Pasal
Penistaan Agama, Masih Perlukah?
Abdul Kadir Karding ; Cendekiawan;
Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
KOMPAS.COM, 14 Mei 2017
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akhirnya
divonis bersalah dalam kasus penistaan agama. Putusan hakim yang menjatuhkan
vonis dua tahun penjara dan terdakwa harus segera ditahan sebenarnya agak
mengagetkan.
Jaksa menuntut Ahok terbukti bersalah melanggar Pasal 156
KUHP tentang penistaan suatu golongan. Adapun akim menyatakan Ahok terbukti
bersalah melakukan penodaan agama dan melanggar Pasal 156 huruf a KUHP.
Dari sisi bentuk hukuman, vonis hakim juga lebih berat.
Jaksa meminta hakim menjatuhkan hukuman terhadap Ahok dengan penjara 1 tahun
setelah menjalani masa percobaan 2 tahun. Namun, hakim memutus 2 tahun
penjara.
Dalam dunia peradilan, hakim memiliki kebebasan dan
independensi dalam memutus perkara. Peristiwa hakim memutus di atas tuntutan
jaksa itu disebut vonis ultra petita.
Putusan hakim kasus Ahok segera menimbulkan polemik. Ada
sebagian masyarakat yang menyambut baik, tapi tak sedikit yang menilai
putusan hakim itu keterlaluan.
Ada yang menilai bahwa Ahok pantas dihukum berat karena
telah melakukan penistaan agama. Tapi ada pula yang menyebut bahwa kasus Ahok
ini sebenarnya hanya "salah ucap".
Sejak awal, kasus Ahok ini juga tak lepas dari aroma dan
motif politik. Kita tahu, persaingan dalam Pilkada DKI sangat keras sehingga
isu SARA begitu menghangat. Kubu ini menyatakan bahwa Ahok hanya korban
tekanan massa. Sebelumnya, beberapa kali ada unjuk rasa menuntut Ahok
diproses hukum.
Putusan hakim yang menggunakan pasal penistaan kepada Ahok
membuka polemik lagi soal keberadaan pasal ini. Melalui akun resminya, Dewan
Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut menanggapi soal pasal
penistaan agama. Mereka meminta Pemerintah Indonesia mengkaji kembali hukum
penistaan agama.
Kasus penistaan agama yang dituduhkan ke Ahok menambah
deretan peristiwa serupa yang terjadi di Indonesia. Sudah banyak orang yang
diproses hukum dengan pasal penistaan agama.
Yang menarik, setiap kali ada kasus dugaan penistaan agama
maka proses hukumnya selalu ada unsur tekanan massa. Tiap kali ada dugaan
penistaan agama maka muncul kelompok tertentu yang ikut menekan aparat penegak
hukum untuk mengadili pelaku.
Pada 2011 lalu di Temanggung juga ada kasus penistaan
agama, yakni Antonius Richmon Bawengan yang menyebarkan selebaran dan buku
yang dianggap melecehkan keyakinan agama tertentu. Antonius divonis secara
maksimal berdasar KUHP, yaitu 5 tahun. Tapi, ada kelompok yang tak terima
atas putusan itu. Lalu mereka merusak tempat ibadah dan sekolah milik pemeluk
agama lain.
Kasus lain yang dialami Syamsuriati alias Lia Eden,
pendiri Komunitas Eden. Wanita itu dinyatakan bersalah karena menyerukan
penghapusan seluruh agama. Lia Eden diganjar hukuman penjara.
Ada juga Pemimpin Syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur,
Tajul Muluk alias Haji Ali Murtadho, yang dihukum dengan dakwaan penodaan dan
penistaan agama.
Kasus penistaan agama yang cukup populer adalah yang
dilakukan Arswendo Atmowiloto, yang kala itu menjadi Pemred Majalah Monitor
pada tahun 1990. Majalah ini mengumumkan hasil survei mengenai tokoh yang
paling diidolakan masyarakat Indonesia.
Hasil survei menempatkan Presiden RI kala itu, Soeharto,
menempati urutan pertama. Sedangkan Nabi Muhammad berada di urutan kesebelas.
Hasil tersebut memicu kontroversi dan menimbulkan gelombang unjuk rasa.
Permintaan maaf Arswendo tak menghentikan kemarahan beberapa kelompok umat
Islam. Hingga akhirnya Arswendo diproses hukum.
Hingga kini, Indonesia memang masih memberlakukan pasal
larangan penistaan agama. Ada dua dasar hukum yang digunakan untuk menjerat
pelaku penistaan agama.
Pertama, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS
Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Kedua,
Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam aturan itu, banyak larangan menyebarkan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan
rakyat Indonesia. Ada pula larangan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pada 2010 lalu, beberapa aktivis sudah pernah mengajukan
uji materi terhadap Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 itu.
Pemerintah bersikukuh aturan itu masih diperlukan. Bila ketentuan penistaan
agama dicabut maka berpotensi menimbulkan konflik sosial karena para pemeluk
agama bisa saling menghina.
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi tersebut
dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya.
MK berpendapat bahwa pasal penistaan agama tak mengancam
kebebasan beragama, tak diskriminatif, serta tak berpotensi ada kriminalisasi
terhadap penganut agama minoritas.
Kehidupan beragama di Indonesia memang unik. Indonesia
terdiri dari banyak suku, agama, ras, budaya dan antar golongan. Ribuan orang
yang berbeda itu sehari-hari harus hidup saling berdampingan.
Salah satu kunci agar mereka tak saling bertengkar adalah
adanya kesepahaman bersama bahwa kita hidup di Indonesia. Untuk itulah, di
antara mereka jangan saling menghina, memfitnah, dan menyinggung.
Dalam konteks itu, pasal penistaan agama memang masih
diperlukan. Ini untuk menjaga agar pemeluk agama tidak saling menghina dan
menista. Tapi, penerapan pasal ini harus sangat hati-hati.
Hemat penulis, penyelesaian kasus penistaan agama melalui
proses hukum di peradilan akan sangat melelahkan. Belum lagi, proses
peradilan sudah selesai, tapi polemiknya masih akan terus terjadi.
Untuk itulah, perlu ada jalur-jalur penyelesaian di luar
peradilan. Misalnya melalui tanpa pengadilan (non justicia), mediasi hingga
saling memaafkan. Penyelesaian model ini akan menunjukkan kedewasaan,
kebijakan dan memberikan pembelajaran bagi publik.
Berangkali hanya kasus-kasus tertentu yang harus
diselesaikan di peradilan. Namun, sekali lagi, harus diterapkan secara
hati-hati. Jangan sampai pasal penistaan agama ini menjadi alat
mengkriminalkan keyakinan atau pendapat seseorang.
Hakim harus melihat fakta hukum untuk menjunjung keadilan.
Hakim jangan terpengaruh dengan tekanan massa dan pemberitaan media. Hakim
juga jangan memutuskan perkara mendasarkan pada motif sesuai keyakinan
pribadi agamanya.
Pertanyaannya, apakah hakim-hakim di negeri sudah bisa
memiliki kualitas seperti itu? Semoga sudah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar