandanya mulai
dicanangkan pada era pemerintahan Trump: ”America First”. Keterisolasian
banyak negara semasa pandemi mempercepat proses ke arah itu. Apabila
era deglobalisasi jadi kenyataan, negara/kawasan tak punya pilihan lain
kecuali membuat barang sendiri, menanam makanan sendiri, memenuhi energi
sendiri, bertempur dengan senjata sendiri, serta mengerjakan semua itu dengan
penduduk dan sumber daya sendiri. Menghadapi
ini, Indonesia memiliki peluang dan ancaman. Secara geografis, Indonesia
berada di kawasan strategis sebagai gerbang menuju pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru di Asia Timur dan India, sekaligus batu loncatan menuju pusat
ketegangan geopolitik global di masa depan. Secara demografis, Indonesia
beruntung memiliki struktur penduduk muda; bisa terhindar dari problem
negara-negara Eropa dan Asia Timur yang mengalami proses penuaan (aging).
Kita juga memiliki keanekaragaman sumber daya sebagai sumber rantai pasok
bagi industri sendiri. Tantangan
terbesar kita adalah rendahnya modal manusia (human capital). Padahal,
berdasarkan pengalaman gerak maju lintas-negara, kendati faktor terwariskan
(geografi, demografi, geologi, SDA) bisa berkontribusi pada kemajuan, faktor
paling menentukan adalah modal manusia. Apabila Indonesia gagal membangun
kualitas hidup dan kapabilitas manusia, kelimpahan penduduk muda tak akan
menjadi bonus demografi, melainkan bencana demografi. Apa
yang harus dilakukan? Untuk
bisa merespons ini, kita perlu melakukan perubahan konsepsi pembangunan
dengan menyadari kembali khitah keindonesiaan. Seperti kebangkitan nasional
di masa lalu yang dikobarkan kaum terpelajar sebagai produk pembangunan
kualitas manusia, begitu pun peta jalan kemajuan Indonesia masa kini.
Pembangunan tak boleh hanya dipahami sebatas pembangunan infrastruktur fisik
dan indikator kuantitatif (PDB, pendapatan per kapita, dan sejenisnya). Pembangunan
pada hakikatnya harus dipahami sebagai usaha meningkatkan kualitas hidup.
Kata kuncinya: kapabilitas dan keberfungsiannya dalam memecahkan problem riil
masyarakat. Dan, tumpuan utama untuk ini adalah pendidikan dengan dukungan
sistem politik dan sistem ekonomi yang kondusif. Pendidikan
baik dapat meningkatkan kapabilitas manusia dengan keunggulan dalam
pengetahuan, keterampilan-tata kelola, dan karakter, yang bisa menumbuhkan
pribadi baik sekaligus warga negara dan warga dunia yang baik. Ray Dalio
(2021) mengingatkan, sepanjang sejarah peradaban, kemakmuran suatu bangsa
ditentukan oleh kemampuannya menghadirkan sistem yang di dalamnya orang-orang
berpendidikan baik bisa bekerja sama secara damai, dengan penghormatan pada
hukum, peraturan dan ketertiban masyarakat, hingga bisa melahirkan berbagai
inovasi dan produktivitas yang melambungkan kesejahteraan. Sistem
demikian bisa terlahir dalam negara yang sehat. Negara dengan kepemimpinan
kuat dan kapabel dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan kehadiran
warga sipil yang bisa dikelola, akan lebih memiliki daya resiliensi dan
responsi. Negara yang lebih inventif akan lebih makmur dan mampu beradaptasi
dengan perubahan dan tantangan. Politik
kebudayaan Gerak
maju pembangunan berbasis kapabilitas manusia memerlukan transformasi
paradigmatik dari pendekatan politik dan ekonomi sebagai panglima menuju
budaya sebagai panglima. Kebudayaan harus jadi dasar dan haluan pembangunan
yang dibudayakan di jantung pendidikan. Seperti diingatkan Bung Hatta, yang
diajarkan di pendidikan adalah kebudayaan. Pendidikan adalah proses
pembudayaan, melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olahraga, yang
bisa berfungsi optimal dalam lingkungan tata nilai, tata kelola, dan tata
sejahtera yang baik. Dalam
usaha itu, strategi kebudayaan dituntut melakukan reorientasi pada dimensi
mitos (keyakinan), logos (pengetahuan), dan etos (karakter kejiwaan). Pada
dimensi mitos, kita harus menyangkal mitos yang memandang status quo senioritas,
kekayaan dan keturunan sebagai ukuran kehormatan dan tumpuan kemajuan. Mitos
baru harus dimunculkan dengan memercayai kualitas manusia dan kapasitas kaum
muda sebagai ukuran kehormatan dan agen perubahan. Kaum muda sendiri
diharapkan dapat menyelamatkan kepercayaan rakyat dengan mengembalikan
politik pada khitahnya sebagai seni untuk mewujudkan kemaslahatan bersama
(common good). Mitos
lama yang memercayai kemenangan suatu golongan harus dibayar oleh kekalahan
golongan lain juga mesti diganti dengan mitos baru yang memercayai keutamaan
berbagi kebahagiaan dengan merayakan kemenangan secara bersama. Potensi
kekayaan dan keragaman Indonesia tak boleh terus dikuasai secara eksklusif
dan berjalan dalam situasi ”plural-monokulturalisme”, tanpa kesediaan saling
berbagi dan berinteraksi. Harus
diciptakan wahana yang bisa menguatkan semangat persatuan dalam perbedaan
(Bhinneka Tunggal Ika), lewat perluasan jaring konektivitas (perjumpa- an)
dan inklusivitas (kesetaraan dan kea- dilan), yang dapat mengatasi prasangka
dan kecemburuan sosial, memperkuat rasa saling percaya, serta menghasilkan
persenyawaan yang unggul dan produktif. Pada
dimensi logos, pengukuhan kembali kekuatan ilmu sebagai ukuran kehormatan
terasa penting ketika daya pikir (bangsawan pikiran) mulai direndahkan
kembali oleh ”kebangsawanan usul” baru, dalam bentuk oligarki-plutokrasi,
politik dinasti, dan popularitas ”tong kosong”, yang membawa mediokritas
dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya mediokritas, etos
kreatif dan ekonomi inovatif sebagai basis kemakmuran dan daya saing bangsa
tak memiliki topangan yang kuat. Jika
bangsa ini hendak merestorasi elan vitalnya, seperti pernah dihidupkan oleh
pemuda pelopor di masa lalu, tak ada jalan lain, modal pengetahuan dan
pemahaman (logos) perlu ditingkatkan dengan memperbaiki sistem pembelajaran
sosial secara kolektif. Kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus dipandang
sebagai hasil dari proses belajar sosial melalui kesetaraan kesempatan dan
kebebasan bagi siapa pun untuk belajar mengembangkan diri serta meraih apa
yang dianggapnya bernilai. Untuk
memberikan lingkungan kondusif bagi penguatan modal pengetahuan, praksis
demokrasi harus kembali dipimpin oleh orientasi etis hikmat/kebijaksanaan
yang memuliakan nalar-pengetahuan dan kearifan. Selain penguatan sistem
pendidikan inklusif, dunia pendidikan juga diharapkan jadi wahana penumbuhan
budaya demokrasi dan kompetensi kewargaan (civic competence). Harus dicegah
proses pendidikan yang mengarah pada eksklusivisme dan segregasi sosial. Kapitalisasi
dunia pendidikan harus dibatasi dengan meneguhkan kembali standar meritokrasi
di atas daya beli. Pada
dimensi etos, perlu ada transformasi karakter untuk membebaskan bangsa dari
perbudakan mental dan mentalitas budak yang kurang memiliki daya kemandirian,
suka eker-ekeran mempertentangkan hal remeh-temeh, mudah terpukau pada gebyar
lahir ketimbang isi batin. Energi kaum muda harus diarahkan untuk memperkuat
etos kejuangan. Peristiwa
Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative
destruction). Menerobos kecenderungan kejumudan, serba ragu, konformis,
status quo-is dan parokialis para kaum tua; para pemuda-pelajar datang dengan
ilmu dan etos kreatif. Etos
kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind
(1968), bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko
sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi
konstruksi baru yang lebih baik. Itulah trayek kebangkitan bangsa di masa
lalu, itu pula trayek kebangkitan bangsa menuju masa depan. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/21/menempa-daya-muda |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar