Titik
Nol Pembaruan Kepolisian Bivitri Susanti |
KOMPAS, 27 Oktober 2022
Semua mata saat ini tertuju pada kasus Ferdy Sambo
di pengadilan. Kemarahan, kesedihan, kebohongan bertaburan bersama dengan
spekulasi soal buku hitam dan jaringan perjudian serta narkoba. Hal yang
harus kita cemaskan, taburan-taburan persoalan itu nantinya seakan-akan
selesai dengan vonis pengadilan. Beberapa waktu lalu, saat Presiden Joko Widodo
memanggil pejabat-pejabat kepolisian, ada perintah untuk tidak menampilkan
kemewahan. Namun, soal intinya tidak disentuh: bagaimana kemewahan itu
didapatkan? Akibatnya, merek mobil yang berseliweran di kantor-kantor polisi
berubah, tetapi pertanyaannya, apakah perilaku dan cara penegakan hukum akan
ikut berubah? Di balik soal baju, jam tangan, dan mobil mewah
sesungguhnya bersemayam persoalan-persoalan akut tentang institusi penegakan
hukum yang nyatanya membutuhkan banyak perbaikan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan yang juga Ketua Komisi Kepolisian Nasional Mahfud MD sudah
mengungkapkan sesuatu yang selama ini ditakutkan masyarakat untuk disampaikan
adalah ketika masyarakat melaporkan tindakan pelanggaran oleh anggota
kepolisian. Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga sudah
menyatakan secara terbuka untuk menghilangkan budaya setoran dari bawahan ke
atasan dalam tubuh kepolisian. Ada potongan-potongan puzzle yang sudah tampak
secara formal karena sudah dibicarakan secara terbuka oleh aktor politik
formal. Isu-isu ini sebenarnya sudah lama dibicarakan masyarakat, tetapi
dengan kehati-hatian ekstra karena khawatir mendapat tekanan balik. Bukan
apa-apa, yang dibicarakan adalah institusi yang begitu kuat karena memegang
kekuasaan yang sangat besar dalam penegakan hukum. Adagium yang mengatakan
hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas bisa dikatakan tergambar dari
bagaimana hukum ditegakkan oleh penegaknya. Di Georgia, salah satu negara pecahan Uni Soviet,
pada 2004, sebanyak 30.000 polisi dipecat untuk memulai reformasi kepolisian.
Tentu konteks Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain. Langkah
sedrastis itu barangkali tak perlu sampai dilakukan, tetapi ada satu bacaan
penting dari Georgia yang bisa kita ambil: perlu ada ”titik nol” bagi
reformasi kepolisian. Reformasi ini harus berdasarkan pada fakta atau
masalah yang nyata terjadi di lingkungan aparat penegak hukum tersebut, bukan
pada citra kepolisian yang tergambar dari pameran kemewahan. Langkah reformasi harus didasarkan pada masalah
nyata, bukan persepsi. Karena, kalau hanya persepsi, ujungnya hanya
pencitraan, bukan menyelesaikan masalah nyata. Hal yang tak boleh dilupakan, tak semua persoalan
kepolisian bisa ditimpakan pada institusi itu sendiri. Cukup banyak institusi
lain yang menikmati kekuasaan yang besar ini, dengan menciptakan hubungan
saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Mulai dari pengusaha, investor
yang ingin menggusur masyarakat dari tanahnya, sampai politisi yang mempunyai
kepentingan ekonomi dan politik. Tim independen Pembaruan kepolisian seharusnya dilakukan oleh tim
independen karena reformasi Polri bertujuan membongkar relasi kuasa yang
hingga kini masih bercokol. Tim yang independen ini harus lepas dari
kepolisian itu sendiri dan lepas juga dari kalangan akademisi serta aktivis
dan politisi yang dekat dengan kepolisian. Apabila titik nol dengan membuat
tim independen ini tak diciptakan, niscaya jalan keluar yang ditawarkan akan
kembali pada soal-soal di permukaan karena faktor waktu dan banyaknya isu
yang beredar akan mudah memudarkan ingatan kita akan problem-problem yang
hari-hari ini mengisi ruang diskusi. Sudah tak kurang banyaknya usulan tentang pembaruan
kepolisian, bahkan sejak reformasi 1998 dimulai. Usulan ini tak tuntas
dilaksanakan. Kita mendapatkan ketegasan konstitusional tentang pemisahan
Polri dan TNI, tetapi belum ada perubahan dalam hal perbaikan institusional,
terutama yang terkait dengan evaluasi kewenangan, sistem pengawasan, dan jati
diri Polri yang cenderung tetap berkarakter militeristik (Bambang Widodo
Umar, 2008). Tugas konstitusional kepolisian adalah keamanan, tetapi keamanan
yang dijaga cenderung pada keamanan penguasa dan pengusaha, bukan rakyat
biasa. Namun, tugas konstitusional ini pun melebar sampai
ke soal-soal administratif, seperti penerbitan surat-surat kendaraan, yang di
banyak negara lain dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Begitu
pula wewenang dalam penegakan hukum yang masih terlepas dari proses
penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan perlu ditinjau kembali. Banyaknya kajian yang sudah ada akan memudahkan
analisis awal pembaruan kepolisian, dalam hal akademik. Namun, kita paham,
soalnya tidak hanya analisis dan solusi kebijakan, tetapi tantangan politik
karena begitu banyak yang juga merasa nyaman dengan situasi yang ada
sekarang. Untuk itu, ketegasan presiden sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan sekali lagi dibutuhkan. Ini tentu tak mudah
dilaksanakan dalam tahun-tahun politik seperti saat ini. Namun, gagasan
tentang titik nol pembaruan kepolisian tidak boleh pudar dari perbincangan. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/titik-nol-pembaruan-kepolisian |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar