Menimbang
Perppu untuk Cakada Tersangka
Allan Fatchan Gani Wardhana ; Peneliti Pusat Studi Hukum
Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII & LPBH NU DIY
|
KORAN
SINDO, 04 April 2018
BANYAKNYA calon kepala daerah (cakada) yang
ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat
perhatian sejumlah pihak. Setidaknya sudah ada tujuh calon kepala daerah yang
berstatus tersangka dan sebagian sudah ditahan oleh KPK. Mereka ialah calon
gubernur Lampung Mustafa; calon bupati Subang Imas Aryumningsih; calon bupati Jombang Nyono Suharli
Wihandoko; calon wali kota Malang Mochamad Anton, serta Yaqud Ananda Qudban;
calon gubernur NTT Marianus Sae; calon gubernur Sulawesi Tenggara Asrun; dan
calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus.
Terhadap calon kepala daerah yang berstatus
tersangka tidak dapat dilakukan pergantian. Hal ini diatur dalam Pasal 43 UU
Nomor 10/2016 (UU Pilkada) yang intinya mengatur bahwa partai politik
(parpol)/gabungan parpol dilarang menarik calonnya dan/atau calonnya dilarang
mengundurkan diri terhitung sejak pendaftaran sebagai calon pada KPU provinsi
atau KPU kabupaten/kota. Dalam hal parpol/gabungan parpol menarik calonnya
atau calonnya mengundurkan diri, parpol/gabungan parpol yang mencalonkan
tidak dapat mengusulkan calon pengganti.
Apabila dengan sengaja menarik atau
mengundurkan diri, maka sesuai Pasal 191 pimpinan parpol/gabungan parpol
beserta calonnya diberikan hukuman penjara paling singkat 24 bulan dan paling
lama 60 bulan dengan denda paling sedikit Rp25 miliar dan paling banyak Rp50
miliar.
Tiga Opsi
Berdasarkan hal di atas, tidak terdapat peluang
sama sekali bagi calon kepala daerah yang berstatus tersangka untuk
mengundurkan diri ataupun diganti. Banyak elemen yang kemudian resah apabila
dalam pilkada nanti diberikan pilihan pemimpin yang terbelit kasus hukum.
Menyikapi keresahan tersebut muncul berbagai opsi. Misalnya muncul usulan
dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mengatur penggantian calon
kepala daerah yang menjadi tersangka melalui Peraturan KPU Komisi Pemilihan
Umum (PKPU). Kemudian usulan dari KPK dan beberapa parpol agar pemerintah
mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Secara ketatanegaraan ada tiga solusi untuk
mengatasi masalah calon kepala daerah tersangka dengan konsekuensi
masing-masing. Pertama, mendesak DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi
terbatas terhadap Pasal 43 dan Pasal 191 yang nantinya dapat memberikan
peluang pergantian calon kepala daerah. Konsekuensinya, bahwa proses revisi
ini membutuhkan waktu cukup lama karena harus diusulkan, disusun, dibahas,
dan disetujui bersama. Sementara pilkada serentak akan dilaksanakan bulan
Juni 2018.
Kedua, membuat PKPU untuk mengatur pergantian
calon kepala daerah tersangka. Akan tetapi, solusi ini rawan mendapatkan
pertentangan mengingat bahwa PKPU itu hakikatnya merupakan peraturan
pelaksana (delegated legislation) untuk melaksanakan aturan di atasnya (UU
Pilkada). Jika UU Pilkada tidak memberikan peluang pergantian calon kepala
daerah, PKPU tidak dapat mengatur hal yang tidak diamanatkan oleh
undang-undang.
Ketiga, mendesak presiden untuk mengeluarkan
perppu dengan konsekuensi penetapannya harus dilaksanakan segera. Solusi yang
ketiga inilah tampaknya yang perlu untuk dipertimbangkan sebagai solusi hukum
yang tepat untuk mengganti calon kepala daerah tersangka.
Genting
Memaksa
Perppu hakikatnya merupakan Hukum Tata Negara
Darurat (Staatsnoodrecht), yaitu upaya khusus yang dilakukan untuk mengatasi
masalah yang sifatnya darurat dan genting. Dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945,
perppu dapat dikeluarkan oleh presiden ketika negara dalam keadaan genting
yang memaksa. Jimly Ashiddiqqie (Ketua MK 2003-2008) memberikan tiga batasan
perppu dapat keluar, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk bertindak
(reasonable necessity); waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau
adanya kegentingan waktu; dan tidak tersedia alternatif lain/menurut
penalaran yang wajar, alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi
keadaan sehingga penetapan perppu merupakan satu-satunya solusi.
Adapun MK sendiri pernah memberikan rambu-rambu
dikeluarkannya perppu (melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009) di mana
perppu dapat dikeluarkan apabila terdapat kekosongan hukum serta adanya
keadaan/kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat.
Dikaitkan dengan masalah calon kepala daerah tersangka, sebenarnya cukup
alasan bagi presiden untuk mempertimbangkan mengeluarkan perppu sebagai solusi
hukum yang tepat. Terdapat beberapa urgensi.
Pertama, bahwa faktanya UU Pilkada yang berlaku
saat ini tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap parpol/gabungan parpol
dan calon kepala daerah untuk mengundurkan diri ataupun melakukan pergantian,
meski terdapat calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Justru kalau
mengundurkan diri akan diberikan sanksi sesuai UU Pilkada.
Kedua, alternatif solusi hukum lain seperti
revisi UU Pilkada dengan prosedur biasa memerlukan waktu cukup lama. Padahal,
pilkada akan berlangsung bulan Juni tahun ini sehingga belum memungkinkan
untuk dilakukan. Begitu pun jalan untuk mengatur pergantian calon kepala
daerah tersangka melalui PKPU kurang tepat mengingat bahwa derajat PKPU
merupakan peraturan pelaksana dari aturan di atasnya (UU Pilkada).
Ketiga, dalam negara yang demokratis,
seharusnya parpol menyediakan alternatif pilihan pemimpin yang memiliki
kompetensi, integritas, serta tidak terbelit kasus hukum. Sudah cukup alasan
bagi presiden untuk mengeluarkan perppu untuk mengganti calon kepala daerah
yang berstatus tersangka. Rakyat harus diselamatkan dari calon pemimpin yang
bermasalah dan korup. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar