Minggu, 01 April 2018

Film Indonesia dan Sentimen Jawa

Film Indonesia dan Sentimen Jawa
Udji Kayang Aditya Supriyanto  ;   Peminat Kajian Perkotaan;
Penulis buku Rerasan Urban (2016)
                                                    DETIKNEWS, 16 Maret 2018



                                                           
Film komedi garapan Youtuber kondang Bayu Skak sudah tayang dan menjawakan bioskop. Film itu berjudul Yowis Ben (2018), dibintangi Bayu Skak sendiri bersama Cut Meyriska, Joshua Suherman, Tutus Thomson, dan Brandon Salim.

Sejak awal, Yowis Ben bermasalah dan kontroversial. Ide cerita Yowis Ben dituding meniru film komedi terkenal dari Thailand, SuckSeed (2011). Yowis Ben dan SuckSeed memang sama-sama mengisah pemuda wagu yang berambisi jadi anak band keren demi memikat pujaan hati. Namun, yang paling dipermasalahkan publik dari film Bayu Skak adalah penggunaan bahasa Jawa di Yowis Ben.

Berbagai kritik, meski lebih tepat dibilang nyinyir, bermunculan. Kita mesti menyiapkan tisu untuk menghadapi nyinyiran warganet terhadap Yowis Ben. Keputusan membuat film berbahasa Jawa dianggap etnosentris dan tak nasionalis.

"Saran gw ya jangan jawa lah nggak bhinekatunggalika banget lo. Ini indonesia, bukan jawa doang sori," itu komentar salah satu warganet sembari langsung mencolek akun Bayu Skak, @moektito.

Kita menengok komentar lain, "dih siapa sih lo youtuber jawa nggak mikir ya kalo bikin film. Indonesia itu luas bukan jawa doang. Iya sih orang jawa banyak, ya makanya di eksport wkwk. Gw bukan nggak support lo tapi buat saran buat lo yang general dong kalo bikin film."

Kita tertegun menemui pernyataan "makanya di eksport". Pernyataan itu mungkin representasi stereotip orang Jawa. Stereotip itu kemungkinan mengendap di pusat, alias Jabodetabek, mengingat warganet terkait memakai sapaan "lo" dan "gw". Kita bertemu penegasan stereotip lewat komentar-komentar warganet lain.

"Film untuk para TKW," kata salah satu warganet. Stereotip orang Jawa bukan hanya tenaga kerja yang dikirim ke negara lain, tapi juga pembantu rumah tangga di kota-kota. "Film jawa yang nonton cuma pembantu haha," dan yang lain bilang, "bakal sepi nih rumah pembokat nonton semua wkwkwk."

Film berbahasa Jawa dianggap etnosentris, padahal warganet sendiri yang justru merendahkan Jawa. Warganet nyinyir, "jawa semua nggak level filmnya." Bahasa Jawa dibilang bahasa kampung, "jaman sekarang masih pakek bahasa kampung." Bahkan, nyinyir sampai ke sentimen politis, "jawa katrok kecebong." Kita tahu, term "kecebong" kerap digunakan kalangan anti-Jokowi untuk menyebut pendukung orang nomor satu di Indonesia itu.

Memandang rendah film hanya karena berbahasa Jawa jelas menunjukkan ada sentimen kedaerahan yang menodai keberagaman. Bukan Yowis Ben yang etnosentris, tapi justru para warganet berikut segala peremehannya.

Kita berprasangka baik saja, barangkali warganet bukan sedang membenci Jawa. Mereka mungkin membenci Bayu Skak tapi kebablasan saat nyinyir, lantaran membawa identitas kejawaan Bayu. Mereka mungkin lupa, sudah ada film bagus berbahasa Jawa sebelum Yowis Ben. Film itu berjudul Siti (2014), disutradarai oleh Eddie Cahyono dan dibintangi Sekar Sari, Bintang Timur, Haydar Saliz, Ibnu Widodo, dan Titi Dibyo.

Siti menyabet sekian penghargaan penegas kualitasnya, semisal di Singapore International Film Festival 2014, "Asian New Talent Award" Shanghai International Film Festival 2015, 17th Taiwan International Film Festival 2015, 23rd Filmfest Hamburg 2015, dan tentu saja Festival Film Indonesia 2015.

Pada Festival Film Indonesia 2015, Siti memenangkan lima kategori: film terbaik, penulis skenario asli terbaik, penata musik terbaik, sutradara terbaik, dan sinematografi terbaik. Dengan demikian, kita boleh menyimpulkan Siti mengalahkan film-film lain se-Indonesia sepanjang tahun itu. Siti film berbahasa Jawa yang sukses di tingkat nasional, bahkan internasional.

Siti jelas berbicara masyarakat bawah, tentang perempuan yang terpaksa menjadi pendamping laki-laki genit di karaoke remang-remang. Namun, tiada sentimen "Jawa itu rendah" yang tertanam di benak penonton saat melihat-menilai Siti. Apa lantaran film itu bukan garapan Youtuber dengan bejibun follower dan terutama hater? Entahlah.

Dua tahun kemudian, kita kembali bertemu film bagus berbahasa Jawa. Setahun setelah rilis, film itu akhirnya ditayangkan bioskop. Kita mengingat film Ziarah (2016) garapan B.W. Purba Negara, penyabet Piala Citra untuk penulis skenario asli terbaik. Film berkisah perjalanan Mbah Sri mencari makam suaminya yang hilang pada masa Agresi Militer Belanda II tahun 1949. Mbah Sri sadar usianya di ujung senja dan ingin kelak dimakamkan di sebelah makam suaminya. Perjalanan nekat ia lakukan. Ziarah ke masa silam ditunaikan.

Ziarah merasa wajib menggunakan bahasa Jawa agar cerita tak terlepas dari konteks: latar dan peristiwa. Ziarah pun membuktikan kebahasaan bukan penghalang untuk mendekati penonton, dari mana pun mereka berasal.

Segala nyinyir warganet pada Yowis Ben jelas tak layak dibenarkan. Suatu film tak bisa dibilang buruk hanya karena berbahasa Jawa. Terkait kemungkinan eksklusif film berbahasa Jawa, kita bisa mengingat film Turah (2017). Penutur bahasa ngapak kiranya tak lebih banyak dari penutur bahasa Jawa pada umumnya. Kendati begitu, Turah justru jadi salah satu film sukses di tahun 2017 meski hampir seluruhnya berbahasa ngapak.

Tentu saja, Yowis Ben berada di level kualitas yang berbeda dengan Siti, Ziarah, maupun Turah. Tapi, bukan berarti Yowis Ben pantang dikritik. Film itu pantas dikritik habis dengan kritik serius, alih-alih nyinyir berlandas sentimen etnosentris. Tapi, yo wis ben, warganet kita memang begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar