Jumat, 09 April 2021

 

Ketika Terorisme Mengincar Perempuan

 Leebarty Taskarina ; Mahasiswa Doktoral di Program Studi Kriminologi UI

                                                         KOMPAS, 08 April 2021

 

 

                                                           

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh dua peristiwa teror, yakni pengeboman Gereja Katedral di Makassar, Sulawesi Selatan, yang dilakukan oleh satu pasangan suami-istri, dan upaya teror yang dilakukan oleh seorang perempuan bersenjata air gun di Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta.

 

Meski keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia sudah terjadi sejak 2010, keterlibatan perempuan selalu memberi kejutan tersendiri. Pertanyaannya, apakah perempuan memang sungguh-sungguh berperan sebagai pelaku utama aksi teror?

 

Dinamika terorisme di Indonesia senantiasa berkorelasi erat dengan perkembangan terorisme global, termasuk dalam hal keterlibatan perempuan. Kelompok Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) secara umum hanya memberi peran perempuan secara tidak sadar dan tidak sengaja (involuntary), misalnya di bidang perbantuan, logistik, ataupun mencari tempat persembunyian.

 

Sementara Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mengabaikan status dan struktur, dan bahkan membuka kesempatan bagi perempuan untuk bergabung (voluntary). Propaganda NIIS memberi ruang bagi perempuan untuk berada di garis depan dalam ”perjuangan”.

 

Semakin meningkat

 

Jika menilik pada tren setiap tahun, keterlibatan perempuan dalam aktivitas terorisme di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan data termutakhir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sejak tahun 2010 hingga 2019 terdapat 20 eks-narapidana terorisme perempuan.

 

Sementara tahun 2020 terdapat lima perempuan terduga pelaku tindak pidana terorisme yang masih dalam proses penegakan hukum dan 12 narapidana terorisme perempuan yang masih menjalankan hukuman di sembilan lembaga pemasyarakatan (lapas) perempuan di Indonesia.

 

Tren keterlibatan perempuan tersebut tidak terlepas dari narasi dan amplifikasi kekerasan yang bergaung di ruang publik selama ini. Hal tersebut, misalnya, tecermin dalam surat-surat yang ditinggalkan oleh pelaku sebelum melancarkan aksi, yang memuat glorifikasi narasi kebencian terhadap pemerintah dan teks-teks keagamaan yang fanatik.

 

Yang dimaksud amplifikasi adalah perluasan pesan baik dalam aspek jumlah, kepentingan, dan sebagainya. Dalam konteks kekerasan, amplifikasi merujuk pada tindakan yang bermula dari sebuah gagasan kebencian yang kemudian difasilitasi oleh medium tertentu, seperti teks-teks keagamaan, perkumpulan kelompok yang tertutup dan memiliki tujuan serupa, yang semuanya menjadi penghubung terjadinya tindakan kekerasan.

 

Salah satu yang berperan dalam tahapan amplifikasi kekerasan tersebut adalah kelompok intoleransi. Meski penyidikan masih berjalan, ada indikasi kelompok intoleransi yang turut terlibat dalam sejumlah penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Kepolisian RI (Polri).

 

Dalam konteks ini, amplifikasi kekerasan yang melibatkan kelompok intoleransi telah mendorong pola aksi kekerasan lebih besar yang menyerupai kelompok teroris.

 

Kekerasan merupakan instrumen krusial dari terorisme. Hal itu dapat bermula dari benih kebencian yang sebelumnya hanya berada di dalam pikiran seseorang, kemudian mendapatkan legitimasi untuk menerapkannya dalam sebuah aksi teror. Tindakan teror inilah yang kemudian dapat membahayakan orang lain karena menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

 

Narasi-narasi yang membenarkan kekerasan untuk mencapai suatu tujuan telah menjadi pijakan awal aksi terorisme. Catatan pentingnya, baik kelompok intoleransi, radikal, ekstremis, maupun kelompok teror, semuanya menggunakan narasi serupa dan menyulut agresi di kalangan audiensnya.

 

Dalam hal inilah perempuan menjadi sasaran audiens dari narasi dan amplifikasi kekerasan tersebut.

 

Narasi-narasi itu, antara lain, ”Menikahi mujahid sebagai awal perjuangan”, ”jadilah mujahidah, maka dosa masa lalu terampuni”. Narasi itu menjustifikasi bahwa perempuan juga memiliki kewajiban untuk bertempur dan melakukan kekerasan, serta bonus terhapusnya dosa masa lalu.

 

Narasi itu lantas membuat perempuan mengalami apa yang disebut self-radicalized, terlepas narasi itu didapatkan langsung dari kelompok atau media sosial. Terlebih, setelah menyaksikan role model perempuan yang melakukan aksi terorisme, perempuan lain yang teradikalisasi akan menganggap normal hal tersebut dan menirunya (Shapiro & Maras, 2019).

 

Dalam hal menerima informasi, regulasi emosi perempuan menurut Crawford, Kippax, Onyx, Gault, and Benton (1992) cenderung lebih ekspresif ketika emosinya tidak stabil dan ada pada situasi yang tidak mereka harapkan. Oleh karena itu, narasi yang mereka baca, dengar dan pemahaman teks-teks yang kaku dalam intensitas yang lama dan dikonstruksikan dengan situasi politik dan ekonomi dapat memunculkan ekspresi lebih aktif pada perempuan.

 

”Designated victim”

 

Beberapa penelitian menyebutkan, kelompok teror selalu diuntungkan dengan adanya keterlibatan perempuan. Bukan hanya sebagai perekrut sel, melainkan sebagai sel propaganda gratis yang dapat mengembangkan jaringan tanpa diduga layaknya anggota teroris laki-laki. Hal ini disebut Cragin dan Daly (2009) sebagai ”feminine wiles” (tipu muslihat perempuan), seperti tidak mudah dicurigai dan lebih mudah melewati para petugas keamanan.

 

Oleh karenanya, pelibatan perempuan dalam aksi terorisme lebih mudah untuk dijadikan obyek kamuflase untuk melancarkan aksi mereka.

 

Selain itu, aksi terorisme tunggal (lone wolf) yang melibatkan perempuan (female lone wolf), juga sulit untuk dicegah mengingat anonimitas individu yang mempertahankan hubungan terbatas, memiliki tujuan pribadi, dan lebih sulit untuk dideteksi melalui intelijen karena terbatasnya komunikasi dengan orang lain.

 

Secara strategis, pelibatan perempuan dalam terorisme dapat diulas dari perspektif designated victim, istilah yang diambil dari judul film Italia bergenre thriller tahun 1971 yang disutradarai oleh Maurizio Lucidi.

 

Istilah designated victim atau ”korban yang didesain” ini serupa dengan kajian non-conventional victimology, yaitu tentang relasi kuasa yang timpang dan viktimisasi yang dapat berupa nonfisik, bahkan kasat mata.

 

Seperti kasus yang melibatkan perempuan YSF, pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. YSF melakukan bom bunuh diri bersama L, suaminya yang baru saja menikahinya enam bulan sebelumnya. Pernikahan tersebut telah menempatkan YSF sebagai seorang istri yang dinilai lebih mudah untuk patuh terhadap suami serta lebih mudah untuk didoktrin agar memperkuat keinginannya menjadi martir dalam aksi terorisme.

 

Pernikahan tersebut didesain dengan sengaja untuk menyatukan YSF dan L sehingga koordinasi keduanya dan jaringan teror yang memegang kendali atas mereka menjadi lebih aman.

 

Begitu juga dengan ZA dalam kasus upaya teror di Mabes Polri, yang meski terlihat random tetapi narasi yang disebarkan memang ditujukan untuk mendesain korban berikutnya. Jadi tidak sekadar untuk mempertontonkan aksinya sebagai pelaku.

 

Perempuan dalam konteks terorisme telah ditunjuk dengan sengaja dan ditempatkan sedemikian rupa untuk menjadi aktor atau garda terdepan dalam aktivitas terorisme (designated victim). Dengan demikian, sejatinya mereka adalah korban dari amplifikasi narasi-narasi kekerasan yang telah dikemas dalam teks keagamaan yang menyimpang.

 

Narasi yang seolah-olah memberikan ruang bagi perempuan mengaktualisasikan diri sebagai ”perempuan ideal yang terlibat dalam perjuangan melawan ketidakadilan atas nama agama”. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar