Selamat
Hari Raya Sumpah Pemuda Hubbi S Hilmi : Dosen di
Universitas Khairun Ternate; Mahasiswa Doktoral Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta. |
KOMPAS, 28 Oktober 2022
Sembilan
puluh empat tahun yang lalu, M Tabrani dengan gempita mengusulkan satu nama
bahasa sebagai simpul bangsa. Sembilan puluh empat tahun yang lalu pula M
Tabrani beradu argumen dengan M Yamin yang juga berusul satu nama bahasa yang
lain sebagai perekat bangsa. M Yamin kekeuh dengan nama bahasa Melayu,
sementara M Tabrani kukuh dengan nama bahasa Indonesia. Bukan
tanpa alasan, M Tabrani memiliki logika yang teguh perihal pengusulan nama
bahasa persatuan. Ia berlandaskan pada dua ikrar dalam Sumpah Pemuda, yakni
bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia dan berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia. Jika Tanah Air dan bangsa menjadi Tanah Air Indonesia dan
berbangsa Indonesia, seharusnya bahasa pun menjunjung tinggi bahasa yang
satu, yakni bahasa Indonesia. Pun
M Yamin, bukanlah tanpa alasan, bahasa Melayu diusulkan karena kala itu
merupakan basantra (bahasa perantara) yang digunakan di seantero Nusantara.
Perseteruan keduanya telah tercatat mengiringi munculnya kelahiran bahasa
persatuan. Tepat pada 28 Oktober 1928, mereka dan para pemuda yang lainnya
menyepakati satu bahasa sebagai bahasa persatuan bangsa, bahasa Indonesia. Perjalanan
bangsa dan bahasa Indonesia tak lepas dari segala bentuk perseteruan.
Perseteruan para intelektual bangsa dalam upaya menyatukan bangsa dan
mengusir para penjajah. Perdebatan demi perdebatan tentu tak bisa dihindari,
tetapi tentulah perdebatan yang sangat sehat, selayaknya para pemuda yang
berbudi luhur nun arif. Lihatlah
sikap para pemuda yang berikrar pada 94 tahun yang lalu itu, mereka dengan
lapang dada melepaskan segala kepentingan kelompoknya, melepaskan identitas
kesukuannya demi satu, bangsa yang bersatu dan yang merdeka. M Yamin menjadi
satu dari sekian banyak pemuda yang memilih menanggalkan keinginannya,
memilih mengalah untuk menang dan menyetujui usul yang digagas M Tabrani
sehingga lahirlah bahasa yang kita pakai sekarang sebagai bahasa persatuan
bangsa, bahasa Indonesia. Perjalanan
bahasa Indonesia hingga hari ini panjang dan rumit, sejumlah perubahan ejaan
pernah dilaluinya. Mulai sebelum merdeka hingga tiba di era dunia maya.
Sejarah mencatat, sebelum merdeka bahasa Indonesia mengenal ejaan yang
dikenal dengan nama Ejaan Van Ophuijsen. Lalu setelah merdeka, penyempurnaan
terus dilakukan, mulai dari Ejaan Republik atau juga dikenal dengan Ejaan
Soewandi, lalu diubah lagi menjadi Ejaan Pembaharuan. Tepat
pada 1961, ejaan bahasa Indonesia diubah lagi menjadi Ejaan Melindo, lalu
diganti lagi menjadi Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan Kesastraan (LBK). Pada
1972 ejaan bahasa Indonesia diubah lagi menjadi Ejaan yang Disempurnakan
(EYD), EYD diubah lagi menjadi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) sejak 2015. Pada
2022 ejaan dalam bahasa Indonesia sepertinya belum berhenti berubah, ia
kembali menjadi EYD. Jalan
yang panjang telah dilalui bahasa Indonesia hingga sampai pada titik ini.
Mulai dari penggagasannya hingga penyempurnaan ejaan di dalamnya. Gempuran
modernisasi juga tak luput menguji kekukuhan bahasa Indonesia. Mulai dari
gempuran bahasa asing dan terutama melalui terkikisnya kesadaran para
penuturnya di era digital. Era digital menawarkan tempat berguyub baru bagi
seantero masyarakat penutur bahasa, begitu juga dengan para penutur bahasa
Indonesia, tempat tersebut kita kenal dengan nama media sosial. Saban
hari, para penutur bahasa di Indonesia sangat kerap berkomunikasi melalui
media sosial. Media sosial menjelma ruh bagi para manusia. Kita tak pernah
bisa lepas darinya, bahkan sebangun dari lelap, media sosial menjadi tempat
pertama yang kita kunjungi. Dalam
bermedia sosial inilah kita sangat sering berkhianat kepada para pemuda yang
berikrar 94 tahun yang lalu, tepat pada 28 Oktober melalui Sumpah Pemuda.
Kita saban hari juga secara sadar saling mencerca dan menghina, saling
menyalahkan, tercerai berai menjadi sejumlah kelompok menggunakan bahasa
Indonesia. Padahal bahasa Indonesia yang kita gunakan tersebut dilahirkan
untuk mempersatukan perbedaan. Kita
juga tak pernah benar-benar serius berbangga berbahasa Indonesia, apalagi
dalam dunia maya. Semisalnya saja pada postingan di media sosial yang kerap
kita bubuhi dengan sejumlah kutipan. Kita lebih memilih menyebut hal itu
dengan sebutan caption. Ketika kita mendapati seorang kenalan baru di dunia
nyata, hal yang wajar kita lakukan ialah meminta akun media sosialnya. Lalu
dengan semangat kita berucap sudah ku follow ya, dan dengan gempita kita juga
berucap, follback ya kakak. Atau
agar lebih mudah mendapat perhatian pengguna lain di media sosial, kita
selalu memilih mengucap tambahkan hastag dalam postingan kita di media
sosial. Ketika kita hendak mempromosikan video-video kreatif kita, kita
selalu berseloroh gembira dengan ucapan jangan lupa subscribe, like, dan
share ya chanel Youtube ini. Tak
ada yang salah memang karena bahasa merupakan sebuah kesepakatan. Akan
tetapi, apa pernah kita sekadar membayangkan usaha dan upaya para pemuda 94
tahun yang silam di bulan Oktober itu? Apa pernah terbayang usaha dan upaya
mereka menyisihkan kedaerahannya demi bahasa persatuan kita? Apa
pernah kita membayangkan mereka yang bukan hanya berjuang raga melawan
penjajah, juga berjuang melawan diri mereka sendiri, melawan identitas mereka
sendiri? Juga bersusah payah berjuang melahirkan ide-ide brilian demi
mempersatukan bangsa dengan bahasa? Apa pernah terbayang betapa rumit dan
lelahnya para ahli bahasa menyempurnakan ejaan bahasa Indonesia dari waktu ke
waktu? Sejatinya,
sejumlah bahasa asing yang selalu kita gunakan dalam pergaulan media sosial
tersebut telah mendapat padanan dalam bahasa Indonesia. Semisal kata takarir
untuk mengganti kata caption, kata mengikuti untuk padanan kata follow, lalu
mengikuti balik untuk kata follback yang merupakan akronim dari follow back. Padanan
lain dalam bahasa Indonesia untuk hastag pun telah ada, yakni dengan menyebut
kata tagar. Begitu juga dengan subscribe yang telah dipadankan dalam bahasa
Indonesia menjadi berlangganan. Istilah like juga memiliki padanan menjadi
suka, begitu pula dengan istilah share yang memiliki padanan bagikan, serta
istilah chanel yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, yakni kanal. Bahasa
memang sebuah kesepakatan, tetapi jangan lupa juga bahasa Indonesia merupakan
warisan yang mesti dijaga. Bahasa Indonesia yang luhur telah mempersatukan
segenap perbedaan seantero Nusantara. Jadi apa salahnya jika kita
menghabituasikan berbangga berbahasa Indonesia di ruang maya? Seorang
bijak pernah berucap bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai
jasa para pahlawannya. Adanya bahasa Indonesia saat ini ialah berkat mereka
yang telah kukuh berjuang dan memperjuangkannya. Jangan melupa, kita bersatu
dalam perbedaan hanya dengan bahasa Indonesia. Selamat hari raya Sumpah
Pemuda. Tabik. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/selamat-hari-raya-sumpah-pemuda |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar