Jumat, 08 November 2013

KPK dan Korupsi di Daerah

KPK dan Korupsi di Daerah
Laode Ida  Wakil Ketua DPD
MEDIA INDONESIA, 07 November 2013


PRAKTIK korupsi di daerah, tak terbantahkan lagi, merajalela di era reformasi ini. Data yang kerap diungkapkan oleh Mendagri Gamawan Fauzi lebih dari 300 kepala daerah tersangkut kasus korupsi dalam beberapa tahun terakhir. Tentu saja data itu baru yang terungkap oleh pihak berwenang. Karena sebenarnya hampir semua daerah, sebagian besar oknum pejabatnya menikmati `hasil penyalahgunaan kekuasaan', tetapi tetap saja survive dengan berbagai modus yang digunakan.

Kecenderungan menarik dalam upaya membongkar praktik korupsi di daerah itu adalah peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang demikian signifikan. Setiap gebrakan atau aksinya pasti selalu heboh. Lihat saja, misalnya, kasus keluarga Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang terindikasi melakukan praktik korupsi dalam bangunan politik dinasti. Atau kasus korupsi proyek pembangunan fasilitas PON di Riau oleh Gubernur Rusli Zainal. Beritanya sungguh menggemparkan, dan seolah-olah akan memberi efek jera terhadap para pejabat di daerah lainnya yang praktik korupsi mereka masih belum sempat tersentuh itu.

Gerakan pemberantasan korupsi oleh KPK saat ini memang sudah sangat luar biasa. Namun bisakah semua praktik korupsi mampu ditangani oleh KPK? Jawabannya `pasti tidak'. Kalau pun bisa dilakukan, memerlukan waktu lama. Karena itu, realistis saja, jumlah daerah otonom (kabupaten, kota dan provinsi) di Indonesia mencapai lebih dari lima ratus, sedangkan KPK hanya memiliki kantor di Jakarta dengan sumber daya penyelidik dan penyidik yang sangat terbatas.
Maka karena itulah, agaknya, tak berlebihan jika dikatakan bahwa aksi yang dilakukan KPK hanya merupakan bagian dari contoh-contoh kasus bagaimana memberantas korupsi di negeri ini tanpa bisa kita berharap akan jadi lembaga utama yang berperan maksimal untuk menjadikan negeri ini `bersih dari korupsi'. Tepatnya, KPK memang bertaring kuat nan tajam untuk kasus-kasus tertentu terseleksi.

Lalu, bagaimana dengan kondisi korupsi yang masif terjadi di berbagai daerah? Terhadap hal ini sebenarnya dapat ditangani oleh pihak kejaksaan dan kepolisian yang memang di hampir seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia. Dua instansi yang berada langsung di bawah kendali presiden ini dapat langsung menanganinya, dan tak sulit mendeteksi gejala gejala g awalnya.

Soalnya, kedua lembaga itu memiliki aparat atau sumber daya manusia yang melekat atau bekerja langsung di setiap daerah. Dan pihak aparat terakit dapat secara langsung mengamati perilaku aparat daerah, termasuk melalui cara-cara spionase. Bukankah, misalnya, secara kasatmata terbuka `gaya hidup dan kemewahan' dari sebagian pejabat di daerah, yang sangat tak masuk akal jika dibandingkan dengan akumulasi pendapatan resmi yang diterima pejabat bersangkutan?

Data penyimpangan proses-proses penganggaran dan penyimpangannya pun tersedia secara resmi berdasarkan temuan baik BPK, BPKP, maupun lembaga-lembaga kajian atau LSM di tingkat lokal--meskipun yang disebut terakhir, pada tingkat tertentu, sudah banyak yang terpengaruh dengan pejabat korup dan mitra--pengusahanya melalui pendekatan persuasive pragmatis.

DPD RI, misalnya, secara aktif melakukan advokasi tentang hasil temuan BPK itu kepada pihak yang terkait, baik jajaran kepolisian maupun kejaksaan. Bahkan sejumlah kasus indikasi korupsi atau penyimpangan anggaran negara pun sudah disampaikan ke KPK.

Singkatnya, pihak kejaksaan dan kepolisian sebenarnya bisa dengan mudah mengakses dan atau memperoleh informasi awal tentang praktik korupsi di berbagai daerah dan bisa segera menindaklanjutinya dalam proses hukum. Jika itu dilakukan, praktik korupsi yang merajalela itu akan berlangsung pasti masuk ke kuburan, dan semua pihak ang potensial korup pun akan merasa takut untuk coba-coba mereproduk sikan budaya kejahatan kerah putih itu.

Akan tetapi, mengapa kedua lembaga itu tak be kerja efektif dalam mem berantas korupsi di daerah? Atau, mengapa pula para pejabat korup itu masih juga bebas berkeliaran, bahkan sudah dalam status tersangka pun belum kunjung dimasukkan di hotel prodeo? Terhadap kedua pertanyaan ini, saya menduga beberapa faktor penyebabnya.

Pertama, tidak diterapkannya pembuktian terbalik terhadap para pejabat (atau siapa pun) yang memiliki harta melampaui batas kewajaran. Meskipun bisa diamati dengan mudah, para pejabat yang kaya mendadak setelah menempati posisi strategis tertentu dalam pemerintahan, misalnya, oleh pihak penegak hukum tak bisa (atau, tepatnya, tak mau) untuk serta-merta mempertanyakan sumber harta dari oknum bersangkutan.

Bahkan, sekalipun PPATK bisa menyiapkan data, atau dengan mudah memperoleh rekening pejabat (berikut keluarganya) dengan berbagai transaksi yang dilakukan, tampaknya belum muncul watak atau sikap proaktif aparat untuk langsung melakukan penyelidikan tentang asal muasalnya. Apalagi, pada hari-hari ini, saat KPK sudah mulai menerapkan undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU), sejumlah pejabat korup diduga tak lagi menyimpan uang di dalam rekening bank, tetapi menggunakan brankas sendiri yang diamankan di kediaman atau tempat-tempat rahasia tertentu, termasuk di dalamnya membeli barang-barang berharga seperti emas, berlian dan sebagainya. Karena itu, akan semakin sulit untuk mencoba mengungkap `kewajaran harta' dari para pejabat korup.

Kedua, pihak pimpinan dan aparat (lapangan) kejaksaan dan kepolisian di berbagai daerah membangun sikap bersahabat dengan para oknum pejabat (kepala daerah) korup. Pertemuan-pertemuan resmi dan informal bisa secara intens dilakukan di antara pihakpihak itu. Dengan proses-proses interaksi sosial terbatas itulah yang menjadi awal mula `penjinakan' aparat penegak hukum.

Para oknum pejabat korup di daerah sangat mafhum jika para pejabat penegak hukum yang bertugas di daerah adalah manusia biasa yang butuh uang tambahan pendapatan, untuk keluarga dan untuk tetap berjaya pada masa purnatugas. Apalagi, memang, pejabat penegak hukum memiliki masa terbatas tugas di daerah. Ya, pastilah waktu tugas itu diman faatkan secara maksimal untuk akumulasi harta bekerja sama dengan pejabat korup.

Dalam konteks ini, semakin banyak masalah korupsi di suatu daerah, akan semakin banyak aparat penegak hukum pula yang menggandrunginya.
Bukan untuk menjadikan oknum pejabat korup itu diproses dan dimasukkan ke bui, melainkan diduga untuk turut ambil bagian dari harta yang dikorup itu.

Ketiga, kepemimpinan yang abai. Presiden, baik sebagai kepala eksekutif maupun (apalagi) sebagai kepala negara sebenarnya memiliki peluang besar atau otoritas untuk mengomandoi gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Apalagi, seperti sudah disinggung tadi, jajaran kejaksaan dan kepolisian merupakan instrumen eksekutif untuk, antara lain, memberantas korupsi. Artinya, jika kedua lembaga itu, seperti yang terjadi hingga saat ini, tidak juga efektif untuk memberantas korupsi di daerah, sebenarnya sudah pasti `berkinerja buruk'. Pihak pimpinannyalah yang harus diberi perhatian atau sanksi khusus.


Namun, yang terjadi saat ini, kepemimpinan presiden di negeri ini tak menunjukkan wataknya sebagai `pejuang sejati penciptaan pemerintahan yang bersih'. Dan bila diingatkan dalam wujud kritik tentang situasi itu, pihak presiden akan menjawabnya: penegakan hukum tak bisa diintervensi. Padahal, tafsir `intervensi' dalam penegakan hukum sebenarnya terkait dengan proses-proses pengambilan keputusan di pengadilan. Sementara itu, mendorong atau mengomandoi pemberantasan korupsi bukanlah intervensi, melainkan merupakan tugas dan kewajiban fundamental bagi siapa pun yang jadi presiden. Ini merupakan mandat substantif pemimpin di era reformasi ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar