Silas Papare
Intelijen Hussein Abri Dongoran : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
BERPUTAR-PUTAR di sekitar
Pulau Nau, Kepulauan Yapen, Irian Barat, pesawat amfibi Amerika Serikat
kemudian mendarat di perairan. Silas Papare, juru rawat di wilayah itu yang
sedang memancing, langsung berenang menuju arah pesawat. Tentara Amerika yang
berada di pesawat lantas menarik senjata laras panjang dan mengarahkannya
kepada Silas. “Kemudian, saya ditarik ke dalam pesawat,” ujar Silas dalam
catatan hariannya di buku Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas
Papare terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1997. Pilot kapal, Letnan Van
Large, dan dua tentara lain sempat kesulitan berbicara dengan Silas. Anak
ketujuh Silas, Musa Antonius Papare, mengatakan saat itu ayahnya tak fasih
berbahasa Inggris dan hanya lancar berbahasa Belanda. Mereka pun berbicara
menggunakan isyarat. Dari pembicaraan itu,
keempatnya bersepakat bahwa mereka punya musuh yang sama: Jepang. “Mereka
akhirnya merokok Lucky Strike bersama-sama,” kata Musa di rumahnya di
Kelurahan Fandoi, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Ahad, 30 Juli lalu. Musa yang mendapat cerita
dari Silas mengatakan bahwa pasukan Amerika mencari ayahnya karena mengetahui
peta kekuatan Jepang di Kepulauan Yapen dan Waropen. Tentara Amerika mendapat
informasi itu dari pasukan Belanda yang menjadi sekutu Abang Sam. Silas bukan perawat biasa
yang bekerja untuk pemerintah Belanda. Ia direkrut Belanda menjadi agen
intelijen. Bahkan Silas pernah dikirim ke Brisbane, Australia, untuk
menjalani latihan militer. Setelah itu, ia kembali ke Irian Barat. Sejak
menjadi perawat pada 1935, Silas kerap berkeliling Serui, Kepulauan Yapen,
hingga Jayapura. Seusai pertemuan dengan
tentara Amerika, seperti tertulis dalam buku Biografi Pahlawan Nasional
Marthin Indey dan Silas Papare, Silas pun terlibat dalam sejumlah perang.
“Papa kaki tangan Sekutu, Amerika,” ucap Musa. Silas diberi pangkat militer
letnan satu dan menjadi pemimpin gerilya masyarakat lokal. Pasukan Silas memetakan
kekuatan Jepang di Manokwari dan Nabire. Adapun Silas menyusun pertahanan di
Serui. Pada 5 Juli 1944, pasukan Amerika dan Silas mengebom kapal Jepang,
Daito Maru, di sekitar Pulau Mionum. Silas memperkirakan Daito Maru membawa
logistik untuk pasukan Jepang di Serui. Mereka menyerang Jepang hingga
September 1944 di Manokwari. Bantuan itu membuat
Amerika memberikan penghargaan untuk Silas. Penghargaan diteken oleh Mayor
Jenderal Charles A. Willoughby pada 31 Oktober 1945. Menurut Musa,
penghargaan tersebut membuat Silas kerap dicap sebagai agen badan intelijen
Amerika, CIA. “Itu tuduhan dari mereka yang tidak menyenangi Papa,” kata
Musa. Dalam dokumen wawancara
tim Universitas Cenderawasih dengan istri Silas, Regina Aibui Rumbewas,
disebutkan, setelah membantu Amerika, Silas dan keluarganya tinggal di
Kampung Harapan yang saat itu disebut sebagai Kota Nica. “Silas bekerja
sebagai tenaga kesehatan,” ujar Regina. Di Kampung Harapan, Silas
bertemu dengan bekas tahanan di Boven Digoel, termasuk Soegoro Atmoprasodjo.
Soegoro tokoh Tamansiswa Yogyakarta bentukan Ki Hadjar Dewantara. Ia
memperkenalkan nasionalisme Indonesia di tanah Papua. Soegoro dibuang ke
Boven Digoel karena terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap
Belanda di Jawa Tengah. Soegoro juga memimpin
lembaga pendidikan sekolah bestuur atau pamong praja di Jayapura. Ia
mengajarkan kemerdekaan kepada para pemuda Papua. Selain Silas yang menjadi muridnya,
ada Marthen Indey, Frans Kaisiepo, Corinus Krey, dan Lukas Rumkromen. Pertemuan Silas dengan
Soegoro membuat dia memahami konsep kemerdekaan. Silas pun menginginkan Irian
Barat berada di bawah Indonesia. Berupaya mewujudkan keinginan itu, Silas bersama
teman-temannya di sekolah bestuur sempat berencana membuat pemberontakan.
Tapi gerakan itu tercium lebih dulu oleh Belanda. Saat diwawancarai tim
Universitas Cenderawasih pada 2 September 1990, Regina mengatakan Silas
diberhentikan sebagai petugas kesehatan di Kampung Harapan karena terlibat
pemberontakan. Silas ketika itu memimpin Batalyon Papua. “Dipecat lalu pulang
ke Serui akhir tahun 1945,” kata Regina. Di Serui, Silas malah menjabat
Kepala Rumah Sakit Zending. Menurut Musa, ayahnya juga
kecewa kepada Belanda. Sebab, pangkat letnan yang diberikan tentara Amerika
diturunkan menjadi sersan oleh tentara Belanda di Jayapura. “Dia kecewa.
Karena kejengkelan pribadi, akhirnya Papa ikut Indonesia,” ujar Musa. ••• SILAS Papare lahir di
Pulau Nau, Kepulauan Yapen, pada 18 Desember 1918. Orang tuanya, Musa Papare
dan Dorkas Mangge, memberi nama lengkap Silas Ayari Donrai Papare. Meski
lahir di keluarga petani dan nelayan, Silas memiliki semangat belajar yang
tinggi dan giat bersekolah. Pendidikan pertama yang
ditempuh Silas adalah sekolah desa atau volkschool di Pulau Nau pada
1927-1930. Di sana ia kerap mendapatkan peringkat atas di antara
teman-temannya. “Papa bercerita bahwa dia salah satu bintang kelas,” ucap
Musa Antonius. Setelah lulus, Silas tak
langsung menempuh pendidikan selanjutnya. Ia membantu kedua orang tuanya.
Satu tahun kemudian atau pada 1931, barulah Silas masuk ke sekolah juru rawat
di Serui, Kepulauan Yapen. Dalam buku Biografi
Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare tertulis bahwa ayah Silas,
Musa Papare, sebetulnya menginginkan anaknya menempuh pendidikan yang lebih
tinggi. Tujuannya agar Silas bisa menjadi pegawai negeri. Namun, karena saat itu
Serui dilanda penyakit malaria, pes, dan kolera, Musa Papare ingin anaknya menjadi
dokter atau perawat. “Kondisi dan kemauan orang tua yang membawa Silas
menjadi juru rawat,” ujar salah satu penulis buku biografi, Onnie Lumintang,
melalui wawancara daring, Rabu, 21 Juni lalu. Silas lulus sekolah juru
rawat itu pada 1935. Menurut Musa Antonius, selama belajar menjadi perawat,
ayahnya juga menempuh pendidikan koperasi, kebidanan, dan apoteker di sekolah
yang sama. “Di sana Papa Silas menunjukkan banyak kemajuan,” katanya. Ketua
yayasan sekolah juru rawat itu, Yaqub Bitrahel, lalu merekrut Silas menjadi
asistennya. Pekerjaan pertama Silas
adalah bertugas di Rumah Sakit Zending Serui, yang kini menjadi Rumah Sakit
Umum Daerah Serui. Di rumah sakit milik pemerintah Belanda itu, Silas juga
bertemu dengan jodohnya, Regina Aibui Rumbewas, yang sedang menempuh
pendidikan di sana. Silas dan Regina menikah pada 12 April 1936. Dua tahun bekerja di Rumah
Sakit Zending, Silas ditawari oleh Yaqub Bitrahel menjadi mantri di rumah
sakit perusahaan minyak bumi Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij
atau NNGPM di kawasan Babo, Teluk Bintuni. Silas menerima ajakan Yaqub. Catatan keluarga Silas
menyebutkan, sebelum mengajak sejumlah mantri andalannya pindah ke rumah
sakit NNGPM, Yaqub berkonflik dengan pemerintah Belanda. Ia pun memilih hengkang
dari Rumah Sakit Zending. Yaqub menyatakan bahwa tenaga kesehatan tak lagi
dibutuhkan di sana. Di NNGPM, Silas bertemu
dengan sejumlah juru rawat dari Jawa dan Belanda. Ia juga bekerja di yayasan
internasional Fellow. Menurut Musa Antonius, ayahnya bertugas menanggulangi
masalah kesehatan jika terjadi perang di kawasan Irian Barat. “Papa juga
bekerja sebagai intelijen Belanda,” ucapnya. Silas bekerja di NNGPM hingga
1940. Merangkap agen intelijen,
Silas kerap mengamati kondisi di sekitarnya. Ia, misalnya, bisa mengetahui
jumlah personel dan kekuatan pasukan di satu daerah. Kelak informasi ini
digunakannya saat melawan Belanda. Yorrys Raweyai, anak
pahlawan nasional asal Serui, Thung Tjing Ek, mengatakan Silas salah satu
mantri beken di Serui. Keluarga Thung pun berobat kepada Silas. Yorrys
menyimpan sejumlah surat dari pasien yang pernah diobati oleh Silas. Warkat
itu ditemukan oleh Yorrys di sebuah karung di bawah kasur ayahnya. Salah satu surat yang
dibaca Tempo menyebutkan seorang warga Serui berterima kasih kepada Silas
karena ia bisa mengobati penyakit yang diderita kerabatnya. “Dulu mantri atau
dokter masih sangat terbatas,” tutur Yorrys di rumahnya di kawasan Mampang,
Jakarta Selatan, Sabtu, 24 Juni lalu. Cresensia Setiawati, 79
tahun, warga Biak, mengatakan suaminya, Alexander The, juga pernah diurus
oleh Silas dan keluarganya saat masih berusia di bawah lima tahun. Ketika itu
ibu Alexander tak bisa menyusui. Akhirnya Alexander ikut menyusu pada istri
Silas, Regina. Saat Jepang menjajah Indonesia,
termasuk ke Papua pada 1942, banyak warga Serui masuk ke hutan untuk
menghindari perang. Saat itu Silas ditugasi oleh pemerintah Belanda
mengeluarkan warga yang masuk hutan di Serui, Biak, dan Manokwari. Silas
mengenal daerah tersebut karena kerjanya merangkap sebagai agen intelijen
Belanda. Upaya mengeluarkan warga
dari hutan itu pun sukses. Pada 5 April 1945, Silas Papare mendapat
penghargaan berupa bintang emas dari Kerajaan Belanda. Karena kondisi yang
makin genting setelah Jepang masuk ke Papua, Silas pun membawa istri dan
anaknya ke kampung halamannya di Pulau Nau. “Papa mengamankan keluarga,” ujar
Musa Antonius. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169471/silas-papare-intelijen |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar