Persatuan
atau Persatean Nasional? (1)
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA, 16 Mei 2017
Sekitar tahun 1921, ketika pertengkaran
keras antara CSI (Centraal Sarekat Islam) dan PKH (Partai Komunis Hindia), Tan
Malaka (2 Juni 1897-21 Feb 1949), seorang tokoh Marxisme legendaris yang
tidak anti-Islam, berupaya melerai konflik itu. Sikap Abdoel Moeis, tokoh
CSI, malah sebaliknya, agar SI dan PKH tidak lagi bekerja sama.
Dalam suasana panas ini, Tan Malaka merasa
tertolong oleh tokoh Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikusoemo (24 Nov 1890-4 Nov
1954) yang justru membelanya. Seperti kita maklum, baik Tan Malaka maupun
Abdoel Moeis sama-sama berasal dari Ranah Minang tetapi berbeda ideologi dan
sikap politik.
Rupanya Ki Bagoes melihat bahwa perpecahan
antara kedua partai akan sangat melemahkan perjuangan untuk menuju
kemerdekaan tanah air. Kita kutip Tan Malaka: "Untungnya, Haji
Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, cepat maju ke depan, dan menyatakan setuju
dengan pidato saya. Ia pun menjunjung tinggi persatuan di antara rakyat
tertindas. Ia berani menyatakan sebagai penutup pidatonya bahwa barang siapa
yang memecah-belah pergerakan rakyat, bukanlah seorang Muslim sejati."
(Lih Harry A Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, jilid I. Jakarta:
Grafitipers, 1988, hlm 211).
Tentu sebuah pendapat yang dilontarkan
dipengaruhi oleh waktu dan tempat. Moeis, novelis-politikus dan penulis Salah Asuhan itu yang pengetahuan
agamanya tidak seluas Ki Bagoes, malah menentang kerja sama antara pihak
komunis dengan pihak Islam. Pernyataan Ki Bagoes tentang orang yang memecah
pergerakan rakyat “bukanlah seorang
Muslim sejati” adalah sebuah keberanian tingkat tinggi di era itu. Dengan
bantuan Ki Bagoes, Tan Malaka rupanya merasa berasa di atas angin dan senang
sekali.
Usia keduanya berbeda tujuh tahun. Keduanya
ingin agar buhul persatuan rakyat tidak berubah menjadi persatean rakyat.
Itulah seni politik sepanjang zaman yang bisa memunculkan sikap berbeda,
seperti yang ditunjukkan Moeis, tergantung kepada bacaan peta masing-masing
dengan syarat membudayakan sikap lapang dada dan tanggung jawab untuk meraih
tujuan yang lebih besar: kemerdekaan tanah air. Tampaknya Ki Bagoes
mendasarkan pendiriannya kepada tujuan jangka panjang itu, sekalipun dia
paham bahwa sebagai filosofi ajaran Islam dan Marxisme tidak akan pernah
bertemu.
Dalam bacaan saya, semua para pendiri
bangsa telah menjadikan kredo persatuan sebagai senjata yang paling ampuh
untuk meraih tujuan perjuangan nasional, sekalipun tidak jarang perbedaan
pendapat di antara mereka cukup tajam. Generasi yang lebih muda seperti
Soekarno dan Mohammad Hatta juga berbeda pendapat tentang pembubaran PNI
(Partai Nasional Indonesia) oleh Sartono tahun 1930 dan kemudian membentuk
partai baru Partindo (Partai Indonesia). Soekarno tampaknya tidak keberatan,
sedangkan Hatta mengkritiknya sebagai suatu yang “memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat”. (Lih Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta:
Yayasan Hatta, 2002, hlm 243).
Apa kata Bung Karno tentang kredo persatuan
yang dilancarkan PNI untuk melumpuhkan politik devide et impera (pecah-belah dan kuasai) dari pihak kolonial?
Ini kutipannya:
PNI menjawab politik devide et impera itu dengan mendengungkan tekad persatuan
Indonesia, menjawab politik yang memecah belah itu dengan adanya mantram
nasionalisme Indonesia yang merapatkan barisan. Dari zaman sampai zaman
sekarang berabad-abad rakyat kami itu kemasukan baji pemecah, tak
henti-hentinya baik zaman kompeni maupun zaman modern. Memang di dalam
perceraian dan dalam ketidakrukunan itulah letaknya kelemahan kami, di dalam
perceraian kami itulah letaknya kemenangan musuh, “verdeel en heers” [pecahkanlah,
nanti kamu bisa memerintahinya] itulah mantra tiap-tiap rakyat yang mau
mengalahkan rakyat lain …. (Lih
Soekarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim
Kolonial. Yogyakarta: Aditya Media-Pustep UGM, 2004, hlm 134. Cetak miring
sesuai dengan sumber aslinya.)
Bung Karno yakin betul dengan filosofi
peribahasa: bersatu itu teguh, bercerai itu runtuh. Kredo persatuan dipegang
Bung Karno sampai akhir hayatnya, setidak-tidaknya secara verbal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar