Minggu, 06 Juni 2021

 

Tirani Sapiens

Roy Martin Simamora ; Dosen PSP ISI Yogyakarta; Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan

KOMPAS, 06 Juni 2021

 

 

                                                           

Yuval, dalam bukunya, Sapiens, berbicara tentang sejarah umat manusia yang kalau boleh saya gambarkan dalam tiga kalimat pendek. Tiga revolusi besar, yaitu Revolusi Kognitif yang terjadi 70.000 tahun yang lalu, Revolusi Pertanian 10.000 tahun yang lalu, dan Revolusi Ilmiah 500 tahun yang lalu.

 

Revolusi-revolusi ini telah memberdayakan manusia untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh bentuk kehidupan lain sebelumnya, yaitu menciptakan dan menghubungkan ide-ide yang dibuat (tentang agama, uang, internet, ideologi, kapitalisme, ataupun politik) dan tanpa sadar selalu dibicarakan. ”Mitos” bersama ini telah memungkinkan manusia untuk mengambil alih dunia dan menempatkan umat manusia di ambang bagaimana mengatasi kekuatan seleksi alam dan bertahan hidup. Ketiga revolusi tersebut telah memengaruhi manusia dan sesama organisme hingga kini.

 

Dahulu, manusia adalah hewan tidak penting, tidak lebih berdampak dan mengesankan daripada gorila, kunang-kunang, atau ubur-ubur. Dari sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 10.000 tahun yang lalu, banyak spesies manusia menjelajahi bumi bersama-sama dan membentuk kelompok dalam skala kecil dan besar.

 

Penggambaran manusia yang berevolusi dari membungkuk menjadi tegak secara keliru menampilkan evolusi manusia sebagai lintasan linier. Faktanya, spesies tersebut hidup secara bersamaan. Sejumlah besar manusia pada waktu itu kemudian berkolaborasi dengan berbagi mitos dan membentuk kepercayaan yang sama.

 

Dalam lingkungan akademis, cerita-cerita yang dibangun dikenal sebagai imaji, fiksi, konstruksi sosial, atau realitas khayalan. Realitas khayalan bukanlah kebohongan karena seluruh kelompok justru memercayainya dan mereka mulai menyebarkan cerita dari sudut ke sudut; dari kelompok ke kelompok yang lain.

 

Sejak Revolusi Kognitif, manusia hidup dalam realitas ganda: realitas fisik dan realitas yang dibayangkan. Cara manusia bekerja sama dapat diubah dengan cara mengubah cerita sebagai mitos yang diceritakan kepada manusia yang lain. Mengubah mitos berarti mengubah peradaban.

 

Gagasan itu tak pernah berhenti sampai di sana. Untuk mengatur tatanan dalam kelompok, dibuat aturan-aturan yang mengatur kehidupan sesama manusia: ideologi, demokrasi, produk hukum, undang-undang, serta aspek-aspek lain yang mengatur kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya hierarki sosial, ketimpangan, dan sebagainya adalah ciptaan manusia.

 

Dari gagasan-gagasan itulah muncul kelompok-kelompok pengendali dan suka memerintah. Dari kelompok memerintah dan pengendali itu lahirlah para kaum tiran. Para tiran terkadang dapat dengan mudah naik ke tampuk kekuasaan dengan gelombang dukungan populer dan dipilih oleh orang-orang yang takut sehingga mereka bersedia menyerahkan hak mereka dengan suatu imbalan, keamanan, atau perang.

 

Masyarakat yang bijak akan menetapkan batasan pada apa yang boleh dilakukan oleh ”tirani mayoritas,” untuk mempertahankan hak-hak itu meskipun orang-orang takut atau marah. Siklus tertindas menjadi penindas dan sebaliknya, hanya menciptakan sistem di mana tidak ada yang aman. Kita hanya perlu berkaca pada gagasan-gagasan manusia dengan melihat pertarungan revolusioner dan kontra-revolusioner dari kekerasan sektarian dan sekuler; kaum kiri dan kanan.

 

Revolusi dan evolusi berjalan beriringan. Manusia kini berubah menjadi makhluk pemburu berorientasi kelompok, pembangun peradaban, pengeksploitasi sekaligus perusak alam dan lingkungan. Manusia kemudian mendominasi atau menghancurkan setiap hewan, sumber daya, dan keadaan yang kita temui hari ini.

 

Manusia memelajarinya ketika jumlah mereka sedikit dan sangat rentan terhadap serangan dari spesies lain atau perubahan lingkungan fisik. Manusia belajar sejak awal bahwa upaya kerja sama akan membawa dampak yang baik: kesuksesan adalah kuncinya. Bahkan, makhluk terkuat seperti: paus, gajah, harimau, dan beruang dapat dikendalikan, diburu, dibunuh, dan dimakan oleh kelompok manusia yang bekerja untuk tujuan bersama.

 

Manusia telah berburu dan mengganggu banyak spesies hingga di ambang kepunahan dan seterusnya. Kemampuan manusia untuk bekerja sama demi kebaikan dan kejahatan telah memungkinkan manusia menjadi mamalia paling banyak, mendominasi, rakus, dan paling berbahaya di muka Bumi. Kemampuan ini sangat bermanfaat bagi mereka sehingga telah menjelma ke dalam makhluk fisik dan psikologis yang keluar dari hutan dan sabana: asal kita berjalan, berlayar, dan terbang mengelilingi seluruh Bumi.

 

Manusia, saya gambarkan sebagai makhluk yang tidak pernah puas dan lamat-lamat kehilangan altruismenya. Spesies yang terus-menerus melakukan upaya-upaya menguntungkan dan sekaligus merugikan sesamanya. Upaya kerja sama manusia yang paling dominan adalah menyerang dan mengeksploitasi spesiesnya setelah menghancurkan ekosistem spesies lain.

 

Dorongan untuk melakukannya berada jauh di dalam diri spesies ini dan tidak akan segera berubah begitu saja. Dorongan ini adalah akar dari tirani itu sendiri. Dorongan untuk menguasai segalanya. Dorongan untuk memuaskan hasrat hominidnya.

 

Sejarah kesuksesan Sapiens sebagai spesies unggul dalam upaya kerja sama, memiliki sisi yang sangat gelap dan membuat kita selalu curiga dan bahkan tidak toleran terhadap ketidaksesuaian. Manusia menghargai sesamanya yang melakukan apa yang mereka maui, dan mengucilkan mereka yang tidak menghargainya.

 

Manusia menentang yang berseberangan dengan mereka, dan mendukung yang mengikuti perilaku mereka, meskipun itu buruk sekalipun. Ketika manusia memiliki kekuatan untuk melakukannya, manusia biasanya akan memaksakan kepatuhan bahkan kekerasan jika itu diperlukan. Manusia melakukannya dengan kekuatan utama, dengan sistem hukum yang dibuat sendiri, dan dengan konvensi sosial yang meliputi setiap aspek hubungan satu sama lain sebagai spesies yang sama.

 

Sapiens bersikap toleran terhadap orang-orang yang berpenampilan, berbicara, dan berpikir berbeda, bukan karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan, tetapi karena itu adalah keuntungan evolusioner. Maka dari itu, toleransi bukanlah ”cap” dari Sapiens.

 

Di zaman modern, perbedaan kecil dalam hal warna kulit, dialek, atau agama sudah cukup untuk mendorong satu kelompok manusia untuk memusnahkan kelompok lain. Sapiens unjuk kekuatan dalam bentuk perang dan hal itu masih berlangsung hingga saat ini.

 

Saya membayangkan: akankah Sapiens purba lebih toleran terhadap spesies manusia yang sama sekali berbeda dengan mereka? Mungkin saja, saat Sapiens bertemu Neanderthal, hasilnya adalah kampanye pembersihan etnis pertama dan paling signifikan dalam sejarah.

Tidak ada keadilan dalam sejarah umat manusia. Manusia selalu terjebak dalam lingkaran setan. Lingkaran setan yang berlangsung selama berabad-abad dan bahkan ribuan tahun, mengabadikan hierarki yang dibayangkan muncul dari peristiwa sejarah yang kebetulan.

 

Diskriminasi lebih sering menjadi lebih buruk seiring berjalannya waktu. Uang adalah uang; perang adalah perang; dan kemiskinan adalah kemiskinan. Orang-orang memerlukan pendidikan, maka mereka menghabiskan waktu untuk belajar di sekolah.

 

Lalu, apa yang didapat? Apa manfaatnya jika manusia masih bertengkar? Manusia tidak pernah bisa menghilangkan ketidakadilan dan diskriminasi. Mereka yang pernah menjadi korban sejarah kemungkinan besar akan menjadi korban lagi.

 

Dan, orang-orang yang memiliki hak istimewa lebih mungkin untuk mendapatkan hak istimewa lagi di periode berikutnya. Bahkan, orang-orang yang punya masa lalu kelam, disensor dan tidak istimewa sekali pun lebih mungkin mendapatkan hak istimewa untuk memerintah spesiesnya.

 

Tidak ada cara untuk menghindari interaksi dengan orang-orang yang berbeda dari kita di dunia sekarang ini, dan kita tidak bisa hanya bertengkar dengan semua orang yang tidak cocok dengan kita. Manusia tinggal memilih. Melakukan kesepakatan perdagangan, tertinggal dari aliansi, dan tertinggal secara ekonomi, atau mati kelaparan.

 

Manusia yang menciptakannya dan mereka juga yang harus memilihnya. Dan, itu berlaku tidak hanya secara internasional, tetapi juga secara internal. Kelompok A menyetujui hal-hal penting sementara berbeda pendapat dalam hal lain jauh lebih kuat daripada kelompok B yang sepenuhnya homogen yang mudah termakan oleh kemurnian dan kesesuaian sehingga mereka tidak punya waktu untuk bersaing.

 

Manusia telah jatuh ke dalam jurang yang dalam dan mungkin tak akan bisa diselamatkan. Manusia memiliki kesempatan untuk menganiaya siapa pun yang menghalanginya atas kebutuhan dan keinginan mereka dan mereka yang ditindas akan selalu menolaknya sebisa mereka—itu pun kalau mereka mampu melawannya. Realitas sosial hari ini berada pada wilayah abu-abu bahkan cenderung gelap.

 

Coba sejenak melihat: kebanyakan orang kaya menjadi kaya karena mereka dilahirkan dalam keluarga kaya. Kebanyakan orang miskin menjadi miskin karena mereka dilahirkan dalam keluarga miskin. Diskriminasi yang tidak adil sering kali semakin buruk dan tidak membaik seiring berjalannya waktu.

 

Ketika manusia sampai pada diskursus ketidaksetaraan jender: biologi memungkinkan, budaya melarang. Ide tentang perilaku ”tidak wajar” dan ”abnormal” sebenarnya adalah hasil dari konstruksi sosial dan teologi, bukan biologi. Jika secara biologis memungkinkan, itu wajar. Dari sudut pandang ilmiah, hubungan seks dua manusia berbeda jenis kelamin itu sangat wajar. Bagaimana apabila dua jenis kelamin yang sama melakukan seks?

 

Perdebatan kaum awam, kaum terdidik, kaum ilmuwan berbeda dalam menyikapinya. Kaum awam yang tidak punya kompetensi menjelaskan peristiwa lebih memungkinkan untuk didengarkan ketimbang kaum ilmuwan. Selain itu, pertanyaan demi pertanyaan juga melesat dalam kepala: mengapa laki-laki lebih dihargai di banyak budaya daripada perempuan?

 

Semua budaya manusia dipenuhi dengan ketidakkonsistenan dan tidak boleh ditentang. Di sisi lain, suatu bangsa memiliki ideologi pemersatu dan di dalamnya termaktub cita-cita serta pandangan hidup bangsa, namun, cita-cita ini tidak selalu berjalan dengan baik.

 

Sekarang manusia telah masuk pada era Revolusi Industri 4.0 dan badai Covid-19 masih berlangsung. Manusia sudah menjadi ”dewa” atas bumi. Kisah Sapiens mungkin akan segera berakhir karena manusia telah melampaui batas dalam dirinya. Melalui sains dan teknologi mereka memiliki kekuatan dan kecerdasan untuk menjadi ”dewa” dan menciptakan kehidupan buatan baru dan menciptakan kembali diri mereka sendiri.

 

Sapiens adalah ”dewa baru”. Mereka adalah Homo Deus. Masa depan mereka bukanlah manusia, bertransisi ke sesuatu yang baru: transhuman. Penggabungan biologi dengan teknologi baru (seperti nano-teknologi, genetik, atau berbasis data dan informasi) untuk meningkatkan kualitas hidup, umur panjang, atau kemampuan individu manusia sangat memungkinkan untuk dilakukan. Manusia sedang menuju ke sana, berevolusi, dan tirani Sapiens akan terus berlanjut. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar