Akankah
Megakota Jakarta Menggeser Tokyo Tahun 2030? NELI TRIANA ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
10 April
2021
Revolusi agrikultur dan industri yang
terjadi di Inggris antara pertengahan abad ke-18 dan abad ke-19 memicu
pertumbuhan kawasan perkotaan, termasuk di London. Pusat industri menarik
banyak orang untuk melabuhkan diri ke sana; bekerja dan menetap. Pada tahun
1900, London telah memiliki 4,5 juta penduduk. London berperan amat penting sebagai
penggerak utama ekonomi Inggris dan berpengaruh pada dinamika ekonomi ataupun
politik hampir separuh negara-negara di dunia kala itu, yang menjadi jajahan
kerajaan tersebut. Dalam sejarah perkembangan perkotaan, London tercatat
masuk dalam jajaran Kota Dunia (World Cities) bersama Paris di Perancis dan
New York di Amerika Serikat yang memiliki pengaruh dominan dalam kancah
global. London juga disebut sebagai cikal bakal megakota. Pada masa revolusi industri itu, London
bagai ditiup dan menggelembung cepat. Seiring berbagai kemajuan saat itu,
London disesaki berbagai masalah seiring mulai membengkaknya jumlah penduduk
miskin, sampah dan limbah kota tak terkendali, serta penyakit bermunculan,
seperti wabah kolera, cacar, dan flu Spanyol. Pabrik-pabrik di seantero kota menghadirkan
polusi suara, polusi udara, dan limbahnya merusak sungai serta tanah.
Kesibukan tak terperikan. Kota laksana meledak dengan lonjakan kekayaan,
tetapi sekaligus kotor, kumuh, dan kemiskinan pun masih mencengkeram erat sebagian
warga urban di sana. Tahun 1850-an, wabah kolera menggerakkan
London memperbaiki saluran buang dan memastikan sumber air konsumsi bebas
dari kontaminasi bibit penyakit. Pascawabah flu Spanyol tahun 1919, warga
jadi terbiasa menutup mulut dengan sapu tangan saat bersin dan tidak
menggunakan gelas yang sama bergantian. Secara bertahap, London juga mulai
memperbaiki sistem transportasi, menerapkan zonasi yang memisahkan kawasan
permukiman, perkantoran, dan industri, serta ruang terbuka hijau diperbanyak.
Warga diedukasi untuk memahami hak atas jaminan mendapat akses air bersih,
udara bersih, dan hak dasar lain, seperti akses pendidikan serta kesehatan
yang baik. Edukasi warga sebagai sumber daya manusia, penggerak utama kota
sebagai jaringan sosial menjadi keharusan agar ada kontrol terhadap
pemimpinnya. Seusai Perang Dunia I dan II, arah
perkembangan London sudah ada di jalur pembangunan kota yang makin melindungi
kepentingan penghuninya. Kini, London menjadi Kota Taman Nasional pertama di
dunia yang bertujuan mendorong lebih banyak orang menikmati alam bebas dan
mendukung semua warganya. Bisnis dan institusi kota juga didorong membuat
kota lebih hijau, lebih sehat, dan lebih alami. Warga London yang lebih sering beraktivitas
di ruang terbuka hijau membuat kota itu dapat menekan pengeluaran 950 juta
pound per tahun. Dalam perkembangannya, London tidak masuk dalam jajaran
megakota. Akan tetapi, dengan kebijakan yang diambil, London konsisten
menjadi kota berpengaruh di dunia hingga kini. Megakota, menurut World Urbanization
Prospects 2018 Highlights, merujuk pada suatu kawasan urban dengan jumlah
penduduk sedikitnya 10 juta jiwa. Pengertian lainnya, megakota adalah kota
yang dihuni 5-8 juta jiwa dengan kepadatan tinggi, yaitu 2.000 orang per
kilometer persegi. Dari sisi ekonomi, megakota dipastikan menyumbang
pendapatan nasional tertinggi suatu negara dan berkontribusi besar pada
perputaran ekonomi internasional. Setidaknya, dari jumlah penduduk saja
megakota secara nyata menyuguhkan pasokan tenaga kerja besar sekaligus pasar
berisi konsumen yang akan melahap berbagai produk. Beralih
ke Asia Kota-kota yang terus menggenjot
pertumbuhannya seusai flu Spanyol mewabah di awal abad ke-20 adalah New York dan Tokyo di Jepang.
New York berkembang pesat dan pada 1930-an dinobatkan menjadi megakota
pertama di dunia. Pada 1950, Tokyo dan kawasan sekitarnya (Greater Tokyo)
menggeser posisi New York dan dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa. Seperti halnya London yang tidak mau
menerus terjebak dalam masalah perkotaan, Tokyo kini menjadi megakota dengan
tatanan kawasan urban yang baik. Kota ini makin bernilai lebih dengan
adaptasi terhadap gempa yang memang menjadi langganan bencana di Jepang. Tahun 2020, penduduk Greater Tokyo mencapai
37,39 juta jiwa dan menandai posisinya sebagai megakota nomor 1 di dunia
sejak 1950 yang belum tergantikan. Hingga 2018, tercatat sudah ada 34
megakota dengan 20 megakota di antaraya berada di Asia. Pada 2035, World
Urbanization Prospects 2018 memprediksi akan ada 41-53 megakota dan sebagian
besar di Asia. Megakota yang sudah ada dan yang lahir nantinya dilaporkan
lebih banyak berada di negara berkembang. Jakarta menjadi salah satu kota di Asia
yang masuk jajaran megakota dunia. Jika berdiri sendiri terhitung dengan
10,56 jiwa, Jakarta ada pada peringkat ke-31 megakota saat ini. Secara
aglomerasi, kawasan bersama Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan
sekitar 30,5 juta jiwa penduduk, Jabodetabek melesat masuk posisi kedua di
bawah Tokyo dan di atas Delhi, India. World Economic Forum bahkan menyatakan
pada 2030, Jakarta diyakini menggeser posisi Tokyo. Buku The Rise of Megacities: Challenges,
Opportunities and Unique Characteristics (2017) menyebutkan, bersama New
York, London, Paris, serta sejumlah kota lain di Amerika Utara dan Eropa,
Tokyo menjadi megakota yang memasuki tahap dewasa. Kota-kota itu belajar dari
pengalaman pahit yang mendera dan berkembang menjadi kawasan urban raksasa
yang bernasib baik. Meskipun diakui masih sulit mengesampingkan isu-isu
mendasar, seperti ketimpangan si kaya dan si miskin serta dampak lingkungan
yang belum teratasi sepenuhnya. Sebaliknya, megakota seperti Jakarta,
Delhi, Karachi (Pakistan), juga Kairo (Mesir), sedang mengalami fase seperti
London, New York, dan Tokyo di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kombinasi
berbagai faktor menyebabkan kondisi itu,
termasuk migrasi dari daerah perdesaan, tingkat kelahiran bayi yang
tinggi, dan pelebaran batas kota. Kebutuhan dan aktivitas penduduknya
melampaui hampir semua batasan daya dukung lingkungan, yang memunculkan
ancaman kekurangan pangan, air bersih, kemacetan lalu lintas, fasilitas
kesehatan, dan fasilitas pendidikan yang tidak memadai. Untuk Jakarta, kebijakan pemerintah saat
ini yang akan menanggalkan status ibu kota negara dan membuat kota ini menyandang
satu fungsi sebagai pusat bisnis, bisa jadi akan mengubah prediksi megakota
pada 2030. Akan tetapi, Jakarta dan sekitarnya yang sudah telanjur meraksasa
dengan segala problemanya tetap membutuhkan penanganan komprehensif agar
dapat menjadi kota yang lebih baik bagi warganya. Calon ibu kota negara baru
Indonesia di Kalimantan Timur pun memiliki tantangannya tersendiri. Rencana
dan kendali World Population History memaparkan
berlipat gandanya megakota selalu seiring sejalan dengan pertumbuhan area urban.
Berkaca dalam seabad terakhir, ada gejala umum yang menunjukkan permukiman
yang saat ini dihuni jauh di bawah 500.000 orang hingga 1 juta orang akan
berpeluang besar berkembang menjadi perkotaan yang lebih padat dan besar. Gejala ini akan berujung sebagai kota
berkelanjutan, hanya jika pemerintah terkait bersama warga urban menyadari
perubahan yang akan terjadi. Lalu,
secara sadar membuat perencanaan menyeluruh dan ketat mengendalikan
realisasi pembangunan. Kawasan dengan pertumbuhan tinggi pada masa
depan memerlukan perencanaan kota strategis yang masing-masing disesuaikan
dengan sejarah kota, budaya, sistem nilai, daya dukung lingkungannya, serta
kekhususan lainnya. Jadi, tidaklah penting apakah Jakarta akan menggeser
Tokyo pada tahun 2030 atau tidak. Dengan memperhatikan isu keadilan sosial,
penggunaan sumber daya alam, potensi bencana, dan masalah lain yang biasa
menghinggapi kota modern, perencanaan yang komprehensif menjadi satu-satunya
cara membantu memastikan kesehatan dan kesejahteraan masa depan penduduk
Jakarta ataupun kawasan lain di Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar