Ironi
Kepemimpinan Ignasius Triyana ; Mengajar
Kepemimpinan di ASMI Santa Maria Yogyakarta |
KOMPAS, 06 Juni 2021
“Death
is the solution to all problems. No man-no problem.” (Joseph Stalin) Setiap insan ingin hidup
bahagia. Pemimpin hadir untuk menjaga hidup bersama. Pemimpin dibutuhkan
supaya setiap pribadi terlindungi hidup dan asanya. Hormat dan loyalitas
diberikan kepada pemimpin karena pengorbanannya. Namun, perjalanan historis
menunjukkan deviasi fakta. Pemimpin justru kadang menjadi kendala bagi
manusia, membuyarkan tatanan, dan melanggar sumpah janji. Dunia mencatat
Hitler, Stalin, Musolini sebagai diktator. Semula, tentu mereka adalah para
penjaga utama di negaranya. Korban kediktatoran pun berjatuhan dalam jumlah
jutaan manusia. Dari laman KPK, hingga
tahun 2020 tercatat 274 anggota DPR/DPRD, 28 kepala lembaga/kementerian, 21
gubernur, 122 wali kota/bupati dan wakil, dan 230 eselon I/II/III tersangkut
tindak pidana korupsi. Mirip kediktatoran, korupsi meniadakan manusia dari
hak dan keberadaannya. Diktator, koruptor, dan
demagog politik menempatkan orang lain (rakyat) sebagai anonim, tak berarti,
dan sekadar jumlah angka. Mereka mengucap janji integritas mulia sebelum
memangku amanah jabatan. Pun mereka berpidato tentang kesejahteraan, visi
kerakyatan, serta etika. Code of conduct menjadi buku sakunya. Padahal,
sejatinya pemimpin adalah fasilitator utama bagi terwujudnya eudaimonia,
kebahagiaan manusia. ”Ad
hominem” Membicarakan kepemimpinan
berarti membicarakan orangnya, sosoknya, mentalitasnya, dan perilakunya.
Seorang pemimpin (pejabat) dipilih atau diangkat karena dipandang memiliki
kelebihan dibandingkan dengan lainnya. Tetapi, ”dalamnya lautan dapat diduga,
dalamnya hati siapa tahu” berlaku nyata. Pemimpin adalah sponsor
utama pencapaian cita-cita besar dan luhur. Ironi atau paradoks perilaku
pemimpin dalam rupa abusive (kekerasan/kasar), deceptive (menipu/tidak dapat
dipercaya), aversive (permusuhan) tidak terjadi dalam ruang kosong, tetapi
karena dalam kelindannya sejumlah faktor. Seperti digambarkan oleh Chandler
(2009), terjadinya unethical leadership (kepemimpinan yang tidak etis) karena
interaksi tiga elemen, yaitu pemimpin, pengikut, dan konteks situasi. Pusaran angin badai
menjadi analogi terjadinya kepemimpinan yang buruk. Pemimpin yang hendaknya
menjadi tumpuan harapan justru menjadi sumber porak porandanya kehidupan
bersama. Pemimpin digambarkan sebagai putaran angin, pengikut adalah
pertemuan suhu ekstrem, serta kondisi atmosfer menggambarkan konteks situasi
kepemimpinan. Elemen pemimpin mencakup
aspek intrapersonal dan interpersonal. Kehidupan masa lalu, sudut pandang,
nilai yang diyakini, serta cara berelasi dengan orang lain menentukan
kualitas pribadi pemimpin. Elemen pengikut meliputi konsep diri, kebebasan
mendeterminasi diri, nilai yang diyakini, dan identitas sosial yang dimiliki.
Sementara elemen konteks situasi meliputi kejelasan, ketegasan, dan budaya
akuntabilitas. Angin badai kepemimpinan
terjadi ketika secara sinergis tiga elemen tersebut berputar konvergen, yang
diawali adanya ”pemicu” (trigger). Pemicu menjadi pembisik yang meluncurkan
terjadinya perilaku tidak etis, tanpa hambatan, serta meluas dampaknya. Semua elemen hendaknya
memenuhi syarat agar tidak terjadi kepemimpinan yang buruk. Pengikut perlu
dididik dan sistem kehidupan bersama disempurnakan. Pemimpin tidak bisa
menyalahkan situasi. Dirinyalah kendali subyek penentu peristiwa. Ketika
semua unsur kondusif bagi pelanggaran etis, harapan hanya ada pada kualitas
pemimpin. Kualitas kepemimpinan
sejalan dengan fase eksistensi manusia. Filsuf Kierkegaard (1988) menyatakan
tiga tahap manusia, mengejar kenikmatan (aesthetic), dikendalikan oleh norma
sosial (ethical), dan yang dikendalikan secara penuh oleh Sang Pencipta
(religious). Freud (2013) membagi dalam fase id, ego, dan superego. Hendaknya, pemimpin sudah
berada atau berorientasi pada tingkatan yang tertinggi. Menjadi manusia yang
tidak lagi berpusat pada ”saya” atau ”kami”, tetapi ”kita”. Orang yang sudah
tidak cemas dengan nasib dirinya, yang sudah selesai dengan dirinya.
Bagaimanapun, dorongan kepentingan diri (selfish), yang disembunyikan sedalam
apa pun, tetap akan tecermin pada perilaku. Mencermati
pemicu Perhelatan besar politik
masih cukup lama. Namun, kini mulai terasa menghangatnya udara perpolitikan
Indonesia. Pesta demokrasi tahun 2024 dapat menjadi pemicu perilaku
kepemimpinan, mengubah haluan perhatian, dan menggeser komitmen. Konsistensi
pada janji dan integritas moral para pemimpin diuji oleh hasrat peluang
kekuasaan. Akankah fokus cita-cita
bangsa dan hak-hak rakyat ditelikung para pencari kuasa. Bangsa ini butuh
domba asli, bukan serigala berbulu domba. Soliditas dan sinergitas
antarkomponen merupakan kondisi mutlak bangsa. Bila para (calon) pemimpin
mengingkari kesejatiannya, maka angin badai kepemimpinan yang akan terjadi.
Ujungnya, agenda penting bangsa terlupa, rakyat merana, dan Bhinneka Tunggal
Ika menjadi taruhannya. Kini, seisi Nusantara
menanti kehendak para pemimpinnya untuk mengembuskan angin kesejukan yang
menumbuhkan harapan. Dunia baru saja mendapatkan teladan angin segar dari
bertemunya dua tokoh, Imam Besar Ahmed Al-Tayeb dan Paus Fransiskus. Ketika
kekerasan merebak di pelbagai penjuru, dua pemimpin dunia ini hadir. Sebuah upaya orisinil
menyikapi terpaan kekerasan. Memang tidak serta-merta menuntaskan persoalan.
Namun, upaya yang dilandasi ketulusan dan nirkepentingan diri akan memberikan
percikan harapan. Menawarkan cara bersikap alternatif. Melihat dari sudut pandang
yang berbeda. Itulah contoh model angin segar sebagai buah dari mentalitas
pemimpin etis, yang pusat eksistensinya adalah kebajikan. Seperti yang
dikutip oleh Barbara Kellerman dalam The End of Leadership (2012), Confucius
dan Plato memiliki kesamaan pandangan mengenai pemimpin yang ideal, yaitu
memiliki virtuous. Confucius menyebut
pemimpin ideal sebagai gentlemen, yang memiliki lima harta karun. Kelima
harta itu adalah: murah hati tanpa harus memberi, membuat orang bekerja tanpa
merasa kesakitan, memiliki ambisi tanpa rakus, punya kuasa tetapi tidak
arogan, dan berada di belakang tetapi tidak dengki. Plato membayangkan
pemimpin ideal seperti raja yang filsuf, yang dipenuhi kebijaksanaan.
Pemimpin sejati menyikapi ”pemicu” bukan untuk memuaskan egosentrisnya,
”mumpung ada kesempatan”. Sebaliknya, justru ”pemicu” persoalan diurai dan
diredakannya. Terhadap siapa pun yang
memandang diri—terlebih yang dipilih— sebagai pemimpin, paling tidak ada tiga
hal yang dapat dijadikan renungan. Pertama, inti sari kepemimpinan adalah
kebajikan yang mengandung konsekuensi pengorbanan. Kedua, kekuasaan adalah
amanah yang berarti sebuah mandatory. Ketiga, refleksikan legacy yang akan
ditinggalkan supaya kebahagiaan dapat dirasakan oleh semua. Jadi, pemimpin pun tetap
merasakan kebahagiaan karena memang telah selesai dengan dirinya. Bukan
gelisah dengan citra, memutarbalikkan kata dan fakta. Secara sederhana,
memimpin berarti menjunjung harkat manusia sejak dari pikiran. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar