Menulis
dan Membaca Kembali Surat-surat
di
Era WhatsApp
Hanputro Widyono ; Redaktur sebaran Katebelece
|
DETIKNEWS,
16 Maret
2018
Puluhan
pelajar SMPN 2 Colomadu, Karanganyar berkumpul di Aula Sekolah. Mereka
bersekutu untuk menulis surat bersama-sama. Surat mesti ditulis tangan di
selembar kertas yang sudah dibagikan. Tampaknya, menulis surat bukanlah hal
yang mudah buat mereka. Jari-jemari dan mata pelajar milenial telanjur terpapar
kecanggihan telepon genggam. Untuk keperluan berkabar pada orang lain, mereka
biasa melakukannya lewat pesan pendek, WhatsApp, Line, atau aplikasi lainnya.
Sehingga, barangkali, pengalaman menulis surat --di luar mata pelajaran
Bahasa Indonesia-- baru pertama kalinya mereka lakukan.
Kita
ingat pernyataan Hildred Geertz dalam bukunya yang terkenal Keluarga Jawa
(1983) bahwa "banyak pelajar tak pernah menulis surat untuk orangtua
mereka karena takut berbuat salah, terlebih-lebih dalam tulisan". Memang,
konteks pernyataan Hildred Geertz itu berlainan dengan situasi yang terjadi
di Aula SMPN 2 Colomadu. Hildred membicarakan surat dalam bahasa krama
inggil, sedangkan pelajar-pelajar SMPN 2 Colomadu menulis dalam bahasa
Indonesia. Meski demikian, pernyataan itu tetap relevan untuk memberi secuil
gambaran pelajar-pelajar masa kini.
Keterasingan
menulis surat untuk orangtua, khususnya ibu, tampak dari keterbatasan para
pelajar untuk menuliskan banyak hal dalam hidupnya. Alhasil, surat-surat yang
dihasilkan hanya pendek-pendek. Simaklah surat Vika AFF yang hanya delapan
kalimat atau 317 karakter dengan spasi. Surat itu tak lebih panjang dari
jumlah karakter dua buah pesan pendek di telepon genggam: "Jujur saja,
aku tak mampu tak dapat uang saku darimu. Jangan hukum diriku, karena aku
sayang padamu. Mi, ingat enggak, kalau kamu itu selalu janji, janji, janji
pada diriku untuk beli Samsung yang 4G LTE? Mi, aku boleh minta sesuatu
enggak? Aku minta uang sakunya dilebihin, Mi! Aku sayang kamu. Just you in my
heart." Surat ini pelit kata-kata, tapi penuh dengan permintaan. Walau
begitu, kita boleh mengapresiasi kejujuran yang coba diungkapkan.
Kebingungan
menulis surat, tampaknya juga dialami Arif Aulia Rahman. Arif terasa sedang
menulis cerpen ketimbang menulis sebuah surat. Sepanjang surat, pembaca tak
dapat menemukan alamat (orang) yang disurati Arif. Kita simak: "Suatu
ketika, kududuk termenung dan sedih meratapi nilai rapor ulanganku kurang
baik. Satu kata yang terlintas di benak dan pikiranku, 'Aduh, gimana ya kalau
dimarahi bapak?' Tak lama kemudian, ibu datang menghampiriku. 'Uwis, Le.
Tenang wae. Biji kurang apik rapopo sing penting jujur lan sesuk sinau luweh
sregep meneh.' Kata-kata ibu membuatku tenang. Menyejukkan hati dan
pikiranku. 'Njeh, Bu!' Jawabku sambil mesem."
Seperti
apa pun hasilnya, surat-surat yang rencananya ditujukan buat Ibu telah usai
ditulis. Para pelajar tak disuruh mengirimkan suratnya lewat pos. Mereka
justru diminta mengumpulkan suratnya untuk kemudian diketik dan dijadikan
buku. Pembaca bisa menyimak surat-surat pelajar SMPN 2 Colomadu itu dalam
buku berjudul Surat buat Ibu (2018). Surat pun berumah di buku.
Gelagat
untuk merumahkan surat di buku tanpa pernah mengirimkannya lewat pos juga
dilakukan oleh penyair Joko Pinurbo (Jokpin). Pada 2016, Jokpin menulis surat
untuk ibunya dalam bentuk puisi dan dimuat di Buku Latihan Tidur (2017). Di
dalam suratnya, Jokpin mengabarkan bahwa di akhir tahun itu ia tak bisa
pulang lantaran sedang sibuk demo memperjuangkan nasibnya yang terasa keliru.
Jokpin juga menceritakan pertemuannya dengan seorang teman yang dulu sering
numpang makan dan tidur di rumahnya. Sayang, pertemuan itu justru
memporak-porandakan pertemanan selama ini. Keduanya telah saling sikut
gara-gara urusan politik dan uang. Kehidupan di Jakarta bisa mengubah banyak
hal, katanya.
Kabar
dari Jokpin tak terlalu menggembirakan. Tapi Jokpin selalu berharap ibunya
sehat dan bahagia tanpa perlu mengkhawatirkan keadaannya. Di akhir surat,
Jokpin menutup dengan kalimat: Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu/
berdentang nyaring dan malam damaimu/ diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di
kuburan. Kita tak tahu dalih Jokpin memilih merumahkan surat di buku. Yang
jelas, pencetakan surat-surat dalam buku mengakibatkan status mulanya sebagai
"surat pribadi" pun berubah menjadi "surat terbuka".
Orang-orang akan bebas masuk-keluar wilayah pribadi penulis surat.
Derita
perasaan semacam itu dirasakan Ajip Rosidi kala surat-suratnya yang ditulis
selama mukim di Jepang hendak diterbitkan. Ajip mengaku kepada J.J. Rizal,
penyunting buku Yang Datang Telanjang: Surat-Surat Ajip Rosidi dari Jepang
1980-2002 bahwa ketika buku kumpulan surat-suratnya terbit ia seperti dipaksa
bertelanjang di muka umum. Rizal mengatakan, "Semua ditampilkan secara telanjang,
apa adanya, dan Ajip telah merelakan setiap orang untuk memasuki daerah yang
sangat pribadi, yakni perasaannya, pemikirannya, ide atau pandangan hidupnya,
serta lain-lain yang sensitif dan tak mungkin diungkapkan dalam media massa
atau forum diskusi."
Kesiapan
mental Ajip tentu tak seteguh pelajar-pelajar SMPN 2 Colomadu atau Jokpin
yang sejak menulis surat sudah berpretensi bakal merumahkannya di buku. Ajip
menulis surat-surat itu benar-benar secara pribadi dan sempat dikirimkan
lewat pos kepada teman-teman di Indonesia. Kesadaran menulis "surat
terbuka" atau "surat pribadi" tentu berpengaruh pula pada
isian yang akan dicurahkannya. Maka saat surat-suratnya dipilihi Rizal,
terpaksa Ajip menahan beberapa surat lantaran dianggap belum waktunya
disiarkan.
Selama
di Jepang, Ajip mengaku menulis sekitar 500 pucuk surat setiap tahunnya. Kita
bisa membayangkan betapa banyak surat yang ditulisnya selama 21 tahun di
Jepang, mungkin sekitar 10 ribu pucuk. Dan di buku Yang Datang Telanjang itu
Rizal hanya memuat 270 surat. Artinya, "ketelanjangan" Ajip tak
bulat-bulat amat, seperti melihat Ajip masih mengenakan celana dan singlet.
Pembaca percaya keputusan itu telah melalui pelbagai pertimbangan dan
bertujuan baik. Sekalipun begitu, penerbitan kumpulan surat Ajip Rosidi tetap
penting bagi pembaca yang ingin menyimak perkembangan biografi pemikiran Ajip
dari tahun 1980-2002.
Pembaca
insaf, ada banyak tujuan dan kepentingan di balik penerbitan surat-surat
pribadi. Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (2012) sempat
mendakwa penerbitan surat-surat Kartini oleh J.H. Abendanon berkepentingan
untuk memuluskan ambisi pribadi Abendanon. Pemuatan 61 surat Kartini kepada
keluarga Abendanon dari total 105 surat dalam Door Duisternis tot Licht
(1911) disebut Pram sebagai upaya untuk mencitrakan ketergantungan Kartini
pada keluarga tersebut. Padahal diperkirakan, masih banyak surat-surat
Kartini kepada alamat lain yang tak disertakan Abendanon. Dampaknya,
Abendanon dianggap "sahabat" Pribumi dan peluangnya berkarier dalam
kabinet pemerintah Belanda semakin besar.
Penerbitan
surat-surat pribadi dalam sejilid buku telah berlangsung lama di Indonesia.
Namun, penerbitan buku kumpulan surat di zaman digital ini menjadi semacam
kokok ayam di tengah senjakala jagat surat-menyurat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar