Pancasila
di Tengah Perang Ideologi Global Zulkifli Hasan ; Wakil Ketua MPR, Ketua Umum Partai
Amanat Nasional (PAN) |
KOMPAS,
01 April
2021
Kita perlu terus menjaga spirit kebangsaan
dan keindonesiaan di tengah dinamika situasi politik-ekonomi global yang
pendulum ideologinya ditarik ke kiri dan ke kanan. Jika Pancasila goyah,
risikonya terlalu besar untuk bangsa ini, daya rusaknya multidimensional. Konsekuensi logis dari pertarungan
ekonomi-politik global antara Amerika Serikat dan China, dua kekuatan
terbesar dunia saat ini, selain perang dagang dan eskalasi potensi konflik
militer seperti terjadi di Laut China Selatan adalah kembali menguatnya
sentimen serta tarik-menarik antara ideologi politik liberal melawan komunis. Ini semacam tanding ulang setelah
sebelumnya berakhir di era perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet di awal tahun 90-an. Kini tentu dengan bentuk dan kompleksitas yang
lebih rumit. Dua ideologi besar dunia yang berhadapan
ini tidak lagi mengandaikan benturan antar peradaban (clash of civilization)
sebagaimana ditulis Samuel P Huntington, yang terjadi justru
terombang-ambingnya pendulum ideologi negara-negara di tengah tarung bebas
antara dua raksasa global AS dan China tadi. Keduanya berebut pengaruh dengan
berbagai strategi. China memilih strategi ekonomi dan
perdagangan, kerja sama dan investasi besar-besaran digelontorkan kepada
negara-negara berkembang agar kebijakan politik domestik dan luar negerinya
bisa dipengaruhi, salah satu tali kekangnya adalah utang. Amerika juga
melakukan hal yang sama, proyek liberalisasi terus dikerjakan melalui
instrumen dan struktur ekonomi politik global, seperti IMF dan Bank Dunia. Indonesia
terbelah Jika kita melihat Indonesia, dua pengaruh
kekuatan global ini sangat terasa. Skema utang luar negeri dan investasi
China, termasuk potensi dana besar yang akan masuk melalui Sovereign Wealth
Fund (SWF) yang bernilai miliaran dollar AS, jika tidak dikelola dan diantisipasi
dengan baik, konsekuensinya bisa mengancam keajegan ideologi kita dalam
berbangsa dan bernegara. Gelombang pekerja asing akibat syarat
mengalirnya investasi seperti yang pernah terjadi di waktu-waktu belakangan,
bisa mengancam kedaulatan kita dalam berbangsa dan bernegara. Potensi
ketidakadilan dan keberpihakan kepada rakyat Indonesia menjadi ancaman yang
serius untuk kita sikapi bersama. Di sisi lain, lobi-lobi kelompok kanan
untuk melakukan liberalisasi ekonomi dan politik juga sangat terasa. Pemberlakuan
Omnibus Law, Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA), dan skema ekonomi
nasional yang terlalu pro pada investasi asing serta utang luar negeri, juga
terus mengancam kita dengan mendorong perubahan kultur sosial politik kita
yang juga menjadi sangat liberal. Termasuk cara kita dalam menyelenggarakan
demokrasi yang kian meninggalkan semangat musyawarah mufakat sebagaimana
diamanatkan sila ke-4 dalam Pancasila. Pilkada 2017 dan 2018, Pileg dan Pilpres
2019, serta Pilkada Serentak 2020 telah menunjukkan kepada kita karakter
demokrasi yang culas dan hanya berpikir ’menang-menangan’. Politik elektoral
berubah sedemikian rupa menjadi semata ajang untuk memperebutkan kekuasaan
belaka, berebut lobi dan pengaruh dengan agenda yang berbeda-beda, tak peduli
masyarakat terpolarisasi secara hebat. Bahkan, muncul benih-benih permusuhan
dan kebencian yang ongkos sosial-budayanya sangat tinggi. Munculnya karakter dukungan politik yang
kuat dibarengi dengan mencuatnya perbedaan ideologi adalah konsekuensi dari
tarik-menarik akibat polarisasi ini. Semangat nasionalisme jadi dipandang
begitu sempit sekaligus berlebihan, tajam mengatakan ”Aku Pancasila” sambil
menuduh yang lain tidak. Di sisi lain, politisasi agama juga
dilakukan secara brutal menghasilkan islamisme yang sempit dan simbolik
belaka, memungkinkan masuknya paham-paham ekstrem dan radikal—bahkan yang
mengandaikan format negara agama dengan penerapan syariat Islam sebagai hukum
formal. Begitu menyedihkan melihat apa yang terjadi
di Indonesia saat ini. Polarisasi politik yang menimbulkan permusuhan bahkan
kebencian, cebong vs kampret, buzzer vs kadrun, bisa terus tereskalasi
menjadi pikiran ”us vs them”, kami melawan mereka, yang sangat membahayakan
keutuhan kita berbangsa dan bernegara. Pesta demokrasi yang mahal sekali
ongkosnya bagi parpol maupun peserta pemilu menghasilkan pola-pola yang
sifatnya transaksional, merugikan dan membodohkan masyarakat. Sementara tensi politiknya tidak dikelola
dengan baik, penyelenggaraan pemilu yang amburadul, mengakibatkan jatuhnya
ribuan korban anggota KPPS yang meninggal. Setelah pemenang pilpres
diperoleh, pada akhirnya yang kalah bergabung juga dengan penguasa. Capres
dan cawapres penantang, keduanya kini menjadi menteri juga. Sementara
konsekuensi terbelahnya masyarakat menjadi kubu-kubu telanjur terjadi. Merajut
kebangsaan Pengubuan ini tentu tak bisa dibiarkan.
Kedepan kita perlu melakukan tiga hal. Pertama, rekonsiliasi nasional untuk
mengembalikan keutuhan kita dalam berbangsa dan bernegara. Para elite harus
meminta maaf kepada masyarakat dan berjanji tidak lagi menggunakan politik
identitas, politik agama, politik SARA untuk menyelenggarakan suksesi
kekuasaan. Ongkos sosialnya besar sekali yang harus dibayar. Mulai hari ini
masyarakat harus diajak bersatu kembali, menguatkan lagi spirit sila ke-3
Pancasila, ”Persatuan Indonesia”. Kedua, spirit Bhinneka Tunggal Ika,
nasionalisme yang berketuhanan adalah landasan ideologi yang final bagi
Indonesia. Polarisasi yang telanjur terjadi mengakibatkan kebingungan di
tengah masyarakat untuk berpegang pada ideologi mana yang harus diacu dalam
berbangsa dan bernegara. Posisi agama dan negara kembali dipersoalkan,
padahal sudah final didiskusikan oleh para founding fathers kita terdahulu. Munculnya gerakan-gerakan, kelompok, serta
organisasi tertentu yang menawarkan penerapan hukum Islam menjadi hukum
formal negara, bahkan mempromosikan konsep negara Islam melalui
internasionalisme khilafah, harus dicegah. Bangunan berbangsa dan bernegara kita sudah
final, kita adalah negara Pancasila yang berdasar pada sila pertama,
Ketuhanan yang Maha Esa, yang berorientasi pada Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia apa pun agama, suku, ras dan golongannya. Karena nilai-nilai
humanisme universal dijunjung tinggi dalam bingkai sila kedua, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Dalam hal Islam sebagai agama mayoritas di
Indonesia, di sinilah kita butuh Islam Tengah. Islam moderat yang modern
sebagaimana dijadikan pijakan berpikir oleh para founding fathers kita yang
ikut merumuskan dasar negara, Pancasila dan UUD 1945. NU dan Muhammadiyah,
dua ormas Islam terbesar di Indonesia, berpijak pada prinsip keislaman ini.
Islam yang berpijak pada spirit rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta
alam, yang menyadari pentingnya konsensus untuk kemaslahatan bersama. Dihilangkannya tujuh kata dari Piagam
Jakarta pada saat perumusan dasar negara bukanlah kekalahan umat Islam,
tetapi kebesaran hati dan kejernihan berpikir para ulama kita untuk
menegakkan Indonesia sebagai Rumah Besar bagi semua yang berlandaskan
nilai-nilai ketuhanan dan agama (religiositas). Para ulama kita itu memperkenalkan Islam
Tengah, Islam moderat, Islam Wasathiyah yang kini konsep berpikirnya bisa
kita pahami melalui gerakan Islam Berkemajuan milik Muhammadiyah atau Islam Nusantara
yang berpijak pada konsep Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) sebagaimana
dipegang Nahdlatul Ulama (NU). Islam Tengah ini, yang berpijak pada ajaran
Al Quran agar kita menjadi umat terbaik (khairu ummah), pada saat yang sama
bisa menjadi tawaran Indonesia untuk persoalan dunia. Benturan antarideologi
liberal dan komunis yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan Tiongkok,
di belahan dunia lain pun menghasilkan komplikasi ideologi yang mirip
sebagaimana terjadi di Indonesia. Konflik Timur Tengah yang ditandai dengan
menguatnya radikalisme dan ekstremisme Islam, kebangkitan white supremacy di
benua Eropa dan AS yang melahirkan Islamofobia, membutuhkan tawaran baru yang
bisa menengahi semua konflik itu. Islam Tengah khas Indonesia bisa menjadi jalan
keluarnya. Ketiga, yang terakhir sekaligus terpenting,
kita perlu memikirkan ulang format penyelenggaraan pesta demokrasi dan
politik elektoral kita. Perlu dipikirkan format baru yang lebih sesuai dengan
prinsip sila ke-4 Pancasila, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.” Konsep kita sejatinya
adalah perwakilan melalui musyawarah mufakat itu, yang penuh hikmat dan
kebijaksanaan, bukan demokrasi bebas yang hanya berpikir kompetisi
menang-menangan belaka. Berdiri
di tengah Sedih melihat apa yang terjadi saat ini di
Indonesia pasca-pemilu presiden dan pileg 2019. Di daerah dengan karakter
pemilih Islam yang kuat, partai nasionalis kalah telak. Sebaliknya, di daerah
dengan karakter pemilih nasionalis yang kuat, partai-partai bercorak Islam
kalah telak. Ini tak bisa dibiarkan. Ini jelas membahayakan untuk jangka
waktu yang lebih panjang. Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini
dengan dua ajakan. Pertama, penting untuk kita meneguhkan kembali ideologi
berbangsa dan bernegara, termasuk menyelaraskan ulang cara kita berislam saat
ini, di tengah pendulum ideologi dunia yang menarik kita ke kiri dan ke
kanan. Kita perlu tetap teguh berada di tengah,
Indonesia adalah negara berdaulat dengan prinsip politik luar negeri yang
bebas aktif, bebas artinya tidak berpihak pada pertarungan ideologi-ideologi
global yang saat ini ada, aktif artinya pro-aktif menyuarakan keberpihakan
kepada kemanusiaan dan keadilan yang beradab. Sebagai negara berpenduduk
mayoritas Muslim terbesar di dunia, Islam Indonesia adalah Islam Wasathiyah,
Islam Tengah, Islam yang bercorak kebudayaan dan berorientasi pada kemajuan
peradaban. Kedua, saya ingin mengajak seluruh elemen
bangsa untuk kembali memikirkan format terbaik apa yang bisa kita pakai untuk
menyelenggarakan politik domestik—terutama dalam hal politik elektoral. Apa
sebenarnya terjemahan dari konsep musyawarah mufakat itu? Apa yang
dimaksudkan oleh para pendiri bangsa ini dengan ’hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan’? Semoga pertanyaan itu bisa kita jawab
bersama-sama. Semoga kita semua bisa terus memberikan kontribusi terbaik
untuk keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan. Semoga Indonesia senantiasa
menjadi negara yang bersatu berdaulat, adil, makmur dan lebih maju di
kemudian hari, menjadi gemah ripah loh jinawi, baldatun thoyyibatun wa rabbun
ghafur. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar