Selasa, 13 April 2021

 

Pengendalian Harga Pangan Hari Raya

Sapuan Gafar ; Kepala Biro Penyaluran Bulog dan Ketua Tim Penyediaan Ternak dan Stabilisasi Harga Daging DKI Jakarta 1988-1993

                                                         KOMPAS, 13 April 2021

 

 

                                                           

Telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa menjelang hari raya dan atau hari besar keagamaan biasanya terjadi kenaikan harga-harga pangan tertentu.

 

Dari pengalaman terdapat beberapa aspek dalam pengendalian harga yang perlu diketahui. Pertama, pemahaman siklus kalender peristiwanya sendiri. Kedua, pola panen dan perdagangan serta sentra produksi dari komoditasnya. Ketiga, pemahaman atas karakteristik fluktuasi harga pada setiap komoditas.

 

Keempat, kelembagaan yang menangani dan kejelasan pembiayaannya. Kelima, cara pengelolaannya yang harus konsisten dengan mekanisme harga dan stok. Sinyal pengendalian harga adalah ”harga dan keadaan stok yang dikuasai pemerintah”, bukan atas dasar estimasi pasokan dibandingkan permintaan.

 

Dari segi pemahaman yang perlu diketahui bahwa pasokan komoditas pertanian itu mengikuti kalender matahari dan permintaannya mengikuti kalender bulan (Noer Soetrisno, 2016: Memahami Siklus Perekonomian Indonesia).

 

Kemudian, berdasarkan pengalaman, yang perlu dilakukan pengendalian harga adalah selama tiga bulan pada ”masa pesta”, yakni bulan Syaban (Ruwah), Ramadhan (puasa), dan Syawal (Lebaran) atau RPL. Peristiwa lain adalah menjelang Natal dan Tahun Baru dan adanya peristiwa penting, seperti pemilu serentak 2019 dan perhelatan Asian Games 2018.

 

Pengendalian harga yang paling menyita perhatian ekstra, persiapan siklus masa pesta (RPL), apalagi waktunya berbarengan dengan masa paceklik. Sebagaimana diketahui, kalender matahari dan bulan itu waktunya bergeser sepuluh atau sebelas hari setiap tahun.

Dengan demikian, apabila ”waktu” ajang pengendalian harga bulan puasa dan Lebaran terjadi ”bersamaan” dengan siklus paceklik, misalnya untuk beras dan cabai, pengendalian harganya memerlukan perhatian khusus.

 

Untuk 2021 ini, siklus bulan puasa dan Lebaran terjadi pada April-Mei, maka upaya pengendalian harga terjadi pada waktu panen padi dan cabai. Oleh karena itu, dari segi pasokan tak terlalu mengkhawatirkan, tinggal bagaimana mengatur sistem logistiknya supaya lancar.

 

Pemahaman lain adalah pengendalian harga pangan itu memerlukan biaya ekstra. Kecuali untuk komoditas yang pasokannya berlebih atau posisi kita eksportir neto, misalnya minyak goreng dan ikan, maka tugas kita adalah memperlancar logistik penyediaannya.

 

Dengan pemahaman perlunya biaya tersebut, merupakan hal yang tidak mungkin apabila pengendalian harga itu biayanya dibebankan kepada pelaku pasar (operator). Apabila pemerintah tidak menyediakan anggaran, hasilnya tidak akan optimal karena beban-beban tersebut akan dialihkan kepada konsumen atau menjadi kerugian perusahaan.

 

Pemahaman lain, pengendalian harga itu sebaiknya dengan pendekatan ramah pasar. Kita mempunyai pengalaman pendekatan ”nonpasar” pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Pada tahun 1962 dikeluarkan beberapa peraturan untuk menjerat pelaku pasar beras/pangan yang dikenal dengan ”undang-undang subversi ekonomi”. Apa yang terjadi?

 

Ketika dilakukan penggeledahan gudang beras, beras di pasar menghilang dan akhirnya harga beras naik tak terkendali pada tahun 1965. Pengalaman penggerebekan gudang beras PT IBU tahun 2017 juga berbuah keguncangan pasar.

 

Pola panen berbeda-beda

 

Tiap komoditas mempunyai pola panen yang berbeda, seperti untuk padi dan cabai itu pola panen rayanya terjadi pada Maret-Juni. Dengan demikian, apabila bulan pesta terjadi pada waktu panen, diperkirakan pasokannya akan cukup dan harganya akan aman.

 

Namun, harus tetap waspada akan permintaan beras tertentu, seperti beras ketan. Hal ini juga terbantu karena karakteristik petani kita yang umumnya menjual padi untuk persiapan puasa dan Lebaran. Namun, apabila pemerintah merasa perlu berjaga-jaga, sebaiknya melakukan pengendalian harga atas beras dalam kategori beras kelas premium.

 

Sementara gula, yang sekarang ini belum mulai masa giling, memerlukan perhatian untuk membantu pasokan di pasar. Pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, pengendalian harga gula dan terigu adalah dengan menambah alokasi penyaluran sebesar 15 sampai 25 persen, tergantung kondisi harga, karena semua persediaan dikuasai oleh pemerintah cq Bulog.

 

Sekarang ini, Bulog mempunyai persediaan gula, tetapi karena sifatnya komersial, sudah barang tentu efektivitasnya akan kurang. Untuk terigu dan kedelai, harganya kemungkinan pada puasa dan Lebaran ini akan naik lagi sesuai dengan nilai tukar dollar AS dan harga pasar dunia.

 

Hal inilah yang perlu menjadi perhatian pemerintah karena penggunaan terigu dan gula untuk membuat penganan sudah demikian meluas dan impor kedelai untuk penyediaan sumber protein murah bagi rakyat kecil posisinya demikian strategis. Cara yang bisa dilakukan sekarang mungkin dengan mengurangi tingkat bea masuknya.

 

Untuk penyediaan ternak dan pengendalian harga daging, Bulog dahulu pada mulanya hanya bertugas melakukan koordinasi logistik karena pasokan ternak kita masih bisa mencukupi dan harganya masih kompetitif dengan harga internasional. Sehubungan dengan membaiknya keadaan ekonomi Indonesia, mulai 1974 Bulog ditugaskan untuk mengoordinasikan penyediaan ternak dan pengendalian harga daging untuk DKI Jakarta.

 

Mulai pertengahan 1980-an, ditambah daging dan ayam beku. Pada periode 1974-1998, Bulog dapat bertindak sebagai koordinator penyediaan ternak karena bentuk lembaganya adalah sebagai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK).

 

Pada tahun 2003, bentuk kelembagaan Bulog ditransformasikan menjadi perusahaan umum (operator) sehingga masih menyisakan tugas-tugas kepemerintahan (regulator) yang sampai sekarang belum ada penggantinya.

 

Pembiayaan, kelembagaan

 

Pengalaman empiris menunjukkan, kunci keberhasilan program pengendalian harga adalah, pertama, sistem pembiayaan yang fleksibel dengan jumlah yang cukup. Kedua, bentuk lembaganya independen.

 

Sistem pembiayaan ini merupakan kunci utama karena seperti telah disebutkan, program pengendalian harga itu memerlukan biaya besar. Dulu Bulog mendapat Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan bunga khusus untuk periode 1969-1981 dan diberikan subsidi melalui APBN apabila terdapat kerugian.

 

Kunci sukses operasi Bulog yang lain waktu itu adalah karena bentuk lembaga Bulog independen di bawah Presiden. Keunikan lembaga Bulog tersebut adalah sebagai regulator yang merangkap operator.

 

Sekarang keadaan jauh berbeda, Bulog hanya sebagai operator dan untuk dapat melakukan tugasnya harus berkoordinasi dengan banyak lembaga. Sekarang ini tugas Bulog ibarat sebagai pemadam kebakaran, api sudah berkobar, tetapi untuk bisa memadamkan api harus menunggu izin atau rapat koordinasi. Sebagaimana diketahui, ego sektoral kini lebih menonjol sehingga mengganggu tugas-tugas yang dijalankan.

 

Untuk mengatasi hal itu, disarankan agar dibentuk LPNK untuk mengurusi cadangan pangan/beras nasional dengan nama Badan Urusan Cadangan Pangan Nasional (BUCPN) sebagai regulator.

 

Adapun sebagai operatornya adalah Perum Bulog. Badan ini langsung di bawah Presiden, dengan tugas mengurus cadangan beras pemerintah dan mengoordinasikan serta memantau cadangan beras pemerintah daerah dan cadangan pangan masyarakat.

 

Titik lemah pengendalian sekarang ini adalah tidak ada yang memantau cadangan pangan/beras masyarakat yang ada di rumah tangga konsumen, di pedagang eceran, grosir dan pedagang besar, di penggilingan, di pedagang pengumpul gabah, di petani, dan di sawah yang akan panen.

 

Menurut pengalaman, pemantauan stok di masyarakat ini harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga karakternya dapat diketahui untuk menghadapi berbagai tipe tahun, seperti tahun kemarau kering, kemarau normal, dan kemarau basah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar