|
"Publik juga
harus melihat siapa yang berada di belakang Prabowo Subianto, mantan
Pangkostrad itu"
PRESIDEN Yudhoyono telah 9 tahun memimpin bangsa Indonesia.
Setahun menjelang berakhir kepemimpinannya pada 20 Oktober 2014 apresiasi
publik terhadap kinerjanya belum juga membaik dan memuaskan. Tapi apa pun
penilaian itu, tahun depan rakyat akan menyongsong suksesi kepemimpinan
nasional.
Suksesi ini penting mengingat negara kita akan memasuki era
baru, masih menjalani proses konsolidasi demokrasi dan membangun institusi
demokrasi yang kokoh dan bermartabat. Pada titik itu kita butuh pemimpin baru
yang visioner dan dicintai rakyat, atau seorang satriya pinandita sineksenan
wahyu. Itulah teka-teki suksesi 2014?
Dalam sejarah politik Indonesia yang berusia 68 tahun, ada
pakem yang menonjol dan layak kembali diingat. Pertama; ciri menarik
pergulatannya dengan konflik. Dalam pergulatan konflik itu, rakyat acap belajar
bagaimana memahami diri mereka, meski kadang harus membayar mahal.
Falsafah Pancasila sangat menekankan bahwa tiap muncul
konflik politik baru harus diredam dengan semangat Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Hal itu penting untuk menggapai Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sekaligus harus menjunjung nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kelima dasar itu merupakan
satu kesatuan bulat dan utuh hingga konflik politik selalu bisa diredam dan
berakhir damai.
Setiap muncul konflik, perlu diikuti konsensus baru. Ini
ibarat sengsara membawa nikmat. Contoh sewaktu Soekarno dan Soeharto didemo
mahasiswa supaya mundur, Bung Karno dan Pak Harto bersedia melepas secara
legawa. Pertimbangannya daripada terjadi perpecahan bangsa dan perang saudara,
keduanya lebih memilih lengser keprabon. Bandingkan dengan krisis politik di
Suriah sekarang, Presiden Bashar al-Assad memilih perang sehingga jutaan
rakyat menderita dan menjadi korban.
Kedua; pada Pemilu Indonesia 1955-2009 selalu muncul
dinamika politik keras dan panas. Tidak jarang terjadi perang urat saraf antarpartai
saat kampanye. Tapi ketika pemilu digelar, tidak ada huru-hara politik yang
berdarah-darah. Karena itu, ketika mantan presiden AS Jimmy Carter, memantau
Pemilu 2004, ia menilai Indonesia sebagai negara terbesar ketiga dalam
berdemokrasi. Sebagian dari kita pun ingat sewaktu Pemilu 1955 meski dalam
suasana perang di daerah, pemilu tetap aman dan damai, serta dinilai paling
demokratis.
Ketiga; ada korelasi signifikan antara pemimpin dan partai
politik. Ketika Bung Karno turun, PNI ditinggalkan orang. Begitu pula
ketika Soeharto dan Habibie turun, Golkar ditinggalkan orang. Kemudian sewaktu
Gus Dur turun, PKB hancur. Tatkala Megawati dan Hamzah Haz turun, PDIP dan PPP
pun ditinggalkan orang. Karena itu, jika SBY turun, Demokrat pasti ditinggalkan
orang. Ini sudah pakem politik.
Prabowo atau
Jokowi
Keempat; muncul antitesis dari karakter pemimpin sebelum
dan sesudahnya. Misal Bung Karno dari sipil, orator ulung, hingga disebut singa
podium. Soeharto militer, pendiam, dan berpidato dengan membaca teks. Soeharto
yang bukan cognitariat, digantikan BJ Habibie yang profesor, terpelajar, dan
ahli aerodinamika. Kemudian Habibie yang serius, digantikan Gus Dur yang
humoris dan humanis. Gus Dur yang humoris dan Islamis, digantikan Megawati,
pendiam dan sekuler. Megawati yang ibu rumah tangga, digantikan SBY yang gagah,
ganteng, dan doktor pertanian. Itu semua antitesis dari pemimpin lama ke
penggantinya.
Lantas, siapa pengganti Yudhoyono tahun 2014? Sebelum
menjawab itu, yang perlu diperhatikan seluruh rakyat adalah harus memilih, dan
jangan golput. Hal itu penting karena tiap warga berhak memilih pemimpin yang
mampu mengawal demokrasi ke masa depan. Jika salah pilih, terasa akibatnya.
Mengingat proses konsolidasi demokrasi belum selesai, perlu memilih pemimpin yang
visioner dan berintegritas.
Dari hasil survei berbagai lembaga, ada 5 kandidat paling
populer, yakni Joko Widodo, Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Aburizal
Bakrie, dan Wiranto. Selain The Big Five itu, ada posisi di tengah, yaitu Hatta
Rajasa, Jusuf Kalla, Mahfud MD, dan satu di antara 11 peserta konvensi
Partai Demokrat. Proporsi pemilih yang memiliki preferensi terhadap calon
presiden itu, hanya bertumpu (mengerucut) pada dua tokoh, yaitu Jokowi dan
Prabowo.
Problem Prabowo ada pada soal presidential threshold bagi
Gerindra. Sementara bagi Jokowi bergantung Megawati. Andai suara Gerindra
melonjak jadi dua digit, PDIP harus waspada, meski Jokowi dalam berbagai survei
selalu mengungguli Prabowo. Namun tak ada jaminan unggul terus. Popularitas Jokowi
yang berada di puncak, tidak serta merta membuatnya bisa dengan mudah
melenggang dalam Pilpres 2014. Prabowo tak bisa dianggap remeh.
Belum maksimalnya Prabowo tampil bukan berarti ia tiarap,
pasti ada rencana lain. Jangan lupa, ia belum banyak bergerak dalam media cetak
dan elektronik sehingga kita tidak bisa hanya terpaku pada siapa bersama
Jokowi? Publik juga harus melihat siapa yang berada di belakang Prabowo, mantan
Pangkostrad itu.
Melihat antitesis itu, pilihannya hanya dua. Seandainya SBY
dipersepsikan sebagai pemimpin lemah, kurang tegas maka Prabowo adalah pilihan
paling cocok. Sebaliknya jika SBY dipersepsikan pemimpin poco-poco, yang hanya
berwacana maka Jokowi adalah jawabannya. Kedua tokoh itu layak menggantikannya
melalui Pilpres 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar