Menembus
Sekat Ignoransi
Annick HT ; Direktur Democracy Project, Yayasan Abad
Demokrasi;
Menjadi salah satu tim pengajar dalam program ICRP
|
SATU
HARAPAN, 04 Desember 2014
Sejak
kehadirannya di dunia, agama nampaknya menjadi elemen yang paling
membingungkan dan misterius. Di satu sisi, ia mengantarkan peradaban manusia
pada titik puncak capaian moral kemanusiaan. Di sisi lain, agama terlalu
sering menjadi sumber keributan dan kekacauan. Atas nama agama, manusia bisa
saling meniadakan dan saling membunuh.
Lalu,
seberapa penting agama sekarang ini? Gallup, salah satu lembaga survei
Internasional pada tahun 2009 mengeluarkan rilis survei yang menyimpulkan ada
korelasi kuat antara kemiskinan dengan kesalehan individu. Semakin miskin
suatu negara, semakin penting agama dalam kehidupan keseharian warganya.
Dalam survei tersebut, Indonesia berada pada tingkat teratas, bersama dengan
Bangladesh, Nigeria, Yaman, Malawi, dan Sri Lanka, di mana 99 % persen
penduduknya menyatakan agama sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan
keseharian mereka.
Data itu
sangat bisa menjadi alat bantu kita dalam melihat tantangan besar kehidupan
antar-agama di Indonesia. Jika agama sepenting itu di Indonesia, sementara
watak dominan yang muncul dalam keseharian kita adalah watak agama yang
formalis, mengental sebagai entitas politik, penuh prejudice, memproduksi kebencian dan permusuhan, maka tak pelak
lagi: agama adalah ancaman, bukan rahmat dan berkah.
Dari
mana prejudice, kebencian, dan
permusuhan itu berasal? Tentu saja sejarah perang agama turut berkontribusi.
Catatan kelam perselingkuhan agama dengan politik dan kekuasaan masih sering
pula menginspirasi. Namun yang lebih penting dari itu adalah: kultur
segregatif dan ignoransi yang sudah terlanjur menubuh dengan kehidupan
keseharian kita, sehingga bahkan kitapun merasa tidak ada masalah dengan
penyakit mematikan itu.
Kita
telah terbiasa dikotakkan dalam sekat-sekat segregatif berdasarkan status
agama kita. Status agama itupun dilekatkan pada tubuh kita melalui KTP,
pendidikan, penguburan, bahkan melalui transaksi keuangan yang kita lakukan
dengan bank misalnya.
Alih-alih
menghancurkan sekat-sekat segregatif itu, kita justru menikmati hidup dalam
kontak itu sebagai zona nyaman kita. Kita justru mempertebal sekat dan
mempertinggi tembok pemisah antara “kita” dengan “mereka”. Kita berlomba
memperbanyak sekat dan menyempitkan kotak pengungkung kita.
Pada
akhirnya, yang muncul dalam respon refleks kita melihat penganut agama lain
adalah ignoransi, ketidaktahuan dan ketidakmautahuan. Terlalu banyak contoh
di depan mata kita untuk menunjukkan bahwa ignoransi inilah penyebab dominan
diskriminasi, konflik, permusuhan, dan kekerasan berlatar agama.
Konsepsi
kerukunan umat beragama yang selama ini menjadi titik pijak kebijakan negara
untuk mengatur hubungan antar-umat beragama nampaknya juga tidak banyak
beranjak dari kungkungan ignoransi ini. Paling banter adalah upaya normatif
antar-pemeluk agama untuk saling mencari “persamaan universal kemanusiaan”,
atau dalam bahsa lain disebut sebagai pluralisme kemanusiaan. Konsekuensinya,
konsepsi ini memiliki kecenderungan besar untuk melupakan dan menyembunyikan
perbedaan yang ada. Konsekuensi ini bisa menjadi titik lemah yang
membahayakan.
Harus
ada terobosan lebih jauh untuk masuk pada wilayah “perbedaan” itu. Ia ada
bukan untuk disembunyikan. Ia ada justru untuk dikenal, dikelola, dan pada
akhirnya dirayakan.
Di
tengah tebalnya tembok-tembok penyekat antar-agama, mengenal perbedaan adalah
barang mahal saat ini. Perjumpaan kemanusiaan dengan penganut agama lain
memang bukan perkara sulit di negeri ini. Ruang publik sekolah umum, pasar,
mal, gelanggang olah raga, tempat hiburan, adalah ruang publik yang cair:
ruang publik sekuler yang tak beragama. Ruang ini menjanjikan relasi
kemanusiaan tanpa sekat.
Namun,
sekali lagi, ruang tersebut cair justru karena melupakan, menyembunyikan
perbedaan. Sekat itu menghilang sementara. Bukan karena ditembus, namun karena
dihindari.
Ziarah rumah ibadah
Salah
satu simbol penting sekat antar-agama adalah rumah ibadah. Rumah ibadah
adalah sebenar-benarnya zona nyaman yang diciptakan oleh pemeluk agama. Bagi
sebagian (besar) mereka, rumah ibadah ini disakralisasi sedemikian rupa
sehingga ia menjadi titik terdalam dari kotak segregatif agama.
Membongkar
tembok pemisah dengan mengenal dan membincangkan perbedaan, di titik terdalam
simbol utama segregasi agama adalah terobosan awal yang penting dari upaya
berikutnya; mengelola dan merayakan perbedaan.
Sebuah
inisiatif kemudian muncul untuk menembus kebekuan metode pendidikan agama
yang selama ini juga segregatif. Mempelajari agama orang lain adalah tabu
dalam alam pendidikan segregatif semacam ini.
Adalah
Universitas Pembangunan Jaya Jakarta, yang kemudian bergandengan tangan
dengan sebuah lembaga lintas agama, yakni Indonesian
Conference on Religion and Peace (ICRP) untuk mencari terobosan
pendidikan agama yang membuka ruang selebar mungkin untuk saling belajar
antar agama.
Metode
pengajaran agama ini dimulai dengan membuang sekat segregasi, mengumpulkan
mahasiswa dari berbagai agama menjadi satu kelas. Di sini belajar agama
berarti belajar mengenal semua agama yang ada, tak terkecuali agama-agama
yang selama ini dianggap "tak diakui" seperti Sikh, Bahai, Tao,
juga agama-agama lokal yang selama ini dianggap "bukan agama"
seperti Sunda Wiwitan, Kapribaden, dan lain-lain.
Dan di
tengah proses pengajaran diskursif agama-agama tersebut, semua mahasiswa
dibawa dalam satu ziyarah langka: mengunjungi berbagai rumah ibadah yang
berbeda, melakukan perjumpaan langsung dengan para liyan, mendiskusikan dan
mengurai tabu-tabu yang dibaluri syakwasangka dan kebencian tak beralasan.
Tak cuma masjid, gereja, vihara, pura, dan lithang, mereka juga berkunjung ke
rumah ibadah dari agama yang bahkan tak banyak dikenal, seperti gurudwara,
rumah ibadah Sikh, dan bio yang juga menjadi rumah ibadah warga penganut Tao
juga menjadi tujuan kunjungan.
Setidaknya,
langkah awal ini akan menorehkan satu catatan penting: bahwa pelajaran agama
bukanlah sekadar pelajaran berteori tentang agama. Belajar agama juga adalah
mengenal perbedaan melalui pengalaman perjumpaan langsung dengan mereka yang
berbeda. Belajar agama juga belajar bahwa agama yang baik tidak selalu
melahirkan manusia baik. Bahwa menjadi penganut agama lain tidak otomatis
menjadi orang buruk yang layak dibenci dan dimusuhi. Lebih jauh, belajar
agama juga adalah belajar bahwa di balik persoalan di dalam agama-agama
sendiri, masalah yang tak kalah rumit adalah bagaimana negara mengatur relasi
antar-agama, dan bagaimana masyarakat memaknai kehadiran agama lain di tengah
realitas kehidupan mereka.
Semoga upaya ini menular dan menjadi bagian dari tradisi kaum beragama
di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar