Akrobat
Tuntutan JPU
dan
Rasa Keadilan Masyarakat
Ikhsan Abdullah ; Penasehat Hukum
|
KORAN
SINDO, 25
April 2017
Hari-hari ini
masyarakat disuguhkan akrobat hukum yang sangat tidak elok. Akrobat itu tidak
pantas dipertontonkan oleh jaksa sebagai penuntut umum di pengadilan karena
di samping dapat merusak kewibawaan pengadilan, juga dapat membuat masyarakat
tidak lagi mempercayai penegak hukum dan pengadilan (public distrust).
Akrobat hukum
tersebut telah dimainkan oleh tim jaksa penuntut umum (JPU) yang diketuai
oleh Ali Mukartono dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Prosesnya saat
ini memasuki sidang ke-22 dan pada hari ini dengan acara pembacaan pleidoi
(nota pembelaan) dari terdakwa dan tim pembelanya. Pada persidangan Kamis, 20
April 2017, satu hari setelah pilkada, sidang digelar dengan agenda pembacaan
tuntutan jaksa (requisitoir).
Agenda
tuntutan JPU ini ditunda setelah pada sidang ke-20 pada 11 April lalu karena
JPU tidak siap dengan tuntutannya karena belum siap dalam pengetikan. Alasan
ini mengingatkan dan hampir mirip dengan alasan mahasiswa kepada dosennya
ketika diminta untuk menyerahkan tugasnya. Mungkin ini pula yang mengilhami
tim JPU tersebut. Kontan saja alasan jaksa tersebut menimbulkan kekecewaan
yang sangat mendalam bagi publik yang menyaksikan proses persidangan secara
langsung maupun yang dapat menyaksikan lewat media televisi dan radio.
Pada sidang
tuntutan ini ketua majelis telah mengizinkan awak media untuk dapat
menyaksikan dan menyiarkannya secara langsung. Publik dibuat terperangah
melihat aksi tim JPU. Publik dibiarkan bersyakwasangka dan menduga-duga
sehingga menjadi pembicaraan luas di masyarakat juga di jagat media sosial.
Pertanyaannya, kenapa jaksa menunda tuntutan (requisitoir) dilontarkan oleh
berbagai khalayak ramai.
Jawaban jaksa
sangat jelas karena mempertimbangkan surat Kapolda Metro Jaya kepada majelis
hakim yang ditembuskan ke Kajati DKI Jakarta. Semestinya itu menjadi wewenang
majelis hakim untuk mempertimbangkan melalukan penundaan atau tidak.
Akrobat hukum
selanjutnya dipertontonkan kembali dengan tim akrobatik yang dikepalai oleh
Jaksa Agung Prasetyo adalah ketika JPU menyatakan tidaklah tepat menuntut
terdakwa Ahok dengan Pasal 156 a sekalipun dakwaan dan konstruksinya juga
saksi, alat bukti dan saksi ahlinya dibangun untuk membuktikan dakwaannya
dalam tuntutan berdasar Pasal 156 a KUHP.
Padahal,
kejaksaan melimpahkan berkas kasus Ahok sebagai penista agama karena dinilai
telah memenuhi buktibukti dan unsur yang cukup alat buktinya. Sebab, andai
saja saat itu kejaksaan menilai berkas Ahok tidak cukup unsur dan alat
buktinya, dapat dipastikan berkas tersebut akan dikembalikan kepada Mabes
Polri sebagai P-19 lagi.
Dakwaan jaksa
bahkan telah disampaikan dalam persidangan di hadapan majelis hakim
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara yang saat itu persidangan digelar di PN
Jakarta Pusat. Ini membuktikan bahwa dakwaan JPU telah memenuhi syarat dan
sah secara hukum berdasar KUHAP yakni UU No 8 Tahun 1981 sehingga persidangan
terus dilanjutkan memasuki pokok perkara. JPU telah mengajukan alternatif
dakwaan kepada terdakwa Ahok aktif yakni Pasal 156 a KUHP dan Pasal 156 KUHP
dengan ancaman maksimal lima tahun dan empat tahun penjara.
Dalam
persidangan JPU telah menghadirkan semua pelapor, saksi-saksi pelapor, sampai
kepada saksi KH M’aruf Amin sebagai ketua umum MUI dan ketua Rais Aam PB NU
diminta hadir. Hingar-bingar pun tak terhindarkan karena proses pemeriksaan
dinilai masyarakat sebagai mengadili saksi KH Maruf Amin yang harus menjalani
pemeriksaan tujuh jam dan diperlakukan layaknya memeriksa pesakitan. Saksi-saksi
ditekan dan diintimidasi dengan cara mental break down.
Gegap gempita
pemeriksaan dan pemeriksaan saksi-saksi dan pemberian keterangan oleh para
saksi ahli juga diwarnai demonstrasi massa yang kontra dan pro-Ahok di setiap
persidangan.
Tentu saja
tuntutan JPU ini menuai kritikan dan kecaman pedas masyarakat. Jaksa dinilai
tidak profesional diintervensi oleh kekuasaan ekstrayudisial dan telah
mengusik rasa keadilan masyarakat.
Sampai
tudingan kepada Jaksa Agung Prasetyo yang dianggap bermain politik di ruang
pengadilan dengan mengintervensi JPU. Terlepas perdebatan dan tudingan
masyarakat di ruang persidangan sampai di ruang publik, tentu kasus ini wajib
kita bedah dengan menggunakan teori hukum pidana agar tidak menjadi liar dan
kebablasan.
Minimal
sebagai edukasi untuk masyarakat agar semakin melek hukum. Dalam teori
pertanggungjawaban pidana sangat terkait erat dengan unsur kesalahan dalam
bentuk kesengajaan (dolus/opzet). Dalam Pasal 156 a KUHP ditulis sangat jelas
kata-kata “dengan sengaja”. Sebaliknya, pada Pasal 156 KUHP tidak disebutkan
unsur kesengajaan secara eksplisit. Tetapi, semua ahli hukum berpendapat,
jika tidak disebutkan, dianggap ada kesengajaan dan dianggap terbukti bila
semua unsur yang disebutkan terpenuhi.
Teori kesengajaan
di dalam Pasal 156 KUHP mengandung tiga teori kesengajaan. Tiga teori
kesengajaan tersebut; sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk), sengaja
dengan kepastian (dolus directus), dan sengaja dengan kemungkinan (dolus
eventualis). Pasal 156 a huruf a juga membuka masuknya salah satu teori
kesengajaan tersebut. Adapun pada Pasal 156 a huruf b hanya kesengajaan
dengan maksud, secara a contrario, tertutup masuknya kesengajaan dengan
kepastian maupun kesengajaan dengan kemungkinan.
Dapat dipahami
pada Pasal 156 a terkandung dua bentuk kejahatan. Huruf a bersifat formil,
sedangkan huruf b bersifat materiil. Menjadi pertanyaan mengapa JPU tidak
merumuskan sikap batin (mens rea)
terdakwa berupa unsur kesalahan (schuld)
dalam wujud kesengajaan itu? Kesengajaan sangat penting bagi
pertanggungjawaban pidana kepada terdakwa.
Karena, jika
tidak terbukti, majelis hakim akan memutuskan “lepas dari segala tuntutan
hukum” (Abdul Chair Ramadhan). Padahal, kalau kita cermati kasus BTP alias
Ahok pada Pasal 156 itu, ada kesengajaan kemungkinan. Di sini terdakwa harus
dianggap memenuhi unsur penghinaan terhadap salah satu golongan penduduk yang
berdasarkan agama.
Kata-kata
“...jadi jangan percaya sama orang...” dan “...dibodohin gitu...”, walaupun
tidak dimaksudkan untuk menghina ulama dan/atau umat Islam, hanya dimaksudkan
kepada lawan-lawan politiknya, namun timbulnya akibat yang tidak dikehendaki—
penghinaan terhadap ulama dan/atau umat Islam— merupakan suatu bentuk dari
kesengajaan dengan kemungkinan (dolus
eventualis). Terdakwa harus bertanggung jawab pada kejadian ini.
Kemudian,
perlu dicatat bahwa karena dakwaan JPU disusun dalam bentuk alternatif,
haruslah ada korelasi yang sistemik antara Pasal 156 a huruf a dengan Pasal
156 KUHP. Pasal 156 apabila dihubungkan ke Pasal 156 a huruf a ada
kesengajaan kepastian (dolus directus). Di sini terlihat terdakwa telah
memenuhi unsur Pasal 156 KUHP, namun juga timbul akibat yang tidak
dikehendaki, yakni penodaan terhadap Surah Al-Maidah : 51, sebagaimana
dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156 a huruf a KUHP.
Contoh kasus
“Thomas van Bremerhaven” sangat relevan untuk digunakan sebagai acuan pada
perkara ini. Timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dan sekaligus tidak
dapat dihindari dipandang sebagai wujud kesengajaan kepastian atau
keniscayaan.
Dengan
kata-kata “...jadi jangan percaya sama orang...” dan “...perasaan enggak bisa
pilih niihhh, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu...” adalah jelas
memosisikan ulama dan/ atau umat Islam yang menyampaikan makna kandungan
Surah Al-Maidah ayat 51 sebagai pembohong dengan menggunakan Al-Maidah ayat
51 secara tidak benar alias salah. Al-Maidah ayat 51 adalah benar, sepanjang
dimaknai atau ditafsirkan sesuai dengan pendapatnya. Dengan lain perkataan, “sepanjang
diartikan lain, maka itu adalah suatu kebohongan.” Pada buku terdakwa
“Merubah Indonesia” halaman 40, paragraf keempat, ungkapan perasaan tersebut
telah disampaikan.
Dengan akrobat
yang dipertontonkan oleh JPU, semakin membuktikan bahwa hukum di Indonesia
tidak berdaya apa-apa ketika berhadapan dengan terdakwa yang memiliki
kekuasaan.
Lalu,
bagaimana hukum dan aparatusnya bekerja sangat agresif dan gagah perkasa
ketika menghadapi seseorang yang tidak memiliki kekuasaan seperti Buni Yani?
Buni Yani yang dituduh mengunggah video Ahok di media sosial diancam hukuman
penjara enam tahun, sementara terhadap terdakwa Ahok yang ucapannya dijadikan
sumber yang diunggah oleh Buni Yani hanya dituntut satu tahun penjara dengan
masa percobaan dua tahun.
Tontonan yang
disuguhkan JPU di persidangan yang mulia itu dapat menciptakan public distrust kepada penegakan hukum
yang amat mahal harganya. Langit belumlah runtuh. Harapan masyarakat akan
putusan yang berkeadilan dan berkepastian masih digantungkan pada putusan
hakim. Tentu saja dengan mempertimbangkan semua nilai yang hidup dan
berkembang di masyarakat, selain bukti dan fakta di persidangan serta
perasaan keadilan masyarakat. Semoga hakim dapat merasakan gairah masyarakat
yang mendambakan keadilan dan kepastian hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar