Senin, 07 Juni 2021

 

Ironi Kepemimpinan

Ignasius Triyana ; Mengajar Kepemimpinan di ASMI Santa Maria Yogyakarta

KOMPAS, 06 Juni 2021

 

 

                                                           

“Death is the solution to all problems. No man-no problem.” (Joseph Stalin)

 

Setiap insan ingin hidup bahagia. Pemimpin hadir untuk menjaga hidup bersama. Pemimpin dibutuhkan supaya setiap pribadi terlindungi hidup dan asanya. Hormat dan loyalitas diberikan kepada pemimpin karena pengorbanannya.

 

Namun, perjalanan historis menunjukkan deviasi fakta. Pemimpin justru kadang menjadi kendala bagi manusia, membuyarkan tatanan, dan melanggar sumpah janji. Dunia mencatat Hitler, Stalin, Musolini sebagai diktator. Semula, tentu mereka adalah para penjaga utama di negaranya. Korban kediktatoran pun berjatuhan dalam jumlah jutaan manusia.

 

Dari laman KPK, hingga tahun 2020 tercatat 274 anggota DPR/DPRD, 28 kepala lembaga/kementerian, 21 gubernur, 122 wali kota/bupati dan wakil, dan 230 eselon I/II/III tersangkut tindak pidana korupsi. Mirip kediktatoran, korupsi meniadakan manusia dari hak dan keberadaannya.

 

Diktator, koruptor, dan demagog politik menempatkan orang lain (rakyat) sebagai anonim, tak berarti, dan sekadar jumlah angka. Mereka mengucap janji integritas mulia sebelum memangku amanah jabatan. Pun mereka berpidato tentang kesejahteraan, visi kerakyatan, serta etika. Code of conduct menjadi buku sakunya. Padahal, sejatinya pemimpin adalah fasilitator utama bagi terwujudnya eudaimonia, kebahagiaan manusia.

 

”Ad hominem”

 

Membicarakan kepemimpinan berarti membicarakan orangnya, sosoknya, mentalitasnya, dan perilakunya. Seorang pemimpin (pejabat) dipilih atau diangkat karena dipandang memiliki kelebihan dibandingkan dengan lainnya. Tetapi, ”dalamnya lautan dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu” berlaku nyata.

 

Pemimpin adalah sponsor utama pencapaian cita-cita besar dan luhur. Ironi atau paradoks perilaku pemimpin dalam rupa abusive (kekerasan/kasar), deceptive (menipu/tidak dapat dipercaya), aversive (permusuhan) tidak terjadi dalam ruang kosong, tetapi karena dalam kelindannya sejumlah faktor. Seperti digambarkan oleh Chandler (2009), terjadinya unethical leadership (kepemimpinan yang tidak etis) karena interaksi tiga elemen, yaitu pemimpin, pengikut, dan konteks situasi.

 

Pusaran angin badai menjadi analogi terjadinya kepemimpinan yang buruk. Pemimpin yang hendaknya menjadi tumpuan harapan justru menjadi sumber porak porandanya kehidupan bersama. Pemimpin digambarkan sebagai putaran angin, pengikut adalah pertemuan suhu ekstrem, serta kondisi atmosfer menggambarkan konteks situasi kepemimpinan.

 

Elemen pemimpin mencakup aspek intrapersonal dan interpersonal. Kehidupan masa lalu, sudut pandang, nilai yang diyakini, serta cara berelasi dengan orang lain menentukan kualitas pribadi pemimpin. Elemen pengikut meliputi konsep diri, kebebasan mendeterminasi diri, nilai yang diyakini, dan identitas sosial yang dimiliki. Sementara elemen konteks situasi meliputi kejelasan, ketegasan, dan budaya akuntabilitas.

 

Angin badai kepemimpinan terjadi ketika secara sinergis tiga elemen tersebut berputar konvergen, yang diawali adanya ”pemicu” (trigger). Pemicu menjadi pembisik yang meluncurkan terjadinya perilaku tidak etis, tanpa hambatan, serta meluas dampaknya.

 

Semua elemen hendaknya memenuhi syarat agar tidak terjadi kepemimpinan yang buruk. Pengikut perlu dididik dan sistem kehidupan bersama disempurnakan. Pemimpin tidak bisa menyalahkan situasi. Dirinyalah kendali subyek penentu peristiwa. Ketika semua unsur kondusif bagi pelanggaran etis, harapan hanya ada pada kualitas pemimpin.

 

Kualitas kepemimpinan sejalan dengan fase eksistensi manusia. Filsuf Kierkegaard (1988) menyatakan tiga tahap manusia, mengejar kenikmatan (aesthetic), dikendalikan oleh norma sosial (ethical), dan yang dikendalikan secara penuh oleh Sang Pencipta (religious). Freud (2013) membagi dalam fase id, ego, dan superego.

 

Hendaknya, pemimpin sudah berada atau berorientasi pada tingkatan yang tertinggi. Menjadi manusia yang tidak lagi berpusat pada ”saya” atau ”kami”, tetapi ”kita”. Orang yang sudah tidak cemas dengan nasib dirinya, yang sudah selesai dengan dirinya. Bagaimanapun, dorongan kepentingan diri (selfish), yang disembunyikan sedalam apa pun, tetap akan tecermin pada perilaku.

 

Mencermati pemicu

 

Perhelatan besar politik masih cukup lama. Namun, kini mulai terasa menghangatnya udara perpolitikan Indonesia. Pesta demokrasi tahun 2024 dapat menjadi pemicu perilaku kepemimpinan, mengubah haluan perhatian, dan menggeser komitmen. Konsistensi pada janji dan integritas moral para pemimpin diuji oleh hasrat peluang kekuasaan.

 

Akankah fokus cita-cita bangsa dan hak-hak rakyat ditelikung para pencari kuasa. Bangsa ini butuh domba asli, bukan serigala berbulu domba. Soliditas dan sinergitas antarkomponen merupakan kondisi mutlak bangsa. Bila para (calon) pemimpin mengingkari kesejatiannya, maka angin badai kepemimpinan yang akan terjadi. Ujungnya, agenda penting bangsa terlupa, rakyat merana, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi taruhannya.

 

Kini, seisi Nusantara menanti kehendak para pemimpinnya untuk mengembuskan angin kesejukan yang menumbuhkan harapan. Dunia baru saja mendapatkan teladan angin segar dari bertemunya dua tokoh, Imam Besar Ahmed Al-Tayeb dan Paus Fransiskus. Ketika kekerasan merebak di pelbagai penjuru, dua pemimpin dunia ini hadir.

 

Sebuah upaya orisinil menyikapi terpaan kekerasan. Memang tidak serta-merta menuntaskan persoalan. Namun, upaya yang dilandasi ketulusan dan nirkepentingan diri akan memberikan percikan harapan. Menawarkan cara bersikap alternatif.

 

Melihat dari sudut pandang yang berbeda. Itulah contoh model angin segar sebagai buah dari mentalitas pemimpin etis, yang pusat eksistensinya adalah kebajikan. Seperti yang dikutip oleh Barbara Kellerman dalam The End of Leadership (2012), Confucius dan Plato memiliki kesamaan pandangan mengenai pemimpin yang ideal, yaitu memiliki virtuous.

 

Confucius menyebut pemimpin ideal sebagai gentlemen, yang memiliki lima harta karun. Kelima harta itu adalah: murah hati tanpa harus memberi, membuat orang bekerja tanpa merasa kesakitan, memiliki ambisi tanpa rakus, punya kuasa tetapi tidak arogan, dan berada di belakang tetapi tidak dengki.

 

Plato membayangkan pemimpin ideal seperti raja yang filsuf, yang dipenuhi kebijaksanaan. Pemimpin sejati menyikapi ”pemicu” bukan untuk memuaskan egosentrisnya, ”mumpung ada kesempatan”. Sebaliknya, justru ”pemicu” persoalan diurai dan diredakannya.

 

Terhadap siapa pun yang memandang diri—terlebih yang dipilih— sebagai pemimpin, paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan renungan. Pertama, inti sari kepemimpinan adalah kebajikan yang mengandung konsekuensi pengorbanan. Kedua, kekuasaan adalah amanah yang berarti sebuah mandatory. Ketiga, refleksikan legacy yang akan ditinggalkan supaya kebahagiaan dapat dirasakan oleh semua.

 

Jadi, pemimpin pun tetap merasakan kebahagiaan karena memang telah selesai dengan dirinya. Bukan gelisah dengan citra, memutarbalikkan kata dan fakta. Secara sederhana, memimpin berarti menjunjung harkat manusia sejak dari pikiran. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar