Ekonomi
Kelautan, Mesin Pertumbuhan Baru
Rokhmin Dahuri ; Ketua
DPP PDI-Perjuangan Bidang Kemaritiman
|
KOMPAS, 20 Mei 2017
Setelah 72 tahun merdeka, Indonesia masih tergolong negara
berkembang dengan produk domestik bruto per kapita 3.540 dollar AS (Bank
Dunia, 2016) dan kapasitas iptek kelas 3 (UNESCO, 2016). Untuk masuk negara
maju dan makmur dengan kapasitas kelas 1, produk domestik bruto (PDB) per
kapita minimal 11.750 dollar AS. Agar Indonesia tidak terjebak negara
berpendapatan menengah (middle income trap), pertumbuhan ekonomi harus di
atas 7 persen per tahun.
Selama lima tahun terakhir, kita hanya tumbuh 5 persen per
tahun. Dengan jumlah penduduk 260 juta orang (terbesar keempat di dunia),
banyak berusia muda, bonus demografi 2020–2040, dan kekayaan alam melimpah, Indonesia
mestinya bisa tumbuh lebih tinggi dibandingkan India, Filipina, Myanmar, dan
emerging economies lain yang tumbuh di atas 7 persen per tahun.
Caranya dengan revitalisasi seluruh sumber pertumbuhan
ekonomi dan secara simultan mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
baru, termasuk ekonomi kelautan.
Potensi ekonomi kelautan
Ekonomi kelautan adalah seluruh aktivitas ekonomi di
wilayah pesisir dan lautan serta aktivitas ekonomi di wilayah darat yang
menggunakan bahan baku dari ekosistem pesisir atau lautan (Dahuri, 2007;
Kildow, 2010).
Ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan:
perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan,
industri bioteknologi kelautan, ESDM, pariwisata bahari, perhubungan laut,
industri dan jasa maritim, kehutanan pesisir, sumber daya wilayah pulau-pulau
kecil, serta SDA kelautan nonkonvensional.
Potensi total nilai ekonomi kesebelas sektor itu 1,35
triliun dollar AS per tahun, 1,5 PDB Indonesia saat ini atau 7 kali APBN
2017. Potensi lapangan kerja 45 juta orang. Tahun 2014 tingkat pemanfaatan
kesebelas sektor kelautan baru 25 persen total potensi.
Pemerintahan Jokowi-JK mengusung kemaritiman sebagai salah
satu pilar utama program pembangunan dan bertekad menjadikan Indonesia sebagai
poros maritim dunia. Harapannya, Indonesia tidak hanya sejahtera dan
berdaulat berbasis ekonomi kelautan, tetapi juga menjadi teladan dalam
mengelola kawasan lautnya.
Ada empat kebijakan yang diusung pemerintahan Jokowi–JK,
yaitu kedaulatan, keamanan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Presiden
mendirikan Kementerian Koordinator Kemaritiman untuk mengakselerasi dan
mengharmoniskan pembangunan kelautan nasional.
Sayangnya, hingga kini belum ada peta jalan dan cetak biru
pembangunan kelautan nasional. Akibatnya, kementerian di bawah koordinasi
Kemenko Maritim berjalan sendiri-sendiri. Pembangunan kelautan seolah identik
dengan penenggelaman kapal ikan asing, moratorium kapal besar dan modern,
larangan pukat hela dan tarik (cantrang) yang digunakan mayoritas nelayan,
larangan kapal pengangkut kerapu hidup, dan larangan menjual lobster dan
kepiting di bawah ukuran tertentu. Ibarat mobil, pembangunan kelautan terlalu
”ngerem”, sedikit sekali ”gas”-nya.
Akibatnya, 16 pabrik surimi di sepanjang pantai utara Jawa
gulung tikar, pabrik-pabrik pengolahan ikan di seluruh kawasan industri
perikanan kekurangan bahan baku dan bangkrut. Nilai ekspor turun drastis,
sebaliknya impor ikan melonjak. Pajak dan kontribusi sektor kelautan dan
perikanan menurun; ratusan ribu nelayan, pembudidaya ikan, karyawan pabrik
pengolahan ikan, dan para pedagang ikan menganggur. Kehidupan masyarakat
perikanan kian sengsara.
Presiden sudah berupaya merespons masalah di atas dengan
menerbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 2016 dan Keppres No 3/2017 tentang
Percepatan Industrialisasi Perikanan Nasional, menginstruksikan Kementerian
Kelautan dan Perikanan dan kementerian terkait merevisi seluruh kebijakan
yang menghambat usaha di bidang perikanan.
Peta jalan
Pembangunan kelautan nasional harus diluruskan menuju ke
pembangunan kelautan berkelanjutan (sustainable maritime development). Suatu
paradigma pembangunan kelautan untuk kesejahteraan manusia, pertumbuhan
ekonomi tinggi dan inklusif, lapangan kerja, dan daya saing sesuai
batas-batas kelestarian SDA, sertadaya dukung lingkungan pesisir dan lautan.
Pada tataran praksis, pembangunan kelautan berkelanjutan
bisa diwujudkan dalam tiga program utama: revitalisasi seluruh sektor dan
bisnis kelautan, pengembangan sektor dan bisnis kelautan di wilayah baru, dan
pengembangan sektor dan bisnis kelautan baru. Ketiganya ini harus
meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keberlanjutan tiap sektor
perikanan.
Berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan tersebut, di
sektor perikanan tangkap, larangan penggunaan pukat hela dan tarik harus
diubah menjadi pengendalian jumlah kapal dan cara operasi di setiap wilayah
perairan.Alih muatan ikan di tengah laut (transhipment) sepanjang ikannya
didaratkan dan diproses di Indonesia harus segera dihidupkan kembali.
Segera izinkan kapal ikan berukuran 200-400 gros ton
beroperasi untuk menangkap ikan di perairan laut lepas, laut dalam, wilayah
laut perbatasan, dan ZEEI yang jadi ajang pencurian ikan (illegal fishing)
kapal-kapal ikan asing. Di perairan laut yang overfishing, seperti Selat
Malaka, utara Jawa,dan selatan Sulawesi, jumlah kapal ikan (fishing effort)
harus dikurangi sampai potensi produksi lestari (maximum sustainable yield=
MSY).
Sebaliknya, perlu penambahan kapal ikan di wilayah
perairan yang masih underfishing, seperti barat Sumatera, selatan Jawa, Laut
Natuna, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan ZEEI.Secara nasional,
pada 2016 produksi perikanan tangkap dari laut 6,6 juta ton atau 70 persen
dari MSY (9,93 juta ton per tahun).
Perikanan budidaya
Peningkatan produksi lebih leluasa di sektor perikanan
budidaya, khususnya budidaya di perairan laut (mariculture) dan perairan
payau (tambak).Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur (perikanan
budidaya) terbesar di dunia, 100 juta ton per tahun dengan nilai ekonomi 200
miliar dollar AS per tahun.Tahun lalu total produksi akuakultur 15,7 juta ton
atau 16 persen total potensi produksi.
Jika kita mampu mengusahakan 100.000 hektar tambak udang
vannamei intensif (3,5 persen total potensi luas tambak) dengan produktivitas
40 ton/ ha/tahun, bisa diproduksi 4 juta ton per tahun. Dengan harga udang
on-farm 5 dollar AS per kilogram, bisa dihasilkan 20 miliar dollar AS per
tahun. Bandingkan dengan nilai ekspor seluruh produk perikanan Indonesia
tahun lalu yang hanya 3,5 miliar dollar AS.
Tambak intensif 100.000 ha itu bisa menampung 400.000
pekerja. Belum lagi tenaga kerja di industri hulu dan hilir.
Masih banyak komoditas akuakultur mahal dan cocok
dibudidayakan di tambak, seperti udang windu, ikan bandeng, kerapu lumpur,
nila salin, kepiting, dan rumput laut. Di samping itu ada 24 juta perairan
laut dangkal yang potensial dan sampai sekarang kita baru mengusahakan
200.000 ha. Industri pengolahan hasil perikanan harus terus diperkuat dan
dikembangkan melalui peningkatan kualitas, diversifikasi, dan sertifikasi
produk.
Selain merevitalisasi dan melakukan hilirisasi migas dan
mineral yang ada di wilayah pesisir dan laut, sektor ESDM juga harus
mengembangkan industri mineral dan energi kelautan yang baru, seperti mangan
dan phosphate nodules, energi gelombang, pasang surut, arus laut, biofuel
dari algae laut, dan ocean thermal energy conversion (OTEC).
Bila kita bench marking cara-cara Maladewa,
Mauritius,Seychelles, dan Amerika Serikat yang sukses mendayagunakan pulau-pulau
kecil, pulau-pulau kecil di Indonesia juga bisa menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi baru. Negara bisa mendapat dana segar berupa uang jaminan hak guna
pakai 35-50 tahun, dengan nilai 100 juta dollar AS-1 miliar dollar AS per
pulau.
Program pembangunan tol laut yang mencakup pengembangan
pelabuhan dan kapal angkut harus dibarengi dengan pembangunan kawasan
industri dan pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa. Khususnya wilayah
pesisir sepanjang ALKI-I, II, dan III.
Bioteknologi kelautan
Industri bioteknologi kelautan juga bisa kita kembangkan
sebagai sumber pertumbuhan baru. Potensi ekonomi industri ini diperkirakan
empat kali nilai ekonomi dari industri teknologi informasi dan komunikasi.
Industri bioteknologi kelautan meliputi tiga cabang industri:
(1) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut sebagai bahan dasar untuk
industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, pewarna, biofuel, dan
beragam industri lainnya; (2) genetic engineering untuk menghasilkan bibit
dan benih unggul; (3) bioremediasi untuk mengatasi pencemaran lingkungan.
Sebagai negara dengan keragaman hayati laut terbesar
dunia, Indonesia memiliki potensi industri bioteknologi kelautan terbesar
juga. Sayang, hampir semua produk farmasi dan kosmetik yang berasal dari
biota laut masih kita impor. Padahal, kita memiliki bahan baku yang melimpah.
Sektor industri dan jasa maritim yang sudah ada, seperti
galangan kapal, pabrik jaring, dan kabel optik harus terus ditingkatkan
produktivitas, efisiensi, dan daya saingnya.Selain itu, industri dan jasa
maritim baru berbasis SDA kelautan nonkonvensional juga mesti kita
kembangkan, seperti industri air laut dalam, gas hidrat (shale gas),
perikanan, dan mineral laut dalam.
Agar agenda pembangunan kelautan di atas berjalan, dalam
jangka pendek kita tingkatkan kualitas SDM kelautan melalui pelatihan dan
magang di berbagai SMK, politeknik, balai latihan kerja, dan perusahaan
industri kelautan. Dalam jangka panjang, kita perkuat dan kembangkan
pelatihan dan penyuluhan.
Saatnya pemerintah menyediakan skim kredit perbankan
dengan suku bunga dan persyaratan pinjam yang murah dan lunak untuk
sektor-sektor ekonomi kelautan, memperbaiki iklim investasi, kemudahan
berbisnis, dan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif.
Dengan peta jalan pembangunan kelautan, pertumbuhan
ekonomi nasional 2018 dan 2019 niscaya mencapai 7 persen, dan pada 2030
Indonesia bakal menjadi poros maritim dunia yang makmur dan berdaulat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar