Belajar
dari Kasus Cacing Ikan Kalengan
Purwiyatno Hariyadi ; Guru Besar Teknologi Pangan IPB
|
KOMPAS,
06 April
2018
Berbagai negara memberikan anjuran
kepada warganya untuk mengonsumsi ikan dan produk turunannya, termasuk
makerel kalengan. Anjuran ini dilakukan karena penelitian menunjukkan
bahwa konsumsi ikan memberikan manfaat yang besar, jauh lebih besar
dibandingkan potensi risiko kesehatan yang mungkin ditimbulkannya.
Risiko kesehatan ini umumnya
berkaitan dengan cemaran pada ikan; baik cemaran fisik, kimia ataupun
biologi. Cemaran fisik berupa materi asing yang dapat membuat ikan
menjadi tidak layak konsumsi. Cemaran kimia pada ikan dapat berupa
senyawa anorganik (arsen, cadmium, timbal, merkuri, selenium), senyawa
organik (dioksin, insektisida) serta berbagai senyawa lain seperti
nitrosamine, antibiotika dan hormon. Sementara cemaran biologi dapat
berupa bakteri patogen, virus, dan parasit.
Parasit dan standar keamanan
pangan
Keberadaan parasit pada ikan
merupakan bagian normal ekosistem sebagian besar perairan. Lebih 50
jenis parasit pada ikan telah diidentifikasi. Beberapa jenis parasit
pada ikan dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius, jika tertelan dalam
kondisi hidup, atau jika mampu bertahan hidup pada saluran pencernaan manusia
yang mengonsumsi ikan mentah tanpa melalui proses penanganan dan pengolahan
yang tepat. Dalam kondisi hidup, cacing dapat menempel di dinding
esophagus, lambung, atau usus dan menyebabkan penyakit anisakiasis.
Jadi, risiko anisakiasis ini
berhubungan dengan konsumsi ikan dalam kondisi segar dan mentah, yang
mengandung cacing atau telur cacing anisakis. Karena itu, cara terbaik
mencegah penyakit anisakiasis adalah dengan menghindari makan ikan segar dan
mentah atau kurang matang.
Keamanan pangan merupakan hal yang
sangat penting. Karena itu, pengendalian parasit pada ikan untuk
mengurangi risikonya terhadap kesehatan terus dilakukan. Lembaga standar
pangan internasional, CODEX Alimentarius Commission (CAC), telah
mengembangkan panduan penanganan dan pengolahan sebagai upaya manajemen
risiko, khususnya untuk meminimisasi risiko berkaitan dengan parasit
tersebut. Salah satu panduan CAC ini adalah Code of Practice For Fish
and Fishery Products (CAC/RCP 52-2003). Industri perikanan dan
pengolahan ikan komersial perlu mempraktikkan panduan ini dengan disiplin dan
bertanggung jawab untuk meminimalisasi risiko parasit.
Namun demikian, karena keberadaan
parasit pada ikan ini merupakan bagian normal dari ekosistem sebagian besar
perairan, walaupun manajemen risiko dilakukan dengan ketat oleh nelayan,
pengumpul dan industri, sulit dijamin bahwa produk ikan tidak akan mengandung
parasit. Karena alasan itu, berdasarkan hasil kajian risiko, CODEX
Alimentarius Commission telah menetapkan batas toleransi keberadaan parasit
pada beberapa produk ikan.
Pada (i) Standard for Quick Frozen
Blocks of Fish Fillet, Minced Fish Flesh and Mixtures of Fillets and Minced
Fish Flesh (CODEX STAN 165-1989), (ii) Standard for Quick Frozen Fish Fillets
(CODEX STAN 190 –1995), dan (iii) Standard for Smoked Fish, Smoke-Flavoured
Fish and Smoke-Dried Fish (CODEX STAN 311 – 2013) batas tolerasinya adalah
dua parasit per kilogram daging ikan yang dapat dimakan. Untuk ikan
yang dikonsumsi dalam bentuk mentah juga dipersyaratkan supaya dibekukan
terlebih dulu untuk membunuh parasit, yang harus dilakukan pada (paling
tidak) suhu minus 20 derajat Celsius selama tujuh hari, atau pada suhu
(paling tidak) minus 35 derajat Celsius selama sekitar 20 jam (CAC/RCP
52-2003).
Ikan mentah yang dipasarkan untuk
dimasak lebih lanjut, baik secara komersial (misalnya untuk proses
pengalengan) atau rumah tangga, tidak dipersyaratkan untuk dibekukan karena
nantinya akan dipanaskan.
Pemanasan sampai pusat daging ikan
mencapai suhu 70 derajat Celsius selama dua menit akan membunuh
parasit. Proses pemasakan umumnya menggunakan suhu lebih tinggi dari 70
derajat Celsius. Proses pengalengan (umumya dilakukan pada suhu 115-121
derajat Celsius, selama 60-150 menit) jelas akan efektif membunuh parasit.
Jika parasit sudah terbunuh karena
pembekuan maupun pemanasan maka tidak lagi punya risiko terhadap kesehatan,
kecuali kemungkinan kecil terjadi alergi pada orang yang sensitif. Akan
menjadi permasalahan estetika, mengurangi wholesomeness, dan/atau filthy
(menjijikkan) jika bahan bakunya tidak memenuhi persyaratan, khususnya
jika mengandung lebih dari dua parasit per kilogram.
Kasus di Indonesia
Di Indonesia, kasus parasit
ini menjadi “viral” ketika BPOM RI mengumumkan temuan cacing pada ikan
makerel kalengan. Upaya BPOM untuk melakukan pengawasan ketat perlu
diberi apresiasi. Walaupun tidak merupakan permasalahan keamanan
pangan, cacing pada makerel kalengan dianggap oleh BPOM merupakan cacat mutu
yang tak dibenarkan, sehingga perlu diambil langkah manajemen risiko, berupa
penarikan produk.
Standar Nasional Indonesia (SNI)
untuk sarden dan makerel dalam kemasan kaleng (SNI 8222:2016) sebetulnya
tidak ada persyaratan mengenai cacing parasit ini. Namun, SNI tersebut
menyatakan bahan baku ikan yang diolah, baik dalam bentuk segar atau beku,
harus memenuhi persyaratan. Persyaratan bahan baku yang ada adalah SNI
ikan segar (SNI 2729:2013) dan ikan beku (SNI 4110:2014). Pada kedua SNI
tersebut, ternyata tidak memberikan toleransi terhadap keberadaan parasit
pada ikan sama sekali, di mana dipersyaratkan bahwa kandungan parasit cacing
adalah nol (0). SNI ini diduga merupakan salah satu landasan BPOM untuk
menyatakan bahwa produk tersebut cacat mutu sehingga perlu ditarik.
Ada dua pelajar penting yang dapat
diambil dari kasus ini. Pertama mengenai “achievability” suatu standar.
Persyaratan kandungan parasit harus nol perlu diperdebatkan kembali.
Karena parasit merupakan fenomena ekosistem normal, maka keberadaannya pada
ikan adalah lumrah; asalkan sesuai dengan standar toleransi yang ada
(misalnya, 2 parasit per kg ikan yang dapat dimakan; sesuai dengan CODEX STAN
165-1989; 190 –1995, dan 311 – 2013).
Penetapan standar yang terlalu
ketat dapat berakibat tidak tercapainya tujuan dari penetapan standar itu
sendiri; atau jika dipaksakan akan menyebabkan (i) terlalu banyak produk
pangan (ikan) terbuang, atau (ii) biaya produksi menjadi terlalu mahal. Dalam
hal penetapan standar yang berkenaan dengan fenomena alam, maka perlu
ditetapkan adanya toleransi dengan pendekatan ALARA (as low as reasonably
achievable). Lebih lanjut, sebagai negara anggota CAC dan khususnya dalam
konteks perdagangan internasional, penetapan standar lebih ketat daripada
standar CODEX perlu dilengkapi dengan analisis risiko yang memadai.
Karena alasan tersebut di atas, maka peninjauan kembali SNI yang
berkaitan dengan parasit ikan ini perlu dilakukan.
Kedua, mengenai pentingnya
komunikasi risiko. Indonesia menggunakan pendekatan analisis risiko
dalam manajemen keamanan pangannya, yang terdiri atas kajian risiko,
manajemen risiko dan komunikasi risiko. Setiap langkah manajemen risiko
seyogyakan dilandasi kajian risiko dan disertai rancangan komunikasi risiko
yang baik. Komunikasi risiko yang baik akan meningkatkan peluang tercapainya
tujuan manajemen risiko, tanpa menimbulkan kehebohan dan biaya yang tidak
perlu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar