Tantangan
Alat Negara di Tahun Politik
Ikhsan Yosarie ; Peneliti Setara Institute, Jakarta;
Alumnus Ilmu Politik Universitas Andalas
|
KORAN
SINDO, 04 April 2018
Pilkada Serentak 2018 dan Pemilihan Presiden
2019 menjadi agenda penting dalam demokrasi Indonesia. Apa yang terjadi
selama proses penyelenggaraannya dapat menjadi gambaran bagaimana kondisi dan
realitas demokrasi Indonesia kontemporer. Apakah akan terjadi perpecahan atau
disintegrasi atau akan berjalan dengan aman dan damai. Artinya, demokrasi
Indonesia tidak lagi melihat pemilu sebagai satu kesatuan untuk menilai
baik-buruknya demokrasi. Tetapi, dipecah menjadi sub-sub bagian yang memiliki
substansi tersendiri, mulai dari input, proses kampanye, netralitas alat
negara, kebebasan masyarakat, gagasan berpolitik, kemudian sampai kepada outputnya.
Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada soal tantangan alat negara di
tahun politik.
Fondasi Tuntutan mengenai netra li - tas dan profesionalitas alat ne - gara akan semakin kuat dan di - sorot saat tahun politik berada di depan mata. Alat negara me - rupakan kesatuan yang di per - senjatai secara lengkap. Arti - nya, posisi mereka dalam alam demokrasi tidak boleh ber - sentuhan dengan politik pra k - tis. Indonesia memiliki pre se - den buruk mengenai ini, yakni ketika alat negara terlibat po li - tik praktis. Karena itu, pintupintu yang berpotensi me - ngem ba likan Dwi Fungsi ABRI layaknya ketika Orde Baru me - mang harus ditutup. Hal itu pen ting agar TNI-Polri menjadi alat negara yang tangguh dan profesional dengan tupoksinya di bidang pertahanan k e aman - an negara. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Na sional Indonesia Pasal 2 hu - ruf D menjadi fondasi utama untuk melihat bagaimana se - harusnya posisi TNI terhadap politik praktis. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa salah satu jati diri TNI adalah Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, dan tidak berpolitik praktis. Meskipun ketika Orde Baru ataupun di masa sebe lum - nya TNI (ABRI ketika itu) terli - bat politik praktis, fenomena itu tidak lagi sesuai dengan se - karang. Perlu dilakukan rekons - truksi dan direlevankan dengan perkembangan demokratisasi Indonesia saat ini agar jati diri TNI pasca-Orde Baru adalah tentara yang profesional. Jati diri TNI sudah ter - akomodasi dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pada Pasal 2 akan tampak bahwa jati diri yang utama dari TNI adalah Tentara Rakyat. Inilah dasar dari slogan rakyat sebagai ibu kandung TNI. Tentara Indo - nesia berasal dari rakyat yang angkat senjata melawan pen - jajah. Rakyat yang berjuang dengan mengangkat senjata itu belum melalui seleksi-seleksi seperti sekarang. Panggilan cin - ta Tanah Air dan nasionalisme menjadi kuncinya sehingga semangat juang ini mampu melekat menjadi DNA pejuang dalam jati diri TNI yang kedua, yaitu sebagai Tentara Pejuang. Masih dalam UU yang sama, fondasi berikutnya terletak pada Pasal 39 yang berisi larangan prajurit untuk menjadi anggota partai politik dan kegiatan politik praktis. Sementara fondasi utama kepolisian terletak pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No - mor 2 Tahun 2002 tentang Ke - polisian Negara Republik In do - nesia. Dalam pasal tersebut secara jelas dan tegas dikatakan bahwa Kepolisian Negara Re - publik Indonesia bersikap ne - tral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Ke mu - dian disambung dengan ayat (2) bahwa anggota Kepolisian Ne - gara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.Keberadaan fondasi ini menjadi jaminan terhadap profesionalitas dan netralitas sikap alat negara dalam tahun politik. Ujian Menanti Netralitas dan profe sion a - litas alat negara kembali di uji pada tahun politik 2018 dan 2019. Salah satu penyebabnya adalah ketika ada calon yang berasal dari kalangan TNI atau Polri, baik yang baru pensiun pasca penetapan calon maupun yang telah pensiun sebelum - nya. Pada Pilkada 2018 ini be - berapa nama calon kepala da - erah tercatat berasal dari ka - langan TNI-Polri. Dengan begitu, aparat dari TNI-Polri, baik secara lembaga maupun in di - vidu tentu jangan sampai mem - beri bantuan dalam bentuk apa pun terhadap calon tersebut meskipun itu berarti prajurit yang sempat menjadi bawahan para calon ketika masih aktif dahulu, harus berani menolak permintaan bantuan yang ber - potensi melibatkannya ke da - lam arus politik praktis. Relasi atasan-bawahan harus ter pu - tus dalam hal ini. Dalam konteks Pemilihan Presiden 2019 nanti memang belum ada nama yang pasti se - bagai calon presiden, selain Joko Widodo (petahana). Na mun, beberapa nama yang ber - asal dari kalangan TNI seperti Pra bowo Subianto, Gatot Nurmantyo, dan Agus Harimurti Yudhoyono masih ber kemungkinan maju sebagai calon presiden mau pun calon wakil presiden. Nama-nama ter se - but masuk survei yang di la ku - kan oleh be berapa lembaga in - dependen. Kontestasi pilpres ini akan menjadi ujian yang berpotensi lebih berat. Potensi yang di mak - sud adalah kemungkinan di - gulir kan kembali isu polarisasi sipil-militer. Pola-pola kampa - nye ataupun isu-isu yang di gu - lirkan kemudian dibangun dan dibentuk untuk mem bang kit - kan semangat korps. Dalam hal ini, semangat korsa yang di mi - liki dapat bertransformasi atau ditransformasikan menjadi alasan utama untuk memilih ka rena polarisasi yang dibentuk adalah sipil-militer. Panglima TNI dan Kapolri ju ga harus tegas dalam hal ini. Imbauan-imbauan tidak bisa lagi bersifat umum seperti agar prajurit TNI dan anggota Polri untuk netral dan profesional di tahun politik. Tetapi, imbauan tersebut harus memiliki tu - runan nya masing-masing agar tidak ada celah politisasi masuk. Turunan tersebut bisa dalam bentuk: pertama, bagaimana jika isu-isu yang muncul men je - lang masa pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden adalah kontestasi sipil-militer? Kedua, imbauan tersebut harus sampai kepada antisipasi menge nai respons prajurit TNI dan anggota Polri jika diminta ban - tuan oleh mantan atasan me re - ka yang menjadi calon. Dan, ketiga, imbauan tersebut harus sampai kepada perlindungan atas kemurnian semangat korsa agar tidak dijadikan komoditas politik. Secara internal Panglima TNI dan Kapolri harus menutup pintu rapat agar politik praktis itu tidak masuk ke institusi yang mereka pimpin. Merincikan imbauan menjadi salah satu caranya. Pintu itu perlu ditutup rapat lantaran calon yang berasal dari kalangan TNI-Polri pada dasarnya memiliki semacam tiket untuk masuk karena mereka dulu pernah menjadi orang dalam. Khusus untuk imbauan nomor tiga tersebut, mengarah kepada calon kepala daerah atau calon presiden/wakil presiden yang berasal dari kalangan TNI-Polri. Sekali lagi, agar semangat korsa tidak dijadikan komoditas politik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar