Jejaring Narkoba
Sabu-Sabu Jenderal Teddy Minahasa Linda Trianita : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
KEPALA Kepolisian RI
Jenderal Listyo Sigit Prabowo baru saja menginjakkan kaki di Denpasar, Bali,
pada Rabu pagi, 12 Oktober lalu. Di sana ia akan menghadiri peringatan dua
dekade bom Bali. Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur
Jenderal Mohammad Fadil Imran mendadak mengirim laporan: anak buahnya
mengendus peran Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal
Teddy Minahasa dalam jaringan sabu-sabu Jakarta. Jenderal Sigit tentu saja
kaget bukan kepalang. Dua hari sebelumnya, ia menerbitkan telegram rahasia
berisi promosi Teddy sebagai Kepala Polda Jawa Timur menggantikan Inspektur
Jenderal Nico Afinta. Nico dianggap lalai menangani pertandingan sepak bola
Arema FC-Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 yang berujung pada tragedi
tragedi Kanjuruhan, kematian 134 Aremania akibat tembakan gas air mata
polisi. Mendapat laporan Fadil
Imran itu, Sigit memerintahkan anak buahnya menelurusi lebih jauh kebenaran
informasi itu. “Kemarin Kepala Divisi Propam sudah diminta memeriksa Irjen
TM,” ujar Sigit di Istana Negara pada Jumat, 14 Oktober lalu. Tapi Teddy tak segera
datang. Ia beralasan sudah mengatur janji dengan dokter gigi pada Kamis pagi.
Lulusan Akademi Kepolisian tahun 1993 itu baru mendatangi Divisi Profesi dan
Pengamanan Polri dan langsung diperiksa pada Kamis malam sekitar pukul 19.00
WIB. Pemeriksaan maraton berlangsung hingga keesokan hari. Pemeriksaan awal
menyimpulkan Teddy melanggar kode etik. Ia langsung ditahan selama 30 hari di
ruang tahanan Divisi Propam sejak Jumat, 14 Oktober lalu. Padahal, pada waktu
yang bersamaan, Presiden Joko Widodo tengah memanggil semua kepala kepolisian
resor dan kepolisian daerah serta pejabat Markas Besar Polri ke Istana
Negara. Teddy, 51 tahun, tak hadir
dalam pertemuan itu. “Irjen TM ditetapkan terduga pelanggar dan dikenai
penempatan khusus,” kata Sigit. Bagaimana
Fadil Imran melaporkan Teddy Minahasa ke Kapolri? Menurut dia, Teddy
menerima hasil penjualan 1 kilogram sabu sebesar Sin$ 241 ribu atau setara
dengan Rp 300 juta beberapa hari sebelum ditangkap. Narkotik tersebut berasal
dari sebagian barang bukti operasi penyitaan 41,4 kilogram sabu di Kepolisian
Resor Bukittinggi pada Mei 2022. Teddy mencomot 5 kilogram untuk dijual lagi. Saat pemeriksaan perdana,
Teddy terlihat percaya diri. Ia yakin tak bersalah. Koordinator Pengamanan
Joko Widodo saat menjadi calon presiden pada 2014 itu juga menyebar
pernyataan tertulis. Ia membantah terlibat perdagangan sabu. “Saya bersumpah
di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa bahwa saya tidak pernah sekali pun
mengkonsumsi narkotik, apalagi menjadi pengedar narkotik,” tulis Teddy. Jenderal Sigit dan Istana
Negara dikabarkan kecele karena telanjur memilih Teddy menggantikan Nico
Afinta. Sigit meneken telegram rahasia promosi Teddy pada Senin malam, 10
Oktober lalu. Esoknya, ia menghadap Presiden Joko Widodo untuk berkonsultasi
tentang pemilihan figur Kepala Polda Jawa Timur pengganti Nico Afinta. Pada
hari yang sama, Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Pusat mulai menangkap
para tersangka jaringan sabu yang diduga terafiliasi kepada Teddy Minahasa. Provinsi Jawa Timur
merupakan salah satu daerah strategis karena jumlah penduduknya yang banyak.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, enggan mengomentari kabar
yang menyebutkan Istana kebobolan atas penunjukan Teddy Minahasa sebagai
Kapolda Jawa Timur. “Untuk isu ini, silakan ditanyakan ke Menteri Polhukam,”
ucap Dini. Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. melalui Instagram pada Ahad,
16 Oktober lalu, menyitir “nasihat” pernyataan Teddy dengan nada menyindir. “Turuti
nasihat yang Mulia Teddy Minahasa Putra yang beredar di publik, tapi jangan
tiru tingkah lakunya,” ujar Mahfud. ••• PERAN Inspektur Jenderal
Teddy Minahasa terungkap setelah “nyanyian” Linda Pujiastuti alias Anita dan
Kepala Bagian Pengadaan Biro Logistik Polda Sumatera Barat Ajun Komisaris
Besar Dody Prawiranegara. Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya meringkus Linda
di rumahnya di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, pada Rabu, 12 Oktober lalu. Pada hari yang sama,
penyidik turut mencokok Dody di rumahnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
“Keterangan D dan L menyebutkan keterlibatan Irjen TM sebagai pengendali
barang bukti 5 kilogram sabu,” tutur Direktur Narkoba Polda Metro Jaya
Komisaris Besar Mukti Juharsa kepada wartawan pada Jumat, 14 Oktober lalu. Penangkapan Anita dan Dody
merupakan pengembangan dari rangkaian operasi tim Satuan Narkoba Polres Metro
Jakarta Pusat sejak 10 Oktober lalu. Sebelum menangkap Dody dan Linda, mereka
menciduk Kepala Kepolisian Sektor Kalibaru, Jakarta Utara, Komisaris Kasranto,
dan anggota Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Barat, Ajun Inspektur Satu
Janto Situmorang, atas kepemilikan 305 gram sabu. Kasranto dan Janto diduga
menjual sabu-sabu kepada Hendra dan Siska melalui Abeng dan anggota Polsek
Kalibaru, Ajun Inspektur Dua Achmad Darmawan. Sebelum menangkap Kasranto dan
Janto, polisi menahan Hendra, Siska, dan Abeng. Peran polisi di jaringan ini
terungkap lewat kesaksian ketiganya. Mendapati banyaknya
personel polisi yang terlibat, Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris
Besar Komaruddin lantas menghadap Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal
Fadil Imran. “Perintah Kapolda untuk menindak tegas dan mengungkap peredaran
sampai ke akarnya,” katanya. Komaruddin menggandeng
Bidang Profesi dan Pengaman Polda Metro Jaya. Komisaris Kasranto mengaku
memperoleh sabu dari Linda alias Anita. Selain menangkap Linda, polisi
menggeledah rumahnya dan menemukan 1 kilogram sabu di lemari dapur. Dari sinilah kongkalikong
itu terungkap. Linda mengaku mendapatkan sabu-sabu itu dari Inspektur
Jenderal Teddy Minahasa lewat Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara. Polisi
juga menggeledah rumah Dody. Mereka menemukan 2 kilogram sabu yang disimpan
di bawah laci kamar tamu di lantai dua rumahnya. Menurut dua perwira tinggi
dan seorang perwira menengah, Anita langsung bicara blakblakan saat
diinterogasi polisi. Ia ditengarai sengaja mengungkap nama Teddy Minahasa
dengan harapan kasus perdagangan sabu ini hanya ditutup sampai figur
Komisaris Kasranto. Namun perkiraan Anita meleset. Kasus ini justru mendapat
atensi khusus dari Irjen Fadil Imran. Kepada penyidik, Anita dan
Dody menjelaskan secara detail bagaimana memperoleh seluruh sabu hingga jatuh
ke tangan Kasranto. Kasus ini bermula ketika Ajun Komisaris Besar Dody yang
masih menjabat Kepala Polres Bukittinggi berhasil menggagalkan penyelundupan
sabu-sabu 41,4 kilogram asal Malaysia pada pertengahan Mei 2022. Anak buahnya
menangkap delapan pelaku dalam kasus ini. Dody melapor kepada Teddy.
Lantaran pengungkapan kasus ini merupakan tangkapan terbesar di wilayah
Sumatera Barat, Teddy datang ke Bukittinggi untuk menghadiri konferensi pers
pada 21 Mei 2022. Keanehan muncul sehari
sebelum Polres Bukittinggi menggelar rilis. Saat itu Teddy menginap di Hotel
Santika. Ia memanggil Dody. Mereka bertemu di dalam kamar hotel. Teddy memerintahkan Dody
menyisihkan 10 kilogram barang bukti sabu. Biasanya, setelah dirilis ke
publik, seluruh sabu yang menjadi barang bukti akan langsung dimusnahkan.
“Mas, itu bisa enggak disisain? Disisihkan,” ujar Teddy kepada Dody. Kepada penyidik, Dody
mengklaim sempat menolak permintaan Teddy. Seusai negosiasi, ia hanya
menjanjikan akan mengambil 5 kilogram sabu. Saat itu seluruh sabu tersimpan
dalam peti kayu di ruangan penyimpanan barang bukti. Pulang dari hotel, Dody
memerintahkan anak buahnya memindahkan seluruh sabu ke ruangannya. Ia
mengajak salah seorang kerabatnya, Samsul Maarif alias Arif. Keduanya
diam-diam mengambil bungkusan berisi 5 kilogram sabu, lalu mengganti isinya
dengan tawas. Dody mengaku tak satu pun
anak buahnya tahu penggelapan sabu itu. Pada hari konferensi pers, seluruh
barang bukti sabu bersama tawas sempat dipajang ke hadapan wartawan. Setelah
selesai, seluruh barang bukti dimasukkan ke peti, lalu dikubur di halaman
Polres. Selama beberapa hari, Teddy meminta Dody menyimpan dadah tersebut. Perdagangan sabu baru
dimulai pada Juni lalu. Linda menghubungi Teddy. Dalam percakapan di akun
WhatsApp tersebut, Linda meminta tiket ke Brunei Darussalam kepada Teddy. Ia
hendak menjual keris antik. Linda adalah sahabat lama
Teddy. Keduanya saling mengenal saat Teddy masih berpangkat ajun komisaris
besar dan bertugas di Satuan Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi
Daan Mogot, Jakarta Barat, pada 2005. Linda juga dikenal sebagai cepu (informan)
yang mengenal banyak anggota kepolisian. Linda menyimpan nomor
telepon Teddy dengan nama “MY JENDRAL”. Dalam obrolan itu, Teddy menyampaikan
memiliki sabu 5 kilogram. “Barang di tangan saya. Kamu jual saja,” kata Teddy
kepada Linda. “Lho gitu, sabune neng ndi (sabunya di mana), Pak?” balas
Linda. Bukti percakapan itu sudah dikantongi penyidik. Teddy memerintahkan Dody
menghubungi Linda. Karena gentar, Dody mengutus Arif untuk menemui Linda. Ia
meminta Arif mengaku sebagai Dody. Percakapan itu berujung agar seluruh sabu
“ilegal” itu dibawa ke Ibu Kota. Pada Kamis, 22 September
lalu, Dody bersama Arif membawa sabu 5 kilogram itu dengan menempuh jalur
darat dari Bukittinggi ke Jakarta. Mereka tiba dua hari berikutnya. Hari itu
pula Dody meminta mengantar 5 kilogram sabu ke rumah Anita di Kedoya. Anita
sempat menolak mereka karena sabu yang akan dijual dianggap terlalu banyak. Teddy meminta Linda
menerima barang titipan tersebut. Linda luluh. Ia menghubungi Komisaris
Kasranto, yang dikenal sejak tahun 2000. “Ini ada barang, Jenderal, mau
enggak?” tutur Anita kepada Komisaris Kasranto. Kepala Polsek Kalibaru itu
menyambut tawaran Anita dan setuju menghargai sabu tersebut Rp 400 juta per
kilogram. Kasranto hanya menyanggupi
membeli 1 kilogram. Awalnya Teddy menolak. Ia berharap sabu itu dijual 5
kilogram sekaligus. Teddy akhirnya setuju sabu tersebut dijual secara eceran.
Tapi pembayaran harus tunai. Linda mengantarkan sabu
itu ke Polsek Kalibaru. Ia menerima Rp 400 juta. Uang itu diserahkan sebanyak
Rp 350 juta kepada Arif yang berpura-pura sebagai AKBP Dody. Linda mengambil
komisi sebesar Rp 50 juta dari transaksi itu. Arif turut mengambil
komisi sebesar Rp 50 juta. Ia menukarkan uang Rp 300 juta menjadi Sin$ 241
ribu. Uang ini lantas diserahkan kepada Dody untuk selanjutnya diteruskan ke
Teddy. Dalam kesaksiannya, Dody
mengatakan Teddy sempat marah karena hanya menerima setoran Rp 300 juta.
Teddy menganggap upah kurir hanya 10 persen dari total harga atau dalam
transaksi ini senilai Rp 40 juta. Teddy kemudian memerintahkan Dody mengambil
sisa sabu sebanyak 4 kilogram dari tangan Linda. Tak berani membantah, Dody
meminta Arif mengambil sisa sabu 4 kilogram dari rumah Anita. Meski sabu
sudah diambil, Arif kembali mengantar lagi 2 kilogram sabu itu kepada Anita
pada 3 Oktober lalu. Kasranto ingin membeli sabu lagi dari Anita. Tapi ia
hanya mengambil 1 kilogram karena cuma mengantongi uang Rp 200 juta. Kasranto menjual sabu
secara eceran. Sampai akhirnya sabu yang tersisa tinggal 305 gram. Saat
itulah ia ditangkap oleh penyidik Polres Metro Jakarta Pusat. Pengacara Teddy Minahasa,
Henry Yosodiningrat, membantah jika kliennya disebut menjual sabu yang
menjadi barang bukti kasus narkotik. Ia mengatakan Teddy menyisihkan sabu
dari Polres Bukittinggi untuk kepentingan dinas. Rencana buyar karena Dody
Prawiranegara dimutasi ke Biro Logistik Polda Sumatera Barat pada awal
Oktober lalu. “Mutasi ini membuat kecewa Kapolres karena ekspektasinya naik
menjadi komisaris besar seiring dengan rencana kenaikan Polres Kota
Bukittinggi menjadi tipe A,” ujar Henry pada Rabu, 19 Oktober lalu. Henry mengklaim penjualan
sabu melalui Anita itu sebagai bagian dari undercover dan delivery control
alias operasi penjebakan. “Supaya nanti Kapolres dapat prestasi lagi,”
ucapnya. Teddy, kata Henry, mengaku tak tahu ihwal wujud sabu yang disisihkan
itu. Ia bahkan tak tahu jumlah beratnya. Teddy tak membantah jika
disebut mengenalkan Dody kepada Linda. Teddy juga mengaku pernah sakit hati
kepada Linda. Teddy menuding Linda pernah memberi informasi yang salah
mengenai rencana penyelundupan narkotik sebanyak 2 ton melalui jalur laut. Teddy mengatakan sudah
menghabiskan uang pribadi sebesar Rp 20 miliar untuk berburu penyelundup
narkotik itu di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. “Saya merugi. Ketika dia
menghubungi minta biaya operasional ke Brunei untuk jual keris pusaka, tidak
saya berikan. Saya tawarkan berkenalan dengan Kapolres Bukittinggi karena
yang bersangkutan ada barang sitaan narkoba,” ujar Teddy dalam rilisnya. Pengacara Ajun Komisaris
Besar Dody Prawiranegara, Adriel Viari Purba, menuding Teddy Minahasa sebagai
otak rentetan peristiwa perdagangan sabu itu. Dia membenarkan jika Dody
disebut sempat menolak perintah Teddy untuk menyisihkan seperempat dari 41,4
kilogram sabu yang menjadi barang bukti. “Pihak TM tetap mendesak dan
akhirnya dia terima menjalankan perintahnya agar loyal. Makanya dia meminta
Arif, tangan kanannya, sampai menukar tawas dengan sabu,” tutur Adriel. Atas berbagai perbuatan
buruk anak buahnya, dari polisi rendahan hingga jenderal seperti Teddy
Minahasa dan Ferdy Sambo dalam pembunuhan ajudannya, Kepala Polri Jenderal
Listyo Sigit Prabowo mengatakan saat ini Korps Bhayangkara dalam proses
pemurnian menjadi emas 24 karat. “Kita sedang diayak, kita sedang disaring,”
ujar Sigit di akun Instagram pada Kamis, 20 Oktober lalu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar