Banjarnegara
Memang Rawan Longsor
Daryono ; Peneliti di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika
|
JAWA
POS, 15 Desember 2014
SETELAH
berakhirnya amukan topan hagupit yang menghantam wilayah timur Filipina dan
menewaskan sedikitnya 27 orang, kini dinamika atmosfer menunjukkan adanya
kecenderungan pertumbuhan pola tekanan rendah dan sel-sel siklon di Samudra
Hindia. Kondisi itu patut kita waspadai bersama, mengingat cuaca ekstrem
dapat terjadi di beberapa tempat di Indonesia.
Jumat
petang (12/12) kita dikejutkan oleh berita memilukan yang datang dari
Banjarnegara, Jawa Tengah. Curah hujan yang mengguyur selama dua hari
berturut-turut di kawasan Wonosobo dan Banjarnegara akhirnya memicu bencana.
Tanah longsor telah mengubur puluhan rumah di Dusun Jemblung, Desa Sampang,
Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara.
Hingga
Minggu pagi (14/12), 23 korban ditemukan dalam keadaan meninggal. Selain itu,
sebelas orang mengalami luka berat dan empat korban lain terluka ringan.
Sebanyak 85 orang masih dinyatakan hilang dan hingga kini terus dilakukan
upaya pencarian korban di lokasi longsor.
Hujan Lebat
Bencana
tanah longsor Banjarnegara didahului dengan hujan sangat lebat yang berlangsung
hampir dua hari. Pada Kamis (11/12), sehari sebelum peristiwa longsor,
Stasiun Geofisika Kelas III (BMKG) Banjarnegara mencatat, curah hujan memang
sangat tinggi, mencapai 112,7 mm. Data tersebut diperkuat oleh sumber TRMM
yang juga menunjukkan bahwa di Banjarnegara saat itu memang terjadi hujan
lebat pada kisaran 100–120 mm.
Berdasar
data streamline pada Jumat (12/12)
pukul 07.00 WIB, di sepanjang Pulau Jawa terdapat pola konvergensi massa
udara yang membawa uap air. Pergerakan massa udara itu mengalir ke arah timur
dan sebagian ke arah tenggara, kemudian berputar ke kanan, menuju zona pusat
tekanan rendah. Pada hari yang sama, di Samudra Hindia selatan Jawa sedang
ada pertumbuhan tekanan rendah (low
pressure). Gangguan tropis itulah tampaknya yang menjadi salah satu
penyebab cuaca buruk di kawasan Wonosobo-Banjarnegara beberapa hari terakhir.
Menurut
laporan warga yang selamat, pada Jumat pagi hingga siang, di lokasi longsor
belum turun hujan deras. Namun, tiba-tiba pada petang hari, sekitar pukul
17.30 WIB, terdengar dentuman keras yang diikuti suara gemuruh panjang. Bukit
Telagalele yang menjulang tinggi itu tiba-tiba longsor. Setelah terjadi
longsoran pertama, hujan seketika mengguyur dengan deras, selanjutnya membuat
material longsoran meluncur dan mengubur 105 rumah. Longsoran juga menutup
jalan raya yang menjadi jalur penghubung Banjarnegara dengan Dieng. BMKG
Banjarnegara mencatat, curah hujan hari itu 101,8 mm.
Rawan Longsor
Banjarnegara
memang rawan longsor. Sebab, hampir 70 persen wilayahnya didominasi zona
perbukitan dan pegunungan tua. Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan
Karangkobar, yang menjadi area longsor sekitar 10 kilometer di utara Kota
Banjarnegara, sebenarnya sudah dikenal sebagai salah satu kawasan rawan
longsor.
Beberapa
faktor yang paling berpengaruh dalam mengakibatkan longsoran di Banjarnegara
adalah kemiringan lereng yang curam serta kondisi batuan penyusun yang
mendukung terjadinya longsoran. Kemiringan lereng lebih dari 40 persen dengan
litologi yang punya daya serap air tinggi (endapan dari bahan rombakan gunung
api) dikenal memiliki pengaruh besar terhadap terjadinya gerakan tanah.
Kawasan
lereng akan longsor jika mendapat gangguan kestabilan. Dalam hal ini, gaya
pendorong memiliki kekuatan lebih besar daripada gaya penahan. Gaya dorong
itu biasanya berupa air atau kemiringan yang curam. Sementara itu, gaya
penahan sangat bergantung pada jenis tanahnya.
Berdasar
hal tersebut, curah hujan dalam peristiwa longsor di Banjarnegara dapat
menjadi faktor penting. Air hujan bisa menambah beban tanah. Tanah yang
mengalami kejenuhan dapat melemahkan
daya ikat tanah pada lereng. Dalam hal ini, curah hujan tinggi menjadi faktor
pemicu longsor, khususnya pada lereng-lereng yang labil dan kritis.
Berdasar
pengamatan melalui foto-foto dari media, sepintas tampak bahwa tipe longsor
di Dusun Jemblung adalah slumping (rotational slide). Namun, karena
material longsoran itu memiliki kandungan air yang sangat tinggi, di bagian
hilir material berubah menjadi aliran debris, tanah, batuan lapuk, dan air.
Atau, bisa jadi pada awalnya ada gejala creeping (rayapan), tapi begitu
dipicu hujan lebat, yang terjadi adalah slides (meluncur).
Dengan
bidang luncur berupa batu lempung, saat hujan deras, batu itu bersifat tidak
dapat meloloskan air dan menjadi licin sehingga berfungsi sebagai media
peluncur massa di atasnya. Terkait dengan kekhawatiran akan adanya bencana
longsor susulan, biasanya jika sudah terjadi longsoran besar, kecil
kemungkinan terjadi slumping susulan. Soal tipe longsoran yang sebenarnya
terjadi, tampaknya diperlukan kajian lebih mendalam di lokasi bencana.
Sejak akhir 2011, di wilayah Kabupaten Banjarnegara terjadi lebih dari
379 bencana tanah longsor. Bahkan, setiap tahun ada kecenderungan potensi
kerawanan tanah longsor meningkat. Karena itu, memasuki musim hujan tahun
ini, hendaknya para pemangku kepentingan dan relawan bencana segera memulai
kegiatan sosialisasi mitigasi kepada masyarakat di tempat-tempat rawan
longsor. Harapannya, dengan sosialisasi yang terus digalakkan, kita semua
dapat berperan aktif dalam menekan jumlah korban dan kerugian harta benda
jika terjadi bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar