Frans
Seda, Pejuang Seumur Hidup Baskara T Wardaya : Dosen
Universitas Sanata Dharma, Pemangku Francis Wade Chair, Marquette University,
AS |
KOMPAS, 26 Oktober 2022
Menarik
apa yang ditulis Stanley Adi Prasetyo tentang tokoh nasional Frans Seda
baru-baru ini (Kompas, 3/10/2022). Dikatakan
Frans Seda (FS) berhasil dalam pengabdiannya untuk Indonesia karena memiliki
konsep keilmuan yang unggul, memahami konteks, dan mampu membangun jaringan
lintas batas. Yang
tak kalah penting, semua keunggulan itu menjadi operasional karena dilandasi
semangat perjuangan untuk bangsanya. Dalam kasus FS, perjuangan itu adalah
perjuangan seumur hidup. Melayani
bangsa Sebagaimana
ditulis, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, FS bertemu Bung Karno
dan berpidato di hadapannya di Ende, Flores. Saat itu Bung Karno berada di
Flores karena dibuang Belanda. Bagi FS, pertemuan itu momentum yang
eksistensial dan transformatif. Eksistensial
karena pertemuan itu membuatnya berpikir tentang pilihan hidup. FS sadar,
Bung Karno bukan orang asli Flores, melainkan rela dibuang ke Ende sebagai
konsekuensi atas perjuangan bagi kemerdekaan bangsanya. FS kecil merasa
terinspirasi untuk juga berjuang bagi kemerdekaan bangsanya. Transformatif
karena pertemuan itu telah membuka wawasan FS. Ia, yang semula berwawasan
kedaerahan, sejak itu mulai berwawasan kebangsaan. Ketika
usianya baru 15 tahun dan melanjutkan belajarnya di Kolese Xaverius Muntilan,
Jawa Tengah, wawasan kebangsaan itu jadi terbuka lebar. Di sana, FS bertemu
banyak siswa dari berbagai penjuru Nusantara. Sejumlah guru yang pastor
Katolik keturunan Belanda memperkaya wawasan globalnya. Di
kolese itu pula, FS berhadapan langsung dengan kejamnya penindasan oleh
bangsa lain, dalam hal ini bangsa Jepang. Menolak tunduk pada kuasa penjajah,
FS menggunakan kekejaman penjajahan untuk berlatih bersiasat. Siasat FS dan
teman-temannya untuk menyelundupkan semen di balik bendera Jepang adalah
contohnya. Ketika
akhirnya Jepang mengusir semua penghuni Kolese Xaverius dari Muntilan, FS melanjutkan
perjuangan di Yogyakarta. Di ”Kota Gudeg”, ia melibatkan diri melawan
kekuasaan Belanda yang bermaksud menjajah kembali Indonesia. Di tengah
kesulitan hidup yang ada, FS bergabung dengan Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi (KRIS) dan berjuang di front Karawang-Bekasi, Jawa Barat. Ia
juga ikut mendirikan organisasi perlawanan Gerakan Rakyat Indonesia Sunda
Kecil (GRISK). Tentang semangat perjuangan FS, mantan ketua GRISK dan
pahlawan nasional, Prof Dr Herman Johannes, pernah bersaksi, ”Dari tahun 1946
hingga 1948, meskipun masih berstatus sebagai seorang pelajar, Frans Seda
sudah berperan sebagai penghubung antara GRISK dengan Laskar Sunda Kecil dan
Biro Perjuangan Indonesia.” Semangat
perjuangan serupa ia tunjukkan ketika dari Yogyakarta FS berpindah ke
Surabaya. Di sekolah HBS (Hoogere Burgerschool) yang kebanyakan siswanya anak
keturunan Belanda, FS mendirikan organisasi Persatuan Pelajar Indonesia
(PPI). Ketika
kemudian kuliah di Belanda, FS tak hanya menggunakan kesempatan yang ada
untuk menekuni buku-buku. Ia juga melanjutkan perjuangan. FS, misalnya,
bergabung dengan PPI di Belanda. Ia juga membangun jejaring dengan mahasiswa
Asia lain yang negaranya juga baru bebas dari penjajahan. Jejaring
serupa ia bangun dengan orang-orang Eropa, berbekal pengalaman interaksinya
dengan para pastor Belanda di Muntilan. Keberhasilan dalam membangun jejaring
dengan orang-orang Eropa ini kelak akan dibutuhkan dalam melakukan lobi-lobi
untuk membangkitkan kembali ekonomi Indonesia akhir 1960-an. Ketika
pada 1956 kembali ke Tanah Air, FS tetap kagum dan hormat kepada Bung Karno
yang saat itu telah jadi Presiden RI. Suatu hari mereka berjumpa dan FS tetap
menunjukkan kekagumannya. Gayung bersambut. Bung Karno teringat dan tetap
terkesan akan kecakapan FS waktu kecil. Ia pun menunjuk FS menjadi salah
seorang menterinya meski waktu itu usianya baru 38 tahun. FS menjalankan
tugasnya dengan baik, bahkan menjadi salah satu menteri kepercayaan Presiden. Apa
yang disebut tentang FS meminta izin Bung Karno ketika ditunjuk untuk
membantu dalam pemerintahan Soeharto menarik untuk dicermati. Apa yang
dilakukan FS itu menunjukkan hormatnya kepada Bung Karno yang secara
eksistensial dan transformatif telah memengaruhi hidupnya. Pada
saat yang sama benar pula tindakan itu menunjukkan bahwa bagi FS perjuangan
dan pengabdiannya bukan terutama ditujukan kepada seorang individu, melainkan
kepada bangsa yang ia cintai. Bung Karno menyadari hal itu dan ia mendukung
keputusan FS. Pada
masa pemerintahan Soeharto, dalam kapasitas sebagai Menteri Pertanian,
Menteri Keuangan, dan Menteri Perhubungan, terlihat pula yang FS abdi bukan
seorang individu atau pemerintahan, melainkan bangsanya. Tak heran, setelah
Soeharto lengser, FS tetap setia mengabdi bangsa melalui
pemerintahan-pemerintahan setelahnya, formal atau informal. Kepada
bangsa, negara, dan Tanah Airnya, FS tak hanya mengabdi melalui jabatan
politis yang gemerlap dan bergaji tinggi. Ia juga mengabdi lewat pekerjaan di
luar pemerintahan yang senyap dan tanpa iming-iming uang. Keterlibatan dalam
membidani lahirnya harian Kompas, pendirian Universitas Katolik Atma Jaya
Jakarta, pembentukan koperasi kopra di Flores, pembentukan koperasi hewan di
Timor dan Sumba adalah beberapa contoh. Jelas
pula perjuangan FS melampaui batas-batas zaman. Ia berjuang sejak zaman
Belanda, Jepang, perang kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno,
pemerintahan Presiden Soeharto, periode reformasi, bahkan setelahnya. Ia pun
melayani bangsanya melampaui batas-batas suku, ras, dan agama sehingga bisa
diterima oleh semua pihak. Di dunia internasional, ia juga dengan mudah
diterima banyak kalangan. Besarnya
peran FS dalam mendapatkan bantuan ekonomi untuk Indonesia tahun 1970-an
berikut banyaknya penghargaan internasional yang ia terima menunjukkan FS
dihormati tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Pahlawan Mengingat
begitu tinggi dan konsistennya kiprah dan komitmen bagi bangsanya sejak usia
muda hingga menjelang akhir hayat, rasanya pantas sang pejuang seumur hidup
itu dianugerahi gelar pahlawan nasional. Kita
tahu gelar itu tak penting baginya. Ia tak membutuhkan, yang membutuhkan
adalah kita. Gelar itu akan mengingatkan kita: sebagaimana Frans Seda, kita
pun dipanggil untuk berjuang seumur hidup bagi bangsa, negara dan Tanah Air.
Terpulang kepada kita bagaimana mau menjawabnya. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/25/frans-seda-pejuang-seumur-hidup-1 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar