Kamis, 01 April 2021

 

Pancasila di Tengah Perang Ideologi Global

 Zulkifli Hasan ; Wakil Ketua MPR, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN)

                                                         KOMPAS, 01 April 2021

 

 

                                                           

Kita perlu terus menjaga spirit kebangsaan dan keindonesiaan di tengah dinamika situasi politik-ekonomi global yang pendulum ideologinya ditarik ke kiri dan ke kanan. Jika Pancasila goyah, risikonya terlalu besar untuk bangsa ini, daya rusaknya multidimensional.

 

Konsekuensi logis dari pertarungan ekonomi-politik global antara Amerika Serikat dan China, dua kekuatan terbesar dunia saat ini, selain perang dagang dan eskalasi potensi konflik militer seperti terjadi di Laut China Selatan adalah kembali menguatnya sentimen serta tarik-menarik antara ideologi politik liberal melawan komunis.

 

Ini semacam tanding ulang setelah sebelumnya berakhir di era perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di awal tahun 90-an. Kini tentu dengan bentuk dan kompleksitas yang lebih rumit.

 

Dua ideologi besar dunia yang berhadapan ini tidak lagi mengandaikan benturan antar peradaban (clash of civilization) sebagaimana ditulis Samuel P Huntington, yang terjadi justru terombang-ambingnya pendulum ideologi negara-negara di tengah tarung bebas antara dua raksasa global AS dan China tadi. Keduanya berebut pengaruh dengan berbagai strategi.

 

China memilih strategi ekonomi dan perdagangan, kerja sama dan investasi besar-besaran digelontorkan kepada negara-negara berkembang agar kebijakan politik domestik dan luar negerinya bisa dipengaruhi, salah satu tali kekangnya adalah utang. Amerika juga melakukan hal yang sama, proyek liberalisasi terus dikerjakan melalui instrumen dan struktur ekonomi politik global, seperti IMF dan Bank Dunia.

 

Indonesia terbelah

 

Jika kita melihat Indonesia, dua pengaruh kekuatan global ini sangat terasa. Skema utang luar negeri dan investasi China, termasuk potensi dana besar yang akan masuk melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) yang bernilai miliaran dollar AS, jika tidak dikelola dan diantisipasi dengan baik, konsekuensinya bisa mengancam keajegan ideologi kita dalam berbangsa dan bernegara.

 

Gelombang pekerja asing akibat syarat mengalirnya investasi seperti yang pernah terjadi di waktu-waktu belakangan, bisa mengancam kedaulatan kita dalam berbangsa dan bernegara. Potensi ketidakadilan dan keberpihakan kepada rakyat Indonesia menjadi ancaman yang serius untuk kita sikapi bersama.

 

Di sisi lain, lobi-lobi kelompok kanan untuk melakukan liberalisasi ekonomi dan politik juga sangat terasa. Pemberlakuan Omnibus Law, Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA), dan skema ekonomi nasional yang terlalu pro pada investasi asing serta utang luar negeri, juga terus mengancam kita dengan mendorong perubahan kultur sosial politik kita yang juga menjadi sangat liberal. Termasuk cara kita dalam menyelenggarakan demokrasi yang kian meninggalkan semangat musyawarah mufakat sebagaimana diamanatkan sila ke-4 dalam Pancasila.

 

Pilkada 2017 dan 2018, Pileg dan Pilpres 2019, serta Pilkada Serentak 2020 telah menunjukkan kepada kita karakter demokrasi yang culas dan hanya berpikir ’menang-menangan’. Politik elektoral berubah sedemikian rupa menjadi semata ajang untuk memperebutkan kekuasaan belaka, berebut lobi dan pengaruh dengan agenda yang berbeda-beda, tak peduli masyarakat terpolarisasi secara hebat. Bahkan, muncul benih-benih permusuhan dan kebencian yang ongkos sosial-budayanya sangat tinggi.

 

Munculnya karakter dukungan politik yang kuat dibarengi dengan mencuatnya perbedaan ideologi adalah konsekuensi dari tarik-menarik akibat polarisasi ini. Semangat nasionalisme jadi dipandang begitu sempit sekaligus berlebihan, tajam mengatakan ”Aku Pancasila” sambil menuduh yang lain tidak.

 

Di sisi lain, politisasi agama juga dilakukan secara brutal menghasilkan islamisme yang sempit dan simbolik belaka, memungkinkan masuknya paham-paham ekstrem dan radikal—bahkan yang mengandaikan format negara agama dengan penerapan syariat Islam sebagai hukum formal.

 

Begitu menyedihkan melihat apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Polarisasi politik yang menimbulkan permusuhan bahkan kebencian, cebong vs kampret, buzzer vs kadrun, bisa terus tereskalasi menjadi pikiran ”us vs them”, kami melawan mereka, yang sangat membahayakan keutuhan kita berbangsa dan bernegara. Pesta demokrasi yang mahal sekali ongkosnya bagi parpol maupun peserta pemilu menghasilkan pola-pola yang sifatnya transaksional, merugikan dan membodohkan masyarakat.

 

Sementara tensi politiknya tidak dikelola dengan baik, penyelenggaraan pemilu yang amburadul, mengakibatkan jatuhnya ribuan korban anggota KPPS yang meninggal. Setelah pemenang pilpres diperoleh, pada akhirnya yang kalah bergabung juga dengan penguasa. Capres dan cawapres penantang, keduanya kini menjadi menteri juga. Sementara konsekuensi terbelahnya masyarakat menjadi kubu-kubu telanjur terjadi.

 

Merajut kebangsaan

 

Pengubuan ini tentu tak bisa dibiarkan. Kedepan kita perlu melakukan tiga hal. Pertama, rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan keutuhan kita dalam berbangsa dan bernegara. Para elite harus meminta maaf kepada masyarakat dan berjanji tidak lagi menggunakan politik identitas, politik agama, politik SARA untuk menyelenggarakan suksesi kekuasaan. Ongkos sosialnya besar sekali yang harus dibayar. Mulai hari ini masyarakat harus diajak bersatu kembali, menguatkan lagi spirit sila ke-3 Pancasila, ”Persatuan Indonesia”.

 

Kedua, spirit Bhinneka Tunggal Ika, nasionalisme yang berketuhanan adalah landasan ideologi yang final bagi Indonesia. Polarisasi yang telanjur terjadi mengakibatkan kebingungan di tengah masyarakat untuk berpegang pada ideologi mana yang harus diacu dalam berbangsa dan bernegara. Posisi agama dan negara kembali dipersoalkan, padahal sudah final didiskusikan oleh para founding fathers kita terdahulu.

 

Munculnya gerakan-gerakan, kelompok, serta organisasi tertentu yang menawarkan penerapan hukum Islam menjadi hukum formal negara, bahkan mempromosikan konsep negara Islam melalui internasionalisme khilafah, harus dicegah.

 

Bangunan berbangsa dan bernegara kita sudah final, kita adalah negara Pancasila yang berdasar pada sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, yang berorientasi pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia apa pun agama, suku, ras dan golongannya. Karena nilai-nilai humanisme universal dijunjung tinggi dalam bingkai sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

 

Dalam hal Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, di sinilah kita butuh Islam Tengah. Islam moderat yang modern sebagaimana dijadikan pijakan berpikir oleh para founding fathers kita yang ikut merumuskan dasar negara, Pancasila dan UUD 1945. NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Indonesia, berpijak pada prinsip keislaman ini. Islam yang berpijak pada spirit rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam, yang menyadari pentingnya konsensus untuk kemaslahatan bersama.

 

Dihilangkannya tujuh kata dari Piagam Jakarta pada saat perumusan dasar negara bukanlah kekalahan umat Islam, tetapi kebesaran hati dan kejernihan berpikir para ulama kita untuk menegakkan Indonesia sebagai Rumah Besar bagi semua yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan agama (religiositas).

 

Para ulama kita itu memperkenalkan Islam Tengah, Islam moderat, Islam Wasathiyah yang kini konsep berpikirnya bisa kita pahami melalui gerakan Islam Berkemajuan milik Muhammadiyah atau Islam Nusantara yang berpijak pada konsep Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) sebagaimana dipegang Nahdlatul Ulama (NU).

 

Islam Tengah ini, yang berpijak pada ajaran Al Quran agar kita menjadi umat terbaik (khairu ummah), pada saat yang sama bisa menjadi tawaran Indonesia untuk persoalan dunia. Benturan antarideologi liberal dan komunis yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan Tiongkok, di belahan dunia lain pun menghasilkan komplikasi ideologi yang mirip sebagaimana terjadi di Indonesia.

 

Konflik Timur Tengah yang ditandai dengan menguatnya radikalisme dan ekstremisme Islam, kebangkitan white supremacy di benua Eropa dan AS yang melahirkan Islamofobia, membutuhkan tawaran baru yang bisa menengahi semua konflik itu. Islam Tengah khas Indonesia bisa menjadi jalan keluarnya.

 

Ketiga, yang terakhir sekaligus terpenting, kita perlu memikirkan ulang format penyelenggaraan pesta demokrasi dan politik elektoral kita. Perlu dipikirkan format baru yang lebih sesuai dengan prinsip sila ke-4 Pancasila, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.” Konsep kita sejatinya adalah perwakilan melalui musyawarah mufakat itu, yang penuh hikmat dan kebijaksanaan, bukan demokrasi bebas yang hanya berpikir kompetisi menang-menangan belaka.

 

Berdiri di tengah

 

Sedih melihat apa yang terjadi saat ini di Indonesia pasca-pemilu presiden dan pileg 2019. Di daerah dengan karakter pemilih Islam yang kuat, partai nasionalis kalah telak. Sebaliknya, di daerah dengan karakter pemilih nasionalis yang kuat, partai-partai bercorak Islam kalah telak. Ini tak bisa dibiarkan. Ini jelas membahayakan untuk jangka waktu yang lebih panjang.

 

Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan dua ajakan. Pertama, penting untuk kita meneguhkan kembali ideologi berbangsa dan bernegara, termasuk menyelaraskan ulang cara kita berislam saat ini, di tengah pendulum ideologi dunia yang menarik kita ke kiri dan ke kanan.

 

Kita perlu tetap teguh berada di tengah, Indonesia adalah negara berdaulat dengan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif, bebas artinya tidak berpihak pada pertarungan ideologi-ideologi global yang saat ini ada, aktif artinya pro-aktif menyuarakan keberpihakan kepada kemanusiaan dan keadilan yang beradab. Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, Islam Indonesia adalah Islam Wasathiyah, Islam Tengah, Islam yang bercorak kebudayaan dan berorientasi pada kemajuan peradaban.

 

Kedua, saya ingin mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali memikirkan format terbaik apa yang bisa kita pakai untuk menyelenggarakan politik domestik—terutama dalam hal politik elektoral. Apa sebenarnya terjemahan dari konsep musyawarah mufakat itu? Apa yang dimaksudkan oleh para pendiri bangsa ini dengan ’hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’?

 

Semoga pertanyaan itu bisa kita jawab bersama-sama. Semoga kita semua bisa terus memberikan kontribusi terbaik untuk keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan. Semoga Indonesia senantiasa menjadi negara yang bersatu berdaulat, adil, makmur dan lebih maju di kemudian hari, menjadi gemah ripah loh jinawi, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar