Minggu, 06 Juni 2021

 

Tantangan Pelayanan untuk Lansia

Sita Aripurnami ; Direktur Eksekutif Women Research Institute

KOMPAS, 02 Juni 2021

 

 

                                                           

Sejak 76 tahun lalu, Indonesia telah mencanangkan hari yang secara nasional khusus ditujukan untuk menghargai para lansia.

 

Berangkat dari rasa kagum kepada Dr KRT Radjiman Widiodiningrat yang dalam usia lanjut secara cemerlang memimpin sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, peristiwa itu diambil sebagai tonggak penghargaan bagi lansia.

 

Namun, setelah lebih dari setengah abad berselang, seperti apakah perwujudan penghargaan bagi para lansia? Bagaimana pelayanan yang tersedia bagi para lansia?

 

Cara pandang menghargai lansia

 

Menurut Badan Pusat Statistik (2020), jumlah lansia di Indonesia adalah 10 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 27,1 juta jiwa. Pada 2025 jumlah populasi lansia diproyeksikan menjadi 33,7 juta jiwa atau 11,8 persen.

 

Sementara itu, menurut proyeksi populasi lansia, di Asia pada 2030 akan terjadi perubahan demografi. Sebanyak 60 persen penduduk Asia akan terdiri dari mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Dengan kata lain, jumlah populasi lansia, baik di Indonesia maupun di Asia, cenderung meningkat.

 

Melihat jumlah lansia yang akan terus meningkat ini, muncul dua cara pandang pemikiran untuk mendukung dan memberikan pelayanan bagi lansia.

 

Cara pandang pertama, melihat dengan bertambahnya populasi lansia, maka yang perlu dipikirkan adalah daya dukung bagi mereka. Para lansia berhak mendapatkan pengakuan dan ruang untuk hidup berdaya dan bermartabat.

 

Pada cara pandang ini, lansia dilihat sebagai kelompok yang perlu diperlakukan secara hati-hati. Mereka dianggap rentan dan dianggap tak perlu terlalu aktif. Pertanyaannya, apakah pelayanan yang tersedia dan siap memenuhi kondisi orang-orang yang berusia lanjut? Indonesia memiliki peraturan untuk menjamin pemenuhan hak-hak lansia, yaitu UU No 13 Tahun 1998.

 

Berbagai hak lansia telah dijamin oleh negara, tertera dalam Pasal 5, Ayat 2, yaitu hak atas pelayanan spiritual dan keagamaan; hak atas pelayanan kesehatan; hak atas pelayanan kesempatan kerja; hak atas pelayanan pendidikan dan pelatihan; kemudahan menggunakan fasilitas, sarana, dan prasarana publik; kemudahan mendapatkan layanan bantuan hukum, perlindungan sosial; dan hak atas bantuan sosial.

 

Secara normatif, negara menjamin pemenuhan hak para lansia, termasuk hak untuk mendapatkan pelayanan yang disediakan negara. Namun, nyatanya, apakah para lansia ini sudah mendapatkan haknya atas pelayanan itu?

 

Cara pandang kedua, melihat meningkatnya populasi lansia membuka ruang baru bagi orang-orang dengan usia yang lebih tua untuk hidup lebih produktif setelah pensiun. Hal ini terutama tampak dipikirkan dan dikembangkan di negara-negara yang sudah berkembang, seperti di Singapura dan Korea Selatan. Menjadi bertambah tua bukanlah akhir dari segalanya.

 

Negara-negara ini memikirkan peran dan pelibatan sosial yang dapat dikembangkan agar populasi yang meningkat jumlahnya ini dapat menjadi tenaga yang produktif. Istilah lansia yang disebut bukan lagi elderly atau ageing, melainkan longevity atau menjadi orang dengan usia tua yang sukses dan produktif. Kebijakan dan program pun dirancang untuk mendukung hal ini.

 

Menjadi lansia produktif di tengah keluarga melalui kegiatan antargenerasi, seperti mentransfer pengetahuan dari yang tua kepada generasi muda; atau menjadi lansia produktif di tengah masyarakat, seperti sukarelawan bagi kegiatan komunitas. Bisa pula memetakan minat dan kebutuhan belajar para lansia, seperti bekerja sama dengan universitas-universitas yang ada untuk menerima lansia belajar dan sekolah kembali untuk strata satu, dua, atau tiga.

 

Dipercaya bahwa melalui cara pandang kedua ini, para lansia akan lebih panjang harapan hidupnya, karena dirinya sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan lebih panjang eksistensinya. Para lansia akan menjalani hidup dengan hati yang senang.

 

Pertanyaannya, apakah cara pandang kedua ini dapat dipilih manakala para lansia masih menghadapi persoalan dalam pemenuhan haknya akan layanan yang tersedia bagi negara.

 

Tantangan pada pelayanan yang tersedia

 

Dari pengamatan pribadi dan pengalaman lembaga-lembaga yang bekerja untuk isu lansia, orang lanjut usia, belum terpenuhi hak-haknya. Salah satunya adalah pada tak efisiennya pengurusan administrasi pelayanan bagi para lanjut usia dalam mengurus uang pensiun. Tak menjadi masalah apabila para lanjut usia itu memiliki anggota keluarga yang dapat membantu menguruskannya.

 

Persoalan muncul apabila para lanjut usia ini harus mengurus sendiri. Ini artinya para lanjut usia yang tidak memiliki anggota keluarga yang dapat membantunya bisa menjadi rentan secara ekonomi karena tidak mendapatkan kemudahan pelayanan untuk mengakses sumber daya ekonomi mereka.

 

Lalu, bagaimana dengan para lansia yang miskin, yang harus bekerja agar dapat tetap hidup. Bagaimana pula dengan para lansia yang hidup sendiri tanpa memiliki sistem pendukung yang memadai. Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Artinya, negara didirikan berlandaskan konsep welfare state atau negara yang mementingkan kesejahteraan.

 

Hak-hak para lanjut usia harus terpenuhi terlebih dahulu, baru konsep kesejahteraan yang diambil oleh negara terwujud. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi negara yang mengacu pada kesejahteraan warganya, termasuk warga lanjut usia. Sudah saatnya mengajak anak muda memimpin perubahan dengan meluncurkan pemikiran intergenerasi guna mendukung gerakan sayang lansia agar mereka mendapatkan hak serta perlindungan sebagai warga negara dan menjadi jawaban atas tantangan pelayanan bagi para lansia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar