Meniadakan
Pasal Penodaan Agama?
M Nasir Djamil ; Anggota
Panja RKUHP Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 19
Mei 2017
Vonis dua tahun diikuti hukuman kurungan badan bagi Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok ternyata berbuntut panjang. Selain upaya banding
yang dilakukan Ahok dan Kejaksaan, vonis itu juga dijadikan alasan oleh
sekelompok orang untuk menekan agar regulasi penistaan agama yang terdapat
dalam Pasal 165a UU PNPS No 1/1965 dihapuskan.
Tidak hanya di Indonesia, bahkan beberapa negara lain
termasuk PBB turut mendesaknya. Suatu hal yang tidak pantas sebenarnya,
mengingat Indonesia memiliki kedaulatan hukum yang harus diakui dan
dihormati. Berbagai alasan dikemukakan untuk menghapuskan beleid yang
dikeluarkan Presiden Soekarno tersebut. Mulai dari alasan dikeluarkan pada
saat darurat, dapat menjadi alat represi negara, pasal yang intoleransi,
sampai dengan anggapan bertentangan dengan HAM, Pancasila, dan konstitusi.
Padahal, nyata-nyata Pasal penistaan agama telah diuji
konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 dan 2012. MK
melalui Putusan No 140/PUU-VII/2009 pun menyatakan bahwa pasal tersebut tetaplah
konstitusional alias tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan putusan
tersebut, maka seyogianya kita menghormatinya dan tidak lagi menyatakan bahwa
Pasal Penistaan Agama itu melanggar HAM, Pancasila, dan konstitusi.
Bukankah dalam negara hukum yang bermartabat kita
selayaknya menghormati hukum yang ada, apalagi telah melalui proses pengujian
norma konstitusi sebagai the supreme law of the land. Walau demikian, kita
pun tidak menutup mata bahwa putusan MK juga memerintahkan agar Pasal
Penistaan Agama diperbaiki rumusannya, mengingat mengandung kelemahan
redaksional sehingga dapat menjadi pasal karet. MK pun memerintahkan
pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan presiden, untuk melakukan perubahan
tersebut.
Revisi RKUHP
Pasal Penistaan Agama telah dimasukkan dalam RKUHP yang
saat ini sedang dibahas DPR dan pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dalam
Bab VII mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama yang di
dalamnya terdapat 6 pasal, yaitu Pasal 348 sampai dan 353.
Pasal mengenai penistaan agama terletak dalam Pasal 348
“Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama di
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori III”, sementara Pasal 349 berkaitan
dengan pemberatan Pasal 348 dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara bagi yang
memiliki maksud melakukan penghinaan agar diketahui umum. Jika dicermati,
pasal tersebut sudah mengalami penghalusan kata, dari penodaan menjadi penghinaan.
Walau demikian, rumusan pasal tersebut masih terlalu karet
dan subjektif. Karena itulah, Panja RKUHP Komisi III DPR pada 22 November
2016 meminta pemerintah untuk merumuskannya secara lebih ketat agar nanti
penerapannya tidak bersifat subjektif. Selain itu, masukan dari organisasi
keagamaan juga sangat dipertimbangkan, mengingat pasal tersebut cukup
sensitif.
Ada beberapa usulan yang dapat diperdebatkan agar tidak
menjadi pasal karet,
antara lain pertama menjadikannya delik material bukan
formal, artinya harus ada akibat nyata dari penghinaan tersebut dalam bentuk
keresahan masyarakat dan pendapat keagamaan organisasi agama resmi yang
terkait.
Kedua, harus tegas maksud di muka umum itu adalah dalam
forum eksternum bukan dalam forum internum.
Yang dimaksud forum eksternum adalah forum publik atau
umum, sementara forum internum adalah forum internal keagamaan yang
bersangkutan. Dengan demikian, dalam hal forum internum, tidak dapat
dikenakan pidana.
Praktik di Beberapa Negara
Sebagaimana telah disebutkan, banyak pihak yang
berkehendak menghapus Pasal Penistaan Agama dengan alasan perlindungan
kekerasan berekspresi dan tren penghapusan di beberapa negara. Lembaga riset
Pew Research Center pada 2014 menyebutkan, sekitar 26% atau seperempat negara
di dunia memiliki hukum/kebijakan anti-penistaan agama. Sementara itu, satu
dari 10 negara di dunia (13 persen) memiliki hukum yang melarang kemurtadan/
penyesatan.
Menurut Ali Salmande, negara-negara di Benua Eropa yang
dikenal cukup “maju” dalam melindungi kebebasan berekspresi warganya masih
banyak yang menggunakan aturan penistaan agama sebagai salah satu batasannya.
Sebut saja Jerman, Austria, Polandia, Denmark, Irlandia, Italia, dan Yunani
masih mempertahankan pasal- pasal penistaan agama atau sejenisnya di wilayahnya.
Dari yang secara tegas menyebut penistaan agama hingga
yang lebih halus seperti penodaan nilainilai religius. Sanksi-sanksi terhadap
pelaku pun beragam, seperti denda atau penjara. Sebagai gambaran, di Italia
dan Irlandia, pelaku penista agama bisa dihukum dengan denda masing- masing
senilai 309 euro (Rp4,3 juta) dan 25.000 euro (Rp350 juta). Sementara undang-
undang di Denmark, Austria, dan Finlandia memberi sanksi pidana beberapa
bulan.
Di Yunani bahkan lebih berat, ancaman hukumannya mencapai
dua tahun penjara Bahkan di Inggris, blasphemy atau penistaan agama hanya
diberikan pada agama tertentu, yakni agama Kristen yang di Inggris dianggap
sebagai bagian yang sangat penting dalam struktur masyarakat. Hal ini tampak
pada actus reus blasphemy yang dirumuskan “..... if it denies the truth of
the Cristionan religion or of the Bible or the Book of Common Prayer, or the
existence of God.” (Naskah Akademik RKUHP, 2015).
Contoh di Inggris ini yang tidak layak diikuti. Selain
itu, Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa (yang dikenal sebagai
pengadilan terbesar dan terkuat di dunia yang mencakup 47 negara Eropa,
termasuk di antaranya 28 negara anggota Uni Eropa dalam berbagai kasus,
menilai bahwa aturan penistaan agama di berbagai negara tetap boleh berlaku
dan tidak melanggar HAM.
Misalnya dalam kasus Otto Preminger-Institut v Austria
(1994), kasus Wingrove v United Kingdom (1996), kasus IA v Turkey (2005),
yang intinya mengatakan perasaan religius umat beragama harus dilindungi
terhadap upaya penistaan ajaran agamanya oleh pihak lain. Kebebasan
berekspresi tidak bersifat absolut karena kebebasan ini harus juga
dilaksanakan dengan tidak mengganggu “perlindungan terhadap hak individu
orang lain”.
Tidak hanya di Eropa, di Thailand dan Malaysia dalam
KUHP-nya (Chapter XV KUHP Malaysia dan Titel IV KUHP Thailand) juga mengatur
Offenses relating to Religion yang mencakup perlindungan terhadap semua
agama. Dengan melihat fakta tersebut, maka pandangan bahwa penghapusan Pasal
Penistaan Agama sebagai tren global terbantahkan.
Karenanya, klaim PBB serta negara-negara lain agar
Indonesia menghapus pasal tersebut adalah berlebihan dan tidak pada
tempatnya. Mempertahankan Pasal Penistaan Agama dalam peraturan
perundang-undangan kita merupakan bentuk nyata kesetiaan kita kepada
Pancasila dan UUD 1945. Bukankah Pancasila sila satu tegas menyebut Ketuhanan
Yang Mahaesa, demikian pula dalam Pembukaan UUD 1945, dan batang tubuhnya
Pasal 29.
Karena itu, menjadi pertanyaan besar apabila ada yang
berkeinginan menghapuskan Pasal Penistaan Agama. Bukankah itu sama saja
membiarkan negara lepas urusan mengelola ketertiban dalam beragama. Bahkan,
dapat dikatakan sama dengan ingin menghilangkan sila 1 Pancasila. Dengan
demikian, siapa sebenarnya Pancasilais sejati? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar