Pancasila
sebagai Darul ’Ahdi Wasy Syahadah
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris PW
Muhammadiyah Jatim
|
JAWA
POS, 19
Mei 2017
LITERATUR politik Islam periode klasik umumnya membagi
negara kekuasaan muslim menjadi kawasan Islam (darul Islam) dan kawasan kafir
(darul kufr). Sebagian teoretisi politik Islam juga menggunakan istilah
kawasan damai (darus silmi) dan kawasan perang (darul harb). Konsep bercorak
biner itu jelas dikemukakan dalam suasana politik yang bisa saling menaklukkan.
Anehnya, sebagian aktivis gerakan politik Islam memaksakan konsep tersebut
dalam lingkungan negara-bangsa modern, tidak peduli di negara mayoritas
muslim maupun minoritas muslim.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim
terbesar di dunia juga tidak luput dari tantangan tersebut. Para pengusung
dan pengembang gagasan kawasan damai dan kawasan perang umumnya adalah
aktivis gerakan politik berideologi lintas batas (transnasionalis). Bahkan,
sebagian kelompok yang berpaham radikalis dan fundamentalis menganggap sistem
politik di negeri tercinta jauh dari nilai-nilai Islam. Lebih ekstrem lagi,
beberapa kelompok itu berkeyakinan bahwa sistem politik Indonesia tergolong
kafir (thaghut).
Kelompok berideologi politik transnasional telah membuat
peta jalan (road map). Tujuannya adalah memperjuangkan tegaknya negara
berdasar syariat Islam melalui sistem khilafah. Seakan menyadari begitu
kuatnya wacana politik transnasional, Muhammadiyah menegaskan bahwa negara
Pancasila sebagai darul ’ahdi (negara perjanjian) sekaligus darusy syahadah
(negara kesaksian). Konsep itu merupakan hasil rumusan Muktamar Ke-47
Muhammadiyah di Makassar, 3–7 Agustus 2015. Jika dibandingkan dengan konsep
yang berkembang dalam literatur politik Islam, konsep negara Pancasila sebagai
darul ’ahdi dan darusy syahadah merupakan khas Muhammadiyah.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (periode
2005–2015) Din Syamsuddin, negara Pancasila merupakan konsensus atau
perjanjian (darul ’ahdi) dari seluruh pendiri bangsa (the founding fathers).
Konsensus itu jelas berdimensi keagamaan sehingga menuntut komitmen untuk
terus menjaga negara Pancasila dengan penuh amanah. Negara Pancasila
seharusnya juga menjadi arena untuk memberikan kesaksian atau pembuktian
(darusy syahadah). Itu berarti, semua elemen bangsa harus berlomba-lomba
menjadi yang terbaik dengan komitmen merealisasikan cita-cita negeri
tercinta.
Sebagai kelompok mayoritas di negeri tercinta, komitmen
umat Islam terhadap Pancasila tidak perlu diragukan. Tatkala ada sebagian elemen
bangsa berkeberatan dengan rumusan Pancasila yang termuat dalam Piagam
Jakarta, Ki Bagoes Hadikoesoemo yang saat itu menjadi anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan ketua Hoof Bestuur Muhammadiyah
tampil sebagai pahlawan. Dalam sidang PPKI pada Agustus 1945, Ki Bagoes
bersedia untuk mengubah rumusan sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Padahal, sebelumnya anggota PPKI telah menyepakati
pernyataan Piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat rumusan sila pertama Pancasila
berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya. Namun, karena ada keberatan bernada ancaman keluar dari negara
Indonesia jika rumusan sila pertama tidak diubah, tokoh-tokoh Islam berlapang
dada. Fakta sejarah itu menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Islam telah memberikan
pengorbanan luar biasa demi menjaga persatuan negara. Kesediaan tokoh-tokoh
Islam menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta bukan tanpa tantangan.
Sebagian tokoh Islam saat itu tampak kecewa dengan peruabahan rumusan sila
pertama Pancasila.
Perspektif sejarah penting untuk menunjukkan kepada umat
bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final.
Dengan demikian, perdebatan mengenai dasar negara dan bentuk negara
seharusnya berakhir. Tetapi, dampak dinamika politik global ternyata luar
biasa pada pandangan sebagian aktivis gerakan politik Islam. Dengan tanpa
lelah kelompok yang berideologi transnasional terus bergerak. Mereka
menggelorakan pandangan politik transnasional melalui pendirian khilafah.
Padahal, dalam konteks modern, batas wilayah setiap negara
sangat jelas. Karena itu, sejatinya tidak ada peluang sedikit pun untuk
merealisasikan wacana sistem politik transnasional. Selain batas wilayah
negara, sistem politik transnasional menghadapi persoalan figur yang
disepakati umat sebagai khalifah. Di tengah suasana politik aliran dan
ideologi yang kian meningkat, gagasan khilafah pasti tidak mudah.
Tarik-menarik figur yang disepakati semua kelompok pasti
sangat krusial. Berdasar beberapa persoalan itu, Oliver Roy (1994) menyebut
cita-cita gerakan Islam politik bercorak transnasional sebagai Islamic
political imagination (imajinasi politik Islam). Pandangan itu jelas bukan
tanpa dasar. Pengalaman di negara-negara Islam sekalipun, gagasan mendirikan
khilafah tidak pernah sukses. Bahkan, di negara-negara itu organisasi yang
memperjuangkan khilafah dibubarkan. Mereka kemudian memilih untuk berjuang di
bawah tanah.
Dengan mempertimbangkan sejarah panjang perjuangan
kemerdekaan, perumusan Pancasila, dan konteks politik era modern, semua
elemen harus menjadikan NKRI sebagai negara perjanjian dan kesaksian. Sebagai
sesama warga bangsa, kelompok berideologi transnasional harus diajak kembali
jika ingin tetap berkonstribusi kepada negeri tercinta. Jika tidak beriktikad
baik, berarti hukum harus ditegakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar