Kamis, 10 Juni 2021

 

Jiwa Feodal, Mentalitas Pegawai, dan Disiplin Nasional

Koentjaraningrat ;  Pakar Bidang Antropologi, Mantan Guru Besar FS-UI, Depok.

KOMPAS, 10 Juni 2021 (16 Januari 1991)

 

 

                                                           

Abdurrahman Wahid benar apabila ia mengatakan, "sikap hidup feodal tanda primordial paling tinggi" (Kompas, 8 Maret 1990). Dengan kata-kata itu Ketua PB NU itu seakan-akan menyatakan, mentalitas yang sangat mengagungkan kekuasaan dan pangkat tinggi tetap bertahan dalam jiwa bangsa Indonesia pada umumnya, karena melalui proses sosialisasinya mentalitas itu sudah tertanam dalam diri seseorang sejak sangat dini.

 

Arti istilah "feodal" dalam bahasa Indonesia kita ketahui berbeda dengan artinya semula, yang digunakan para ahli sejarah di Eropa untuk mengacu ke suatu struktur hubungan sosial-ekonomi serta politik dalam abad ke-13 hingga 15.

 

Pada waktu itu di Eropa ada beberapa kerajaan besar yang masing- masing merupakan gabaungan dari daerah-daerah, yang baik tanah maupun penggarapnya dikuasai oleh bangsawan-bangsawan ksatria atau bangsawan-bangsawan gereja (uskup), yang wajib memberi upeti kepada raja.

 

Sebaliknya, secara politik para bangsawan itu memiliki kekuasaan otonomi luas dalam kerajaan. Walaupun demikian, dalam hubungan ke atas (dengan raja) para ksatria dan uskup yang masing- masing tinggal dalam puri-puri berbentuk benteng bersama tentara penyangganya itu, secara sosial ekonomi dan militer juga tidak dapat mandiri, dan tergantung kepada kekuasaan raja yang mencakup seluruh kawasan kerajaan.

 

Dalam hubungan ke bawah dalam struktur ekonominya, khususnya dalam menggarap tanah di kawasannya, para ksatria dan uskup itu melakukan bagi-hasil pertanian dengan para petani, dan juga menerima upeti dari para petani, itu pada waktu-waktu tertentu. Namun para bangsawan itu juga tidak dapat mengeksploatasi dan bertindak sewenang-wenang terhadap para petani karena para bangsawan dan uskup itu juga sangat tergantung kepada anak buah mereka itu.

 

Jikalau para petani tidak menyukai mereka dan membangkang, maka para pemilik tanah itu tidak mungkin bisa hidup sendiri terisolasi dalam enteng mereka. Oleh karena itu para bangsawan itu dengan etika dan moral ksatria dan gereja yang biasanya mereka junjung tinggi (tentu ada terkecualian), wajib melindungi dan memperhatikan kesejahteraan para petani tersebut.

 

Istilah feodal dalam bahasa Indonesia

 

Dalam bahasa Indonesia sekarang, seperti yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, istilah "feodal" tidak mengacu ke suatu struktur sosial ekonomi dan politik seperti terurai di atas, melainkan kepada suatu mentalitas, yang seperti tersebut di atas mengagungkan kekuasaan dan pangkat tinggi, bahkan sering kali dalam arti negatif, yaitu sikap sombong yang diakibatkan oleh kekuasaan dan pangkat tinggi yang dimiliki, dan akhir-akhir ini bahkan juga oleh kekayaan, sikap menjilat ke atas, dan seterusnya sebagainya.

 

Mentalitas feodal yang kelihatannnya masih tertanam kuat dalam jiwa banyak orang di Indonesia perlu diubah karena kendala tumbuhnya nilai-nilai demokrasi. Walaupun dalam arti dan konteks yang agak berbeda, pendapat ini juga diajukan oleh Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo dalam harian Kompas tanggal 11 Juli 1989.

 

Kepada penulis pernah diajukan pertanyaan: "Apakah gejala pemberian gelar-gelar bangsawan kepada anggota-anggota keluarga keempat belas swapraja di Jawa Tengah, karena jasa-jasa mereka kepada keluarga swapraja, kepada masyarakat umum, atau kepada negara Indonesia, tidak akan menghambat tumbuhnya jiwa demokrasi di Indonesia?"

 

Jawaban penulis adalah bahwa hal itu memang mungkin, tetapi gelar-gelar itu tidak mempunyai fungsi ekonomi, sosial, maupun politik, dan hanya berlaku di dalam lingkungan keluarga besar swapraja saja. Gelar-gelar seperti Sir, Lord, yang sampai sekarang masih diberikan oleh raja Inggris kepada orang-orang yang telah berjasa, atau gelar Datuk yang diberikan oleh Yang Dipertuan Agung di Malaysia, terbukti juga sama sekali tidak merupaan kendala bagi kehidupan demokrasi di kedua negara tersebut. Karena mereka biasanya menerima gelar itu karena jasa-jasa mereka, dan karena itu mereka juga bersikap arif, dan tidak akan menyalahgunakan kedudukan mereka dan tiba-tiba bersikap sombong ke bawah dan menjilat ke atas.

 

Kembali kepada masalah pokoknya: sikap feodal memang merupakan salah satu kendala sosial budaya yang penting dalam pengamalan Pancasila di Indonesia. Namun menurut hemat pengarang, sikap tak mampu menerima kritik dan mentalitas pegawai merupakan dua kendala yang lebih menghambat proses pertumbuhan jiwa demokrasi.

 

Mentalitas pegawai

 

Para pakar ilmu-ilmu sosial yang membahas masalah pembangunan ekonomi dalam masyarakat negara-negara yang sedang berkembang di Afrika, Asia, atau Amerika Latin, dan yang dalam kaitan itu meneliti dan menganalisis mentalitas manusia yang membangun negaranya, banyak membahas mentalitas petaninya atau mentalitas para pemimpin serta golongan elitnya. Tak banyak di antara para pakar itu mengkhususkan perhatian mereka pada mentalitas korps pegawainya.

 

Hanya ahli ilmu pendidikan J.F. Guyot-lah yang secara khusus pernah meneliti, menganalisis, dan menulis tentang Clerk Mentality in Burmese Education (1969). Di Indonesia ahli psikologi M.A.W. Brouwer pernah menulis mengenai mentalitas pegawai di Indonesia dalam karangan berjudul "Indonesia Negara Pegawai" (1983) yang diterbitkan oleh Leppenas. Pengarang waktu itu di endtable minta oleh penerbitnya untuk membahas karangan itu, akan tetapi bahasannya merupakan rangkuman mengenai hal-hal yang pernah dibacanya tentang masalah mentalitas pegawai, dan tidak berdasarkan penelitian sendiri. Hal-hal yang akan diuraikan oleh pengarang di bawah ini pun hanya suatu rangkuman seperti itu.

 

Dalam deskripsi Guyot mengenai mentalitas pegawai di Myanmar, clerk mentality, umumnya dilukiskan sebagal suatu sikap hidup orang, yang di samping beberapa sifat positif juga memiliki beberapa sifat negatif, seperti bersikap tak berani mengambil risiko, tidak dinamis, tidak kreatif, tidak inovatif, gemar akan konformitas dan keseragaman, dan suka mempertahankan status quo. Sikap-sikap seperti itu jelas tidak mendorong terjadinya pembaruan kebudayaan dan tumbuhnya jiwa demokrasi dengan cepat.

 

Lepas dari konsepsi Guyot tersebut, suatu hal yang menurut pendapat pengarang sangat menghambat tumbuhnya jiwa demokrasi di Indonesia adalah rendahnya kemampuan pegawai-pegawai Indonesia pada umumnya untuk menerima dan mengolah atau menertawakan kritik dan sindiran dengan dada yang lapang.

 

Sebaliknya, dalam karangan bagian ke II telah dinyatakan pula, mentalitas pegawal juga mempunyai berbagai sifat positif, karena seorang pegawai biasanya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap lembaga tempat ia bekeria, mampu untuk belajar bekerja dengan cepat dan efisien, taat kepada atasan dan berdisiplin tinggi. Hal-hal positif itu baik bagi pengamalan Pancasila, pada umumya, namun tidak mendorong tumbuhnya jiwa demokrasi. Kecuali itu, pengarang ingin mengajukan beberapa komentar mengenai soal disiplin nasional.

 

Disiplin nasional

 

Ada sementara orang yang berpendirian, pendidikan militer, tempat disiplin merupakan salah satu unsur yang dasar, membentuk disiplin nasional. Karena itu, bila ada peraturan wajib militer yang berlangsung satu dua tahun lamanya bagi pemuda-pemuda warganegara Indonesia yang telah mencapai usia tertentu, dan selama itu mereka mengikuti pendidikan militer dan melaksanakan tugas-tugas militer, maka disiplin nasional akan terwujud dengan sendirinya.

 

Mungkin pendirian tu benar, namun disiplin militer adalah disiplin yang terwujud ketaatan kepada perintah seseorang yang sungguh-sungguh ada, yaitu komandan. Lagi pula, disiplin seringkali didasari perasaan takut kepada komandan itu, yang berwenang menghukum keras militer yang tak berdisiplin. Tentunya ada komandan yang berwibawa, sehingga ketaatan para anak buahnya itu tidak disebabkan karena perasaan takut, melainkan karena merasa sungkan terhadapnya.

 

Walaupun demikian, disiplin seperti itu masih tergolong disiplin yang berdasarkan ketaatan kepada orang yang konkret dan pada dasarnya sama dengan disiplin berdasarkan ketaatan kepada senior, atasan, pangkat tinggi, guru, atau pemuka agama, yang semuanya orang-orang yang konkret.

 

Agak berbeda adalah disiplin yang berupa ketaatan kepada orang tua yang selain berdasarkan rasa takut kepada seorang ayah yang berwibawa, sungkan seorang ayah yang berwibawa, juga berdasarkan rasa cinta dan hormat; namun ayah dan ibu pun manusia- manusia yang konkret.

 

Penulis sangat mendambakan disiplin nasional Indonesia yang juga berdasarkan ketaatan kepada hal-hal yang abstrak, seperti peraturan, norma, dan hukum, dan hal yang lebih abstrak lagi, yaitu ketaatan kepada prinsip. Kedua jenis disiplin inilah yang belum berkembang dalam mentalitas orang Indonesia umumnya. Disiplin berupa ketaatan kepada orang-orang yang konkret telah menyebabkan bahwa disiplin di Indonesia itu senantiasa memerlukan pengawasan. Kalau pengawasan itu mengendur, maka disiplin pun biasanya turut kendur. Oleh karena itu kita paham mengapa dalam kehidupan sosial ekonomi negara kita hampir semua hal perlu diawasi terus-menerus oleh aparat-aparat pengawasan yang mahal harganya.

 

Kembali pada pokok permasalahan dalam tulisan ini, yaitu "kendala sosial budaya dalam pengamalan Pancasila", terbukti banyak sekali upaya-upaya kompleks masih perlu ditangani oleh bangsa Indonesia pada umumnya, dan pemerintah khususnya, agar kendala kendala itu dapat berkurang sampai batas yang sekecil mungkin. Untunglah akhir-akhir ini masalah yang sering diremehkan ini kini mulai mendapat perhatian dari khalayak ramai. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar