Bangsa
yang Menghormati Kebinekaan
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar
Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga; Koordinator The Initiative
Community (Komunitas Literasi Sosial) Surabaya
|
KOMPAS, 19 Mei 2017
Di tengah embusan angin sejuk menyentuh badan, langkah
saya terhenti dan pikiran saya tertegun saat berjalan melewati Lincoln
Memorial. Sejenak pandangan mata menghadap ke arah Washington Monument jelang
musim dingin akhir tahun lalu.
Saya membayangkan sebuah peristiwa tepat di monumen
bersejarah itu pada Rabu, 28 Agustus 1963. Pada saat itu tegak berdiri
pejuang hak-hak sipil, seorang pendeta kulit hitam bersahaja bernama Martin
Luther King Jr. Di hadapan lautan massa, ia menyampaikan sebuah orasi
menggetarkan, yang kemudian menjadi kisah epik negeri Amerika, berjudul I Have a Dream.
Salah satu kalimat menggetarkan dari pidato tersebut
berbunyi, ”I have a dream that my four
little children one day live in a nation where they will not be judged by
their color of their skin but by the content of their character”.
Ingatan saya akan memori yang membuat bulu kuduk saya
berdiri sekelebat muncul seiring keprihatinan kondisi politik yang tengah
dihadapi negeri kita saat ini. Sebenarnya kita tidak kalah dengan Amerika.
Ketika Indonesia masih berupa cita-cita sejak tahun 1912, Tiga Serangkai—EFE
Douwes Dekker, dr Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara—menegakkan
cita-cita republik yang mendalam bahwa Indonesia adalah untuk mereka yang
bersedia dan ingin tinggal di dalamnya tanpa diskriminasi.
Pada banyak momen sejarah, cita-cita mulia ini banyak
mengalami hambatan. Saat ini, awan gelap tantangan itu muncul di beberapa
kasus pilkada serentak 2017 yang diberi bumbu suara-suara kebencian kultural
berbasis ras, kelompok, dan agama.
Yang mengkhawatirkan dalam perkembangan aktual, politisasi
identitas bukan mengambil bentuk ekspresi politik perjuangan identitas untuk
mendapatkan pengakuan dari yang lain (politics of recognition). Apa yang
tengah berlangsung tidak pula tampil sebagai ekspresi politik keagamaan untuk
menegakkan nilai-nilai keadaban demokrasi dan persamaan hak (civil religion).
Yang tengah kita saksikan pada ujungnya adalah komodifikasi atas kebencian
berbalut identitas agama dan golongan untuk kepentingan perebutan kekuasaan
dan kemakmuran.
Komodifikasi identitas
Indonesia tentu saja bukanlah perkecualian dalam arus
politik global. Corak sosial yang tengah bergerak di tingkat global
memengaruhi kecenderungan yang tengah berlangsung di Indonesia. Sebaliknya,
dinamika pertarungan sosial di Indonesia menyumbangkan nuansa bagi mosaik
perkembangan politik global.
Ketika dunia tengah menghadapi tantangan pasang naik
politik anti-imigran dan pengentalan identitas yang memabrikasi jargon
keaslian sebagai efek dari realitas ketimpangan sosial, Indonesia tidak
steril dari kecenderungan global di atas.
Di Indonesia, pengentalan pemanfaatan identitas kultural
adalah kombinasi dari pabrikasi atas isu keaslian yang membenturkan antara
pribumi dan non-pribumi maupun antagonisme agama adalah buah dari kecemasan
akibat krisis sosial; desakan logika kepentingan oligarki elite untuk merebut
kekuasaan dan mendistribusikan kemakmuran di kalangan aliansi mereka; dan
perkembangan industri konsultan elektoral yang turut serta mengorganisasi
politik sentimen antagonisme kultural untuk memenangkan klien mereka.
Tentu ini semua adalah cermin wajah demokrasi kita ketika
nilai-nilai republik dan demokrasi belum menumbuh menjadi habituasi maupun
basis sosial dari kehidupan politik kita.
Ironisnya, semakin jauh kita terbawa oleh permainan
politik bernuansa kebencian kultural, semakin jauh pula jalan kita untuk
pulang ke tujuan utama negeri ini dibangun. Jalan pulang itu terletak pada
prinsip bineka tunggal ika, yang sejak awal ditanamkan oleh para pendiri
republik. Sebuah prinsip yang membutuhkan lebih dari retorika untuk hidup
bersama.
Prinsip yang menekankan bahwa dalam kebersamaan,
kebinekaan mensyaratkan penghormatan atas keragaman dan kesetaraan hak
sebagai warga dalam dimensi sipil-politik, ekonomi-sosial, dan budaya.
Peradaban dan toleransi
Banyak contoh dalam sejarah politik global, baik riwayat
negeri-negeri adikuasa maupun negara-negara berkembang, yang memperlihatkan
bahwa hadirnya jangkar sosial bersama dan tumbuh ataupun redupnya nilai-nilai
keberagaman dan kesetaraan menjadi kunci bagi jatuh dan bangunnya suatu
negeri.
Fawaz A Gerges dalam ISIS: A History (2016) menjelaskan
bahwa tumbuh berkembangnya organisasi teror ISIS di Irak dan Suriah tidak
dapat dilepaskan dari absennya identitas sosial yang inklusif yang dapat
menaungi kebinekaan di dalamnya.
Sementara Amy Chua (2008) dalam Day of Empire menjelaskan,
dalam riwayat panjang peradaban dunia, toleransi sebagai strategi peradaban
menjadi kunci naik-turunnya peradaban negara-negara besar.
Ambisi Hitler membawa Jerman menjadi negeri yang besar
gagal, salah satunya karena kebijakan purifikasi rasial dan intoleransinya
telah membuat negeri itu kehilangan human capital berbagai orang cerdas,
seperti Albert Einstein, Hannah Arendt, Theodore von Karman, Eugene Wigner,
pergi ke Amerika Serikat. Sebaliknya, Amerika Serikat melalui strategi
kebijakan inklusifnya berhasil menampung dan memanfaatkan kalangan pengungsi
intelektual bagi kepentingan negerinya untuk menjadi negara adidaya.
Penghormatan atas kebinekaan di suatu negeri dengan
kesadaran merawatnya adalah energi hidup sebuah bangsa. Sebab, dengan
penghormatan atas keberagaman sosial, bangsa kita memiliki perekat sosial
yang membuat tiap-tiap warga yang ada di dalamnya masih berkehendak untuk
tetap menjadi satu sebagai bagian dari keindonesiaan kita. Sementara
kesetaraan dari seluruh warga Indonesia juga harus dirawat dan dijamin dalam
kehidupan bernegara.
Dengan kesetaraan sosial, setiap warga dapat tetap
menambatkan harapan akan masa depannya untuk bekerja membangun komunikasi
sebagai sesama manusia yang sederajat dan terhormat, di mana itu semua adalah
mimpi, bukan saja mimpi Martin Luther King Jr di Amerika Serikat, tetapi juga
Soekarno, Hatta, para orangtua kita, ataupun kita semua di hati sanubari yang
terdalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar