Ikhtiar
Melahirkan Buya Syafii Maarif Baru Iqbal Basyari |
KOMPAS, 30 Oktober 2022
Suatu siang tahun 2019 lalu, Direktur Eksekutif
Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali bersama sejumlah koleganya berkunjung ke
apartemen mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau akrab
disapa Buya Syafii di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka datang untuk
memastikan kondisi kesehatan Buya yang telah berusia di atas 80 tahun. Waktu itu, Buya Syafii masih rutin ke Jakarta untuk
menjalankan tugas kenegaraan, baik sebagai anggota Dewan Pengarah Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) maupun anggota Dewan Etik Mahkamah
Konstitusi. Kesempatan itu selalu dimanfaatkan para aktivis Maarif Institute
menemui sang pendiri yang belakangan lebih sering tinggal di kediamannya di
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada beberapa kesempatan, Buya sempat melontarkan
keinginan untuk mengumpulkan artikel-artikelnya yang dipublikasikan di
sejumlah media menjadi sebuah buku. Namun, hingga Buya wafat, 27 Mei 2022,
keinginan itu belum terwujud. Setelah 100 hari Buya meninggal, barulah kumpulan
tulisannya diterbitkan dalam tiga buku berjudul Bulir-bulir Refleksi Seorang
Mujahid yang diterbitkan Kompas, Al-qur’an untuk Tuhan atau untuk Manusia?
diterbitkan Suara Muhammadiyah, serta Indonesia Jelang Satu Abad, Refleksi
tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan diterbitkan Mizan. Ketiga buku
itu diluncurkan secara bersamaan di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis
(27/10/2022). Menurut Rohim, buku-buku yang berisi gagasan Buya
Syafii tersebut perlu disebarluaskan, terutama di kalangan generasi muda.
Sebab, pemikiran Buya selalu relevan dengan kondisi Indonesia. Sebagai calon
pemimpin bangsa, generasi muda perlu memahami sekaligus mewarisi pemikiran
kritis Buya. Dengan begitu, lambat laun akan muncul ”Buya Syafii” baru. Tiga pemikiran Setidaknya ada tiga pemikiran Buya Syafii yang
terangkum dalam ketiga buku tersebut, yakni tentang pemikiran Islam
keindonesiaan, keadilan, dan pemberantasan korupsi. Dalam isu Islam dan
keindonesiaan, Buya Syafii melihat ada upaya-upaya untuk membenturkan
keislaman dengan kebangsaan dan Pancasila. Menurut dia, hal itu bisa
membahayakan kehidupan bangsa. ”Kalau bagi Buya, antara Islam dan keindonesiaan
bukan semacam pilihan ganda, bukan pilih salah satu dan mengabaikan yang
lain. Gagasan Buya adalah secara umum keislaman dan keindonesiaan merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” kata Rohim. Soal isu keadilan, lanjutnya, Buya selalu mengatakan
bahwa mimpi tentang Indonesia yang adil baru bisa terwujud jika tak ada lagi
kemiskinan di Tanah Air. Maka, muncullah ungkapan, sila kelima Pancasila,
yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kini kondisinya yatim
piatu karena keadilan belum sepenuhnya terwujud. Adapun gagasan tentang pemberantasan
korupsi, Buya selalu mendorong siapa pun untuk memerangi korupsi walau harus
berhadapan dengan kawan sendiri. ”Meski pemikiran Buya relevan, gagasannya dianggap
elitis. Maka, Maarif Institute selalu mengarahkan program ke anak muda agar
pemikiran Buya yang dianggap elitis bisa dipahami agar Buya baru lambat laun
bisa muncul,” ujar Rohim. Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo saat
peluncuran dan diskusi buku Ahmad Syafii Maarif mengatakan, sehari setelah
Buya Syafii wafat, halaman depan Kompas berlatar belakang hitam dan
menampilkan tulisan tentang Buya berjudul Nyala Abadi Suluh Bangsa. Hal itu
menggambarkan pikiran Buya Syafii selalu relevan dengan zaman. ”Di hari yang sama, saya menulis di kolom catatan
politik dan hukum berjudul ”Muazin” Bangsa yang Selalu Gelisah. Saya
menangkap Buya selalu gelisah dengan kondisi negara ini, apakah itu soal
keberagaman, korupsi yang terus merajalela, dan keadilan sosial yang terus
menganga di republik,” tuturnya. Menurut Budiman, tulisan-tulisan Buya menjadi
semacam sistem pengingat dini akan bahaya yang mengancam bangsa. Tulisannya
yang mampu menangkap kegelisahan atas kondisi negara ini selalu relevan
dengan zaman. Sepeninggal Buya dan ”muazin” bangsa lainnya,
seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan terakhir Azyumardi Azra,
menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk melahirkan muazin-muazin bangsa
selanjutnya. Muazin bangsa yang bisa menjadi jangkar antara masyarakat sipil
dan partai politik. Pengajar di Universitas Paramadina, Putut Widjanarko,
mengatakan, Buya Syafii sangat mudah dan haus dengan hal-hal baru.
Kata-katanya sangat lugas dan menggambarkan kegeraman yang luar biasa
terhadap kondisi negeri ini. Ia mencontohkan, beberapa kalimat Buya Syafii di
antaranya "Politisi bermental lele, tuna moral"; "Saya akan
memimpin sendiri pemberantasan korupsi adalah sebuah dusta yang
disengaja"; "Inilah sebuah negeri yang dikatakan beragama tetapi
kelakuan warganya alangkah busuknya"; serta "Mungkin Indonesia akan
bubar jika rahim nusantara gagal melahirkan para negarawan dengan wawasan
yang jauh menembus ke depan karena yang berkeliaran adalah politisi rabun
ayam plus pengusaha tuna moral". Selain itu, ada kalimat "Indonesia terlalu
mulai dijadikan ajang pertarungan politik tuna adat dengan membenamkan
Pancasila ke bawah debu sejarah, namun jika yang tampil adalah mereka yang
miskin visi dan tuna moral, kondisi Indnesia yang sudah lama berkubang dalam
dosa dan dusta akan kian rontok, tuna martabat, dan sunyi dari
keadilan". "Buya adalah seorang intelektual organik karena
terlibat dalam upaya-upaya yang serius untuk mentransformasi kita semua, dan
tugas terberat Maarif Institute untuk menyebarkan ini," tutur Putut. Oleh karena itu, sudah semestinya
pemikiran-pemikiran Buya disebarluaskan, terutama kepada generasi muda,
sebagai ikhtiar untuk melahirkan Buya Syafii baru. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/10/29/ikhtiar-melahirkan-buya-syafii-maarif-baru |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar