Menkumham Tak Perlu
Tanggapi Munas Ancol
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar,
Anggota Komisi III DPR RI dan Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 15 Desember 2014
Musyawarah
nasional (Munas) IX Partai Golongan Karya (Golkar) di Bali, 30 November-4
Desember 2014, adalah finalisasi atas rangkaian proses serap-olah aspirasi
kader seturut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai.
Struktur
kepengurusan Partai Golkar periode 2014-2019 pimpinan Aburizal Bakrie pun
disahkan dalam forum munas yang sama. Inilah yang mestinya menjadi pijakan
pemerintah ketika menetapkan pengakuan terhadap struktur dan formasi
kepengurusan Partai Golkar.
Apalagi
Munas Golkar Bali juga sudah melengkapi surat pernyataan penolakan dari ketua
dan sekretaris 34 DPD I dan 400-an lebih Ketua dan sekretaris DPD II
se-Indonesia terhadap Munas Ancol karena inkonstitusional dan hanya mengakui
hasil Munas IX Bali. Dari DPR RI, 80-an dari 90 anggota Fraksi Partai Golkar
periode 2014-2019 juga telah membuat pernyataan sikap yang sama.
Yakni
menolak Munas Ancol dan menyatakan Munas IX Partai Golkar di Bali telah
memenuhi aturan organisasi (AD/ART) dan perundangudangan yang berlaku. Maka
Munas IX Partai Golkar di Bali itu tidak boleh disetarakan dengan forum lain
yang tidak relevan seperti forum presidium atau paguyuban yang
diselenggarakan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, yang kemudian juga diklaim
sebagai Munas IX Partai Golkar itu.
Alih-alih
disetarakan, pemerintah justru harus menempatkan forum presidium atau
paguyuban di Hotel Mercure Jakarta itu sebagai aktivitas politik yang ilegal
karena menyalahgunakan identitas Partai Golkar. Penggagas dan pelaksana forum
presidium atau paguyuban yang menyebut identitasnya sebagai Presidium
Penyelamat Partai Golkar itu pun ilegal karena konstitusi atau AD/ART Partai
tidak mengatur forum dan aksi seperti itu.
Dengan
demikian, Kementerian Hukum dan HAM harus jernih dalam memahami duduk
persoalan yang sebenarnya. Dengan kejernihan dan mengambil posisi independen,
Kementerian Hukum dan HAM pun seharusnya tidak merespons, apalagi menerima
serta mempertimbangkan, semua dan apa pun bentuk dokumen yang diserahkan oleh
sekelompok orang yang mengklaim posisinya sebagai pengurus Partai Golkar.
Sebaliknya,
jika Kementerian Hukum dan HAM masih mau menanggapi manuver politik
orang-orang itu, sama artinya pemerintah melibatkan wewenang dan pengaruhnya
dalam kisruh partai politik. Padahal, wajib hukumnya bagi pemerintah untuk
menjaga jarak dengan parpol yang sedang diselimuti masalah internal.
Memang,
para penggagas forum presidium atau paguyuban di Hotel Mercure itu sebelumnya
berlatar belakang sebagai anggota Partai Golkar. Namun status mereka sebagai
anggota partai telah dieliminasi oleh DPP Partai Golkar yang sah dan bahkan
telah disetujui Munas IX 2014.
Dengan
begitu, sangat jelas bahwa para penggagas forum itu tidak punya legal
standing untuk mengklaim posisi dan status sebagai pengurus DPP Partai
Golkar. Keabsahan Munas IX Golkar 2014 di Bali dengan semua produk
munas–berupa program kerja dan struktur kepengurusannya– bersifat mutlak.
Sebab Munas IX diselenggarakan sesuai konstitusi atau AD/ART Partai Golkar.
Memang,
sebelum Munas IX Bali diselenggarakan, ada beda tafsir terkait dengan
rekomendasi Munas Riau, Oktober 2009, tentang waktu pelaksanaan Munas IX
Partai Golkar. Ada yang menghendaki waktu penyelenggaraan Munas IX sesuai
AD/ART, yakni Oktober 2014. Ada juga yang menghendaki waktu pelaksanaan munas
sesuai dengan rekomendasi Munas Riau, yakni sekitar Januari 2015.
Di
tengah beda tafsir itu, semua DPD I dan DPD II se-Indonesia Partai Golkar
terus menyuarakan aspirasi. Tentu saja Ketua Umum Partai Golkar wajib
menyerap dan mengolah semua aspirasi itu. Desakan agar DPP segera
menyelenggarakan Munas IX menguat sebelum Partai Golkar menyelenggarakan
Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VII di Yogyakarta yang juga dihadiri para
calon ketua umum seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso.
Akhirnya,
Rapimnas VII memang membahas agenda Munas Partai Golkar. Jadwal munas disepakati,
yakni 30 November-4 Desember 2014. Semua tahapan dan proses menuju
penyelenggaraan Munas IX di Bali legal dan transparan. Pertemuan para calon
ketua umum (caketum) dan pengurus DPD I dan DPD II se-Indonesia pun untuk
sosialisasi bersifat terbuka.
Termasuk
di dalamnya ada Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan lain-lain. Kalau hasil
proses sosialisasi itu tidak sama antara caketum yang satu dengan caketum
lain, tentunya menjadi persoalan lain. Jangan kambing hitamkan DPP Partai
Golkar jika ada caketum yang gagal dalam proses sosialisasi.
Munas
IX Partai Golkar 2014 di Bali pun lancar, legal, dan sudah menetapkan program
kerja serta struktur kepengurusan. Aspirasi semua DPD I dan DPD II
se-Indonesia serta ormas yang ikut mendirikan dan didirikan terakomodasi.
Tidak ada penolakan atau keberatan atas struktur kepengurusan yang dibentuk
dari forum Munas IX di Bali sehingga Partai Golkar sejatinya tidak pecah,
apalagi ada kepengurusan ganda.
Bandingkan
dengan forum presidium atau paguyuban yang diselenggarakan di Hotel Mercure
Jakarta yang tidak memenuhi itu semua. Ada perbedaan yang mencolok
berdasarkan analisa pegiat politik Fuad Bachmid yang dapat menjadi dasar
Menkumham untuk tidak menanggapi Munas Ancol.
Pertama,
Kubu Agung Laksono menetapkan jadwal Munas secara mendadak tanpa melalui
mekanisme organisasi. Kedua, jika Agung Laksono menamakan agenda di Ancol
adalah munas, seharusnya dihadiri sekurang-kurangnya oleh ketua umum beserta
sekretaris jenderal.
Kalau ketua umum dan sekretaris jenderal tidak
hadir maka sesuai AD/ ART Partai Golkar, namanya bukan lagi munas, tapi
munaslub dengan asumsi organisasi dalam keadaan vaccuum of power. Ketiga,
pemilik suara sah yang dimaksud adalah para Ketua dan Sekretaris DPD I dan
DPD II se-Indonesia atau sekurang- kurangnya pengurus Harian yang mendapat
mandat berstempel dari ketua dan sekretaris DPD I maupun DPD II.
Tanpa Perselisihan
Mengapa
struktur kepengurusan hasil Munas IX Partai Golkar di Bali patut disahkan
Menkumham? Menurut Said Salahuddin, dalam UU No 2 Tahun 2008 sebagaimana
telah diubah dengan UU No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik dengan tegas
dan jelas diatur, bahwa ada dua kategori perselisihan kepengurusan partai
politik, yakni meliputi kategori khusus dan kategori umum.
Perselisihan
kepengurusan untuk kategori khusus diatur dengan tegas dan spesifik dalam
Pasal 25 UU No 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No 2/2011 tentang
Partai Politik. Pasal tersebut menetapkan bahwa terdapat empat indikator yang
harus terpenuhi secara kumulatif untuk mengualifikasi telah terjadinya
perselisihan kepengurusan. Pertama, terkait dengan bentuk perselisihan yang
wujudnya berupa penolakan untuk mengganti kepengurusan.
Indikator
kedua, terkait dengan lokus dan tempus. Artinya penolakan pergantian kepengurusan
itu harus disampaikan secara resmi dalam penyelenggaraan forum pengambilan
keputusan tertinggi partai politik seperti munas, kongres, atau muktamar.
Ketiga, terkait dengan subjek; artinya, penolakan pergantian kepengurusan
haruslah anggota parpol yang menjadi peserta munas, kongres, atau muktamar.
Dan,
indikator keempat, terkait dengan persyaratan jumlah peserta yang menolak.
Artinya, penolakan pergantian kepengurusan harus datang dari minimal 2/3
peserta munas, kongres, atau muktamar. Empat indikator itulah yang punya
korelasi dengan ketentuan Pasal 24 UU Nomor 2/ 2011 tentang Parpol, yang
menetapkan bahwa Menkumham belum dapat mengesahkan perubahan kepengurusan
parpol apabila parpol bersangkutan sedang menghadapi perselisihan
kepengurusan.
Untuk
kategori perselisihan kepengurusan bersifat umum, UU Nomor 2/2011 tentang
parpol tidak mengaturnya secara spesifik. Dalam penjelasan Pasal 32 ayat 1,
hanya disebutkan bahwa perselisihan kepengurusan merupakan salah satu jenis
perselisihan di internal parpol. Jadi, parpol sendiri yang menentukan syarat
perselisihan itu.
Perselisihan
kepengurusan yang bersifat umum itu sama sekali tidak memiliki korelasi
dengan urusan penundaan pengesahan oleh Menkumham sebagaimana dimaksud Pasal
24 UU Nomor 2/2011 tentang Parpol. Dengan demikian, harus dibedakan antara
perselisihan kepengurusan bersifat khusus dan perselisihan kepengurusan
bersifat umum.
Pada kasus Partai Golkar, empat indikator
perselisihan kepengurusan khusus yang tersebut di dalam Pasal 25 UU Nomor
2/2011 tentang Parpol, dapat dipastikan hal tersebut tidak ditemukan. Saat
Munas IX Partai Golkar digelar di Bali, sama sekali tidak muncul penolakan
kepengurusan dari 2/3 peserta munas. Penolakan justru disuarakan oleh
kelompok Agung Laksono di luar forum Munas IX Partai Golkar, tepatnya di
Jakarta.
Jadi,
terbukti dan sangat jelas bahwa penyelenggaraan Munas IX Partai Golkar di
Bali sama sekali tidak memunculkan perselisihan kepengurusan. Dengan begitu,
tidak ada alasan hukum bagi Menkumham untuk menunda, apalagi menolak
mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas IX di Bali.
Kecuali
ketika itu Agung Laksono dan kawan-kawan hadir di forum Munas IX Bali dan
mampu menggalang dukungan dari minimal 2/3 peserta munas untuk menyatakan
penolakan terhadap struktur kepengurusan yang ditetapkan Aburizal Bakrie,
barulah Menkumham punya alasan legal untuk menggantung pengesahan
kepengurusan hasil Munas IX Partai Golkar di Bali. Faktanya, Munas IX di Bali
telah menetapkan kepengurusan Partai Golkar yang baru.
Artinya
Menkumham hanya punya satu pilihan, yaitu mengesahkan kepengurusan Partai
Golkar hasil Munas IX Bali selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari sejak Aburizal
Bakrie menyerahkan susunan kepengurusannya ke Kantor Menkumham, yakni jatuh
pada hari Rabu, 17 Desember 2014, dengan asumsi Sabtu dan Minggu libur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar